PENDIDIKAN ISLAM DI ABAD TEKNOLOGI DIGITAL

Wakil Dekan I FAI Unikarta Sofian Efendi

Oleh: Sofian Efendi*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Pendidikan Islam sering diposisikan sebagai faktor yang paling bertanggung jawab atas kompleksitas problem kehidupan, tidak hanya problem pribadi, tapi juga problem sosial bahkan problem umat. Pandangan demikian berangkat dari asumsi bahwa potret dan karakter masyarakat sangat tergantung dan ditentukan oleh pendidikannya. Itulah sebabnya persoalan baik buruk individu dan masyarakat sering dikembalikan pada kualitas pendidikannya.

Memang banyak fakta yang mendukung pandangan seperti ini. Namun juga harus diakui bahwa pandangan seperti ini sering membuat pandangan kita menjadi tidak jernih dalam melihat persoalan yang melilit dunia pendidikan. Memang pendidikan harus memiliki peran sosial, tetapi bukan berarti persoalan-persoalan sosial dapat terselesaikan dengan pendidikan saja. Artinya, meletakkan problem sosial apalagi problem global ke “pundak” pendidikan adalah sikap tidak adil terhadap dunia pendidikan.  Jika harus dipaksakan, tidak saja akan gagal dalam menyelesaikan problem sosial itu, tetapi sudah dapat dipastikan, dunia pendidikan akan terseret arus persoalan masyarakat yang sangat boleh jadi mengancam dunia pendidikan itu sendiri.

Kerangka berfikir ini tidak berarti menolak mentah-mentah pandangan umum yang misalnya mengatakan, jika pendidikan baik pasti masyarakatnya juga baik. Di sini hanya diingatkan bahwa pandangan sebaliknya juga jangan dilupakan: jika masyarakatnya baik, pasti pendidikannya juga baik. Pendidikan bukanlah dunia yang netral yang ada dengan sendirinya. Yang pelu disadari dengan sebenarnya adalah bahwa pendidikan merupakan produk sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Bahkan produk struktur kesadaran manusia itu sendiri. Di sini pendidikan menjadi sangat tergantung dengan latar belakang sejarahnya, tergantung dengan kondisi sosial dan budayanya, tergantung dengan situasi sosial-ekonominya, juga sangat tergantung dengan situasi dan kebijakan politik yang ada, termasuk tergantung dengan pandangan-pandangan, anggapan-anggapan dan harapan-harapan seseorang terhadap dunia pendidikan, bahkan mungkin juga dengan situasi kemajuan dunia teknologi informasi.

Beberapa aspek eksternal inilah yang pada kenyataannya sangat menentukan corak dan kualitas dunia pendidikan, setidaknya jika dibandingkan dengan aspek internalnya yang konon ada tujuh aspek, yakni tujuan, guru, murid, materi, metode, sarana, dan evaluasi. Di era dunia teknologi digital ini, kesadaran demikian tampaknya diperlukan untuk melihat secara lebih jernih problem pendidikan sesungguhnya.

Situasi yang Tak Bisa Terelakkan

Liberalisme pers ditambah dengan kecanggihan teknologi digital telah membuat dunia ini menjadi seperti kampung yang kecil. Manusia abad ini dengan mudah mangakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perkembangan peristiwa di belahan dunia dapat segera bisa diikuti oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Budaya yang berkembang pada berbagai suku, bangsa dan negara dapat saling berinteraksi, sehingga nilai sosial dan budaya dapat saling tiru dan saling terpengaruh. Inilah sebagian dari tanda suatu zaman yang disebut dengan era dunia teknologi informasi.

Ketika kita membayangkan dunia teknologi digital lalu membayangkan tentang “perputaran” dunia yang serba cepat. Antara satu negara dengan negara yang lain terasa lebih dekat. Bumi ini terasa semakin sempit seperti bola yang dapat dengan mudah kita cermati bagian-bagian sisinya dengan cepat dan mudah. Memang tidak sulit memahami arti dunia teknologi digital, karena kita ini memang sedang merasakan hidup di tengah-tengah kemajuan dunia teknologi digital sebagaimana dicirikan oleh istilah tersebut.

Teknologi digital sebenarnya merupakan sebutan untuk “dunia yang serba menggunakan/memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menghadapi berbagai tantangan hidup di era dunia yang jauh dari perkiraan dan tak terprediksikan. Inilah dunia yang telah lepas kendali (run away world). Teknologi digital sebagai buah dari kemajuan ilmu pengetahuan, memang tidak pernah diciptakan/dibuat Tuhan, tetapi terjadi sebagai akibat dari ulah perbuatan manusia. Maka konsekuensi dari ulah perbuatan tangan-tangan manusia akan dihadapi oleh manusia itu sendiri baik kebaikan maupun keburukannya.

Negara-negara Barat sebagai sumber pembentuk terjadinya kamajuan dunia teknologi informasi, merasa “kapok” atas kemajuan dunia teknologi informasi  dan segala akibatnya, apalagi bangsa kita yang hanya sekedar “ketularan” atau “ketibanan” tentu akan lebih kerepotan lagi menghadapinya.

Dalam sejarah kemajuan teknologi digital bisa dilacak akar-akarnya pada dunia Barat sekita abad 16-an yang lalu, yakni di saat impian-impian orang Barat untuk mengubah “nasib” dari yang tidak pasti menuju kepastian, terus dan terus diupayakan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Impian-impian itu antara lain: Pertama, andaikan urusan agama dan urusan pemerintahan (keduniaan pada umumnya) dapat dipisahkan, tentu akan lebih leluasa mengatur pemerintahan dan dunia ini. Impian ini terus mereka upayakan dengan suatu proses yang disebut “sekularisasi”, dan negara kita pun sempat ketularan diera 80-an di mana pemerintah memisahkan pendidikan agama dan umum, yang berimbas perhatian lebih hanya pada lembaga-lembaga pendidikan umum sedang lembaga pendidikan agama semakin termarginalkan.

Kedua, andaikan tradisi dan kehidupan yang irrasional ini bisa diubah menjadi rasional maka akan mereka ubah, di sinilah kita kenal istilah modernisasi, yaitu proses penghapusan tradisi yang tidak rasional selanjutnya diupayakan menjadi rasional termasuk menghilangkan tradisi-tradisi baik dalam masyarakat Islam. Apa saja bisa mereka lakukan.

Ketiga, andaikan pembacaan terhadap realitas ini bisa diilmiahkan maka upaya yang dilakukan adalah proses saintifikasi. Keempat, andaikan alam ini bisa direkayasa maka impian ini akan diwujudkan dengan suatu proses yang disebut “teknologisasi” atau “industrialisasi”. Kelima, andaikan dunia Timur (termasuk Islam) itu bisa seperti negara Barat yang maju maka akan diupayakan yang dikenal dengan istilah “kolonialisasi” dan “westernisasi”.

Apakah akibatnya? Seperti yang dapat kita saksikan bersama (1) antara urusan pemerintah (dan urusan keduniaan pada umumnya) harus terpisah dengan urusan agama, bahkan agama itu telah kuno dan perlu dipinggirkan. (2) segala tradisi, budaya dan norma agama yang dianggap tidak rasional harus ditolak, dan hanya mau menerima yang rasional saja. (3) berkembangnya pola fikir saintisme, yaitu pola fikir: jika…maka… yang kaku dan tak kenal ampun. Di sini peran akal tidak hanya maksimal, tetapi sudah dianggap segala-galanya. (4) intervensi manusia terhadap alam, membuat alam sendiri tidak bersahabat. Demikian juga penggunaan teknologi secara besar-besaran, lalu dengan sengaja membuat manusia  merasa ketergantungan dengan teknologi, bahkan hampir di segala aspek kehidupan. Selanjutnya adalah adalah “banjir” produk dengan berbagai iklannya dengan segala keunggulan dan kelebihannya, juga persaingan bisnis produk-produk teknologi tak dapat dihindari. Dan (5) proses pembaratan dan penjajahan terus berlangsung sampai hari ini, baik sektor politik, ekonomi, pemikiran, budaya, maupun produk-produk Barat lainnya.

Semua kemajuan ini telah membuat “dunia lepas kendali” dan teknologi dan informasi menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan. Dalam beberapa hal, kemajuan di Barat jelas membawa aspek positif bagi mereka, seperti beberapa kemudahan-kemudahan dengan pemanfaatan teknologi (dalam bidang  ilmu pengetahuan), namun pemanfaatan teknologi informasi jelas akan memunculkan dampak negatif tepatnya “resiko buatan” (manufactured risk) dalam arti, resiko sebagai akibat kesalahan cara pandang dan pengetahuan kita atas dunia, berupa ketidakpastian baru yang melampaui kemampuan antisipasi kita.

Perubahan dahsyat itu merombak tradisi dan budaya dengan segala kekayaannya, mulai yang paling sederhana, seperti model pakaian, gaya hidup (life style), pola-pola hubungan masyarakat, hingga yang terkait  dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, termasuk nilai-nilai agama. Tidak hanya itu, teknologi informasi juga mengubah gaya berkeluarga: mulai dari tujuan berkeluarga, pola hubungan dalam rumah tangga: suami dengan istri, orang tua dengan anak. Semua itu seolah  menjadi pola robotik. Mungkin inilah yang disebut proses dehumanisasi, yaitu hilangnya unsur-unsur kemanusiaan dalam diri manusia, maka sandiwara sudah terjadi di hampir semua kehidupan ini.

Perubahan-perubahan itu semakin mencapai puncaknya, di saat teknologi informasi dan telekomunikasi sudah sedemikian canggih, diperparah dengan liberalisasi di bidang pers. Akibatnya pertukaran nilai budaya dapat dengan mudah terjadi, bahkan sudah terjadi. Kondisi ini, di satu sisi dapat mempercepat proses modernisasi (pembaharuan) dari budaya tradisional, namun pada sisi lain dapat terjadi pula pengikisan atau penghilangan budaya luhur dan digantikan dengan budaya asing yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita bahkan nilai-nilai agama kita.

Media informasi elektronik seperti televisi sebagai salah satu produk kamajuan teknologi  juga memunculkan problematika tersendiri. Di satu sisi sebagai media informasi dan penyebaran nilai-nilai budaya, namun pada sisi yang lain juga dapat menjadi sarana “perusak” terhadap nilai budaya ketimuran kita yang selama ini sudah berkembang dengan baik.

Dalam banyak hal, tayangan televisi menyuguhkan apa yang oleh para sosiolog disebut dengan hiper-realitas (hypperreality), yakni realitas semu yang sebenarnya tidak terjadi pada kenyataan, namun dibuat agar menarik perhatian dan segera akan ditiru oleh masyarakat sehingga akhirnya menjadi kenyataan juga. Ketika sudah menjadi kenyataan televisi akan menampilkan hyperreality yang baru, lalu diikuti dan menjadi kenyataan yang baru lagi, bagitu seterusnya. Singkat kata, semakin “gila” tayangan televisi maka akan semakin menarik. Ketika penonton sudah menjadi “gila”, televisi akan menayangkan suguhan yang lebih “gila” lagi, jika tidak tentu tidak akan lagi menjadi menarik.

Di sinilah sadar atau tidak, karakter kita dan generasi bangsa ini akan terbentuk. Maka yang membentuk kepribadian manusia abad ini ternyata bukan lagi orang tua, bukan pula guru atau para pemimpin, tetapi oleh media massa, yang merupakan imbas kemajuan teknologi informasi. Masa depan generasi kita hampir sepenuhnya sangat ditentukan oleh tayangan/tontonan media massa dan unggahan media sosial hari ini.

Absurditas Manusia Modern

Hal lain yang menjadi keprihatinan bersama saat ini adalah terkait budaya pragmatisme dan hedonisme yang membentuk karakter manusia modern yang materialistic oriented. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasilkan dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikamatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kanikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastika bahwa akan terjadi penggerusan terhadap beberapa sisi dari kemanusiaan itu sendiri, terutama persoalan moralitas dan etika.

Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itu hanya sebagian dari beberapa anomali yang include dalam permasalahan modernitas itu sendiri, di mana kesemuanya ternyata sangat potensial  untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.

Pengaruh pragmatisme, materialisme, dan hedonisme sangat luar biasa dahsyatnya pada segala segi kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan. Tidak semua orang belajar semata-mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan yang justru diutamakan adalah agar mendapat selembar ijazah. Tanda bukti lulus digunakan untuk mendapatkan kesempatan memasuki posisi-posisi penting yang banyak menghasilkan uang.

Budaya materialisme dan hedonisme juga dibarengi oleh budaya mental instan dan serba mencukupkan formalitas. Itulah akibatnya, orang belajar bukanlah untuk mengejar ilmu melainkan sekedar mengejar aspek yang bersifat simbolik untuk menerabas agar cepat berhasil meningkatkan pendapatan. Budaya ini sangat mengganggu proses pendidikan. Segala sesuatu selalu diukur dengan uang. Mengajar, menguji, dan membimbing selalu dikaitkan dengan besarnya imbalan yang akan diterima. Mendatangi kegiatan yang menjanjikan uang akan dikedepankan dari pekerjaan rutin membimbing mahasiswa yang sesungguhnya lebih bersifat urgen. Apa yang dilakukan oleh staf perguruan tinggi itu memang tidak terlalu mudah untuk disalahkan, karena tuntutan keluarga, sosial, dan kehidupan sudah semakin menghimpit mereka.

Fenomena mengedepankan besarnya dana yang akan diperoleh tidak saja terjadi di tataran individu melainkan juga pada lembaga secara keseluruhan. Akhirnya yang terjadi di dunia pendidikan pun layaknya dalam dunia bisnis pada umumnya. Yaitu ada uang maka ada pelayanan dan semakin tinggi harga yang dibayar, maka di sanalah pelayanan terbaik akan didapatkan. Muncullah semboyan “ada uang, maka ada barang”, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Pada gilirannya di kampus-kampus dikenal dengan berbagai jenis pelayanan pada mahasiswa. Yaitu kelas biasa dengan harga rendah, ada kelas khusus dengan biaya khusus, dan ada pula kelas eksekutif dengan biaya eksekutif pula.

Lalu apalagi yang kita fikirkan di tengah-tengah budaya materialisme dan hedonisme seperti saat ini, tatkala berbicara peningkatan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran seperti apa yang sesungguhnya akan kita tingkatkan. Sebab semua aspek kehidupan ini sudah mendasarkan pada tarif. Kualitas apa saja, termasuk kualitas pendidikan selalu tergantung pada besaran tarifnya. Tanpa terkecuali kualitas pelayanan pendidikan, sebagimana hukum alam sudah selalu disejajarkan dengan besarnya biaya yang harus dibayarkan.

Rupanya dunia materialistik dan hedonistik ini semakin berkonsekuensi pada munculnya budaya transaksional di seluruh lapangan kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Peningkatan kualitas selalu disejajarkan dengan jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan.

Krisis Sains Modern

Di antara kepihatinan para intelektual saat ini adalah soal perkembangan sains modern yang bisa dikatakan sebagai pilar utama peradaban Barat modern. Maka tema seputar model sains alternatif  menjadi trend gerakan intelektualisme saat ini. Terkait dengan persoalan ini, Armahedi Mahzar mengidentifikasi empat dampak sains modern, yaitu dampak militer, ekologis, sosiologis, dan psikologis. Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan militer-militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi.

Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia.

Kebanyakan ilmuwan tidak tahu menahu soal dampak negatif penerapan sains dan teknologi itu, karena dianggap bukan urusan mereka. Umumnya mereka merasa tugas utamanya hanyalah mencari kebenaran ilmiah yang bersifat netral. Sementara para teknolog juga melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa teknologi itu bagaikan pisau bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau negatif. Bergantung pemakainya.

Persoalan pokok dari pemanfaatan teknologi sebanarnya bukan hanya soal dampak, tetapi  lebih terkait problem paradigmatik atau problem episteme yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Menurut Budi Hardiman, problem epistemis itu terkait empat elemen pokok, yaitu rasionalitas lebih dari wahyu, kritik lebih dari sekedar sikap naif yang tidak terbebas dari tradisi dan sejarah, progresif lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.

Keempat elemen itu bersifat normatif sehingga berlaku universal: kebenaran wahyu diuji di hadapan rasionalitas, otoritas tradisi dan sejarah dipersoalkan dengan kritik, keluhuran tradisi dipertanyakan atas dasar harapan akan masa depan. Seiring dengan universalisasi norma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai  grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Faucault.

Demikian juga lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah jelas bukan tanpa sejarah. Refleksi sejarah Auguste Comte yang hanya mempercayai fakta positif dan digali dengan metodologi ilmiah, lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.

Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaiman sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarialisme in the newfashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni tradisi, dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni. Sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city yang dipopulerkan Harvey Cox. Sejarah mencatat upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati.

Maka dari sinilah sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya. Problem dualisme sistem pendidikan,  yang menjadi keprihatinan pengamat pendidikan selama ini juga berawal dari pandangan dikotomis itu. Kemungkinan besar dari sini pula akar sejarahnya mengapa selama ini sistem pendidikan agama, seperti pesantren dan madrasah diperlakukan sebagai pendidikan kelas dua.

Antara Proteksi  dan Proyeksi

Dampak terberat dari kemajuan teknologi digital adalah bahwa hidup ini telah menjadi sedemikian gersang. Manusia sudah meninggalkan unsur terdalam dari kemanusiaannya, yakni perasaan (emosi) dan hati nurani (spiritualitas). Nilai-nilai luhur dalam masyarakat, bahkan nilai dan ajaran agama telah digusur dan tidak lagi menjadi landasan dalam hidup ini. Hidup yang demikian inilah yang sering dikatakan dengan “matinya makna”.

Para pemikir kelas dunia sebenarnya juga mulai menyadari dampak kemajuan teknologi digital ini. Mereka menawarkan “obat” yang disebut dengan “demokrasi sejati” (demokcratising democracy). Yang menurut mereka: euforia kemajuan teknologi digital dapat reda atau minimal dampaknya dapat diminimalisir, jika negara-negara diberi hak untuk hidup dan mengurus negaranya sendiri, tidak ada saling intervensi. Bahkan jika masing-masing individu dapat dengan mandiri menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tentu ini bukan tugas kita, meskipun kita juga dapat membayangkan bahwa tawaran ini sulit terwujud. Maka yang dapat kita lakukan adalah membangun kesadaran baru dengan kembali mengisi hidup kita dan generasi kita dengan makna. Aktivitas 24 jam sehari semalam akan bermakna ibadah jika aktivitas itu diterangi agama. Pola hubungan dengan orang lain akan bernilai silaturrahim jika tulus dan tidak ada kebencian dan persaingan, dan seterusnya. Dengan begitu kita telah dapat kembali menyatukan antara urusan agama dengan urusan dunia.

Hidup bermasyarakat dan berkeluarga akan jauh lebih bermakna jika tidak sekedar hubungan fisik dan jasmani, tetapi hubungan emosional yang menggunakan perasaan dan fikiran. Di era teknologi digital ini menempatkan emosional (EQ) dalam kehidupan sosial terbukti dapat mendatangkan kesuksesan. Maka pertimbangan geografi (kedaerahan) dan demografi (keprofesian) dalam hidup bersosial, mestinya ditambah pertimbangan satu lagi, yaitu psikografi (ke-citarasa-an). Jika demikian, berarti kita telah ikut mengembalikan unsur kemanusiaan kepada kehidupan manusia sendiri.

Tidak dapat diragukan, akal dan fikiran memiliki peran cukup penting dalam hidup ini, namun akal bukanlah segala-galanya. Akal memang harus dimaksimalkan, namun tetap dengan kesadaran bahwa akal ada batasnya. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah mengembalikan posisi akal pada “baraknya”.

Islam Indonesia dan tradisi Jawa memiliki kekayaan potensi budaya yang menakjubkan, namun belum dikembangkan secara maksimal. Memperkuat dan mengembangkan potensi budaya kita sendiri bisa sedikit meminimalisir masuknya budaya asing, yakni budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah bersikap tepat dalam menghadapi “banjir” westernisasi (penjajahan budaya Barat).

Jika kesadaran baru seperti ini tidak muncul, mustahil dunia pendidikan akan menjadi lebih baik di tengah berbagai krisis akibat kemajuan teknologi informasi itu. Maka yang paling utama adalah adanya perubahan kesadaran dan sikap, lalu perubahan nilai dan budaya. Dengan begitu besar kemungkinan pendidikan akan menjadi lebih baik.

Sejalan dengan pemikiran ini, strategi yang bisa dilakukan pendidikan Islam adalah proteksi sekaligus proyeksi. Proteksi adalah prinsip konservasi nilai yakni strategi untuk membentengi nilai-nilai luhur dari ancaman nilai dan budaya luar yang destruktif. Nilai-nilai apa saja yang harus diproteksi memang masih dapat didiskusikan lebih lanjut, namun jika merujuk pada QS. Al-‘Ashr maka bisa diuraikan minimal ada tiga nilai yang harus diamankan dari pengaruh destruktif, yaitu iman, amal saleh, dan saling menjalin network atau tali silaturahim dengan sesama. Internalisasi tiga nilai ini pada seseorang, Allah jamin tidak akan pernah merugi selama-lamanya. Fenomena boarding school, pondok pesantren, atau fullday school yang banyak diminati saat ini menunjukkan keprihatinan orang tua terhadap nilai budaya destruktif di satu sisi, dan perhatian akan konservasi nilai luhur di sisi yang lain.

Sementara proyeksi adalah prinsip progresivitas dari pendidikan. Strategi ini mengharuskan lembaga pendidikan Islam dan dunia pendidika pada umumnya untuk terus meningkatkan kualitasnya, meletakkan visi misi yang jelas sesuai hasil pembacaannya terhadap masa depan. Insan pendidikan Islam mesti tanggap terhadap tanda-tanda zaman, tanggap terhadap situasi sosial, budaya, ekonomi dan politik, bahkan cerdas dalam memprediksi perkembangan zaman. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan pada suatu zaman yang bukan zamanmu.” demikian sabda Rasul.

Penutup

Di akhir tulisan ini bisa disampaikan bahwa kemajuan teknologi digital dampaknya telah merasuk ke hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan dampak negatifnya pun hampir tidak disadari sebagai sesuatu yang negatif, karena umumnya kita terlena dan larut dalam kehidupan kebersamaan. Maka dengan tidak terlena dan segera sadar atas kehidupan “dunia yang lepas kendali” itu merupakan modal penting untuk dapat mengantisipasi dampak negatifnya. Kesadaran itu biasanya baru dapat tumbuh di saat tersedia waktu untuk ber-muhasabah ( mawas diri). Sementara manusia era teknologi informasi sekarang ini hampir tak ada waktu untuk melakukan hal itu.

Tinggi rendahnya mutu dunia pendidikan kita memang tidak serta-merta karena dunia pendidikan itu sendiri, tetapi sebagian besarnya ditentukan oleh sikap dan perilaku kita terhadap dunia pendidikan. Berbagai krisis yang terjadi di era modern bukan karena pendidikan yang salah, tetapi karena krisis itu telah membuat dunia pendidikan juga mengalami krisis. Perubahan dunia pendidikan menjadi mungkin jika nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berubah.

Jika kemajuan teknologi informasi berawal dari impian bangsa Barat yang terus diwujudkan, maka kita pun bisa mengatasi dampaknya dengan mewujudkan impian ini. Wallahu a’lam bish shawab. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Daftar pustaka

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in 

         Theological Perspective(New York: The Macmillan Company,

1967)

Faucoult, Michel, Diciplin and Punis: The Brith of Prison, Trans.Alan

Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)

——-, The Order OF Think: An Archeology of Human Sciences,(New

york: Vintage Book, 1994)

Hardiman, Bidi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2003)

Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphisics, Terj. The Paul

Carus, Revisi oleh James W.Ellington (IndiNA Polish/Cambridge:

Hackett Publishing Company, 1977)

Lyotard, The Postmodern Condotion, A Report and Knowledge,

          (Manchester: Manchester University Press, 1984)

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami,

          Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)

Marty, Martin E., “Does Secolar Theology  Have a Future” dalam The

           Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopedia Brittannica, Inc.,

1967)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar,

          Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:

Belukar Budaya, 2003)

Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2007)

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Muhammadiyah, 1960)

DUA KABAR GEMBIRA DARI RASULULLAH UNTUK MUKMIN YANG BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Kaprodi FAI Unikarta Mukmin

FAIUNIKARTA.AC.IDEmpat belas abad lampau, Rasulullah Saw telah menyampaikan kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadan.

Hal ini disampaikan Ketua Program Studi (Kaprodi) Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Mukmin, dalam Kuliah Tujuh Menit (Kultum) pada hari kedua bulan suci Ramadan 1443 Hijriah, yang mengangkat tema Kegembiraan Bagi Orang yang Berpuasa.

Kata dia, kabar gembira tersebut meliputi: pertama, orang yang berpuasa akan mendapat kebahagiaan ketika berbuka puasa.

Pasalnya, setiap orang yang berpuasa harus menahan hawa nafsu, menahan lapar, haus dan dahaga selama sekira 13 jam untuk mendapat keridhoan Allah Swt di bulan suci Ramadan.

Jika bukan karena landasan iman, maka orang yang berpuasa tidak akan bisa melaksanakan ibadah puasa sesuai perintah Allah Swt.

Namun, pada akhirnya ketika beduk mulai dibunyikan, adzan sudah berkumandang, pada saat itu, detik itu pula, orang-orang yang berpuasa akan bergembira.

“Hadir keceriaan di dalam dirinya dan ungkapan pertama yang diucapkan adalah syukur alhamdulillah,” jelas Mukmin.

Kedua, Rasulullah Saw telah memberikan informasi bahwa pada bulan ini terdapat kemuliaan di dalamnya, maghfirah, dan malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Rasulullah Saw sangat menekankan kepada umat Islam bahwa pada bulan yang suci ini setiap mukmin diwajibkan beribadah kepada Allah, dianjurkan membaca Alquran, berzikir, dan memperbanyak salawat.

Mukmin menekankan, hidup di dunia ini hanya sementara. Sekejap mata. Setiap orang akan menghadap Ilahi.

Karena itu, pada kesempatan bulan suci Ramadan 1443 Hijriah ini, dia mengajak umat Islam memanfaatkan momentum ini dengan sebaik-baiknya.

“Hingga kelak kita menghadap kepada Allah, kita akan hadir dalam kegembiraan dan keceriaan karena kita sudah mendulang apa yang sudah kita lakukan pada bulan suci Ramadan,” terangnya.

Ia mengatakan, pada bulan suci ini pula, semua amal akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Setiap hembusan nafas dan denyutan nadi pun dihitung sebagai amal ibadah di sisi Allah Swt.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan kepada Allah Swt, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu.

Maka dari itu, sebagai muhasabah, kata Mukmin, bisa jadi Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir, sehingga patut dimanfaatkan sebagai momentum pembuka pintu-pintu keberkahan.

Dia mengajak setiap muslim mengharap keberkahan dan ampunan dari Allah Swt agar selamat di dunia dan akhirat.

Ia pun berpesan kepada umat Islam agar memanfaatkan bulan yang mulia ini tidak berlalu sia-sia sehingga mendapatkan ampunan dari Allah Swt.

“Kami atas nama pribadi dan atas nama lembaga FAI Unikarta Tenggarong mengucapkan selamat menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan. Semoga bermanfaat bagi kita semua,” tutupnya. (*)

 

Link: Beritaalternatif.com

VISI JANGKA PANJANG HAJI MUBARAK DI BALIK KERJA SAMA DENGAN BERITA ALTERNATIF

Dekan FAI Unikarta & Kaprodi FAI Unikarta

FAIUNIKARTA.AC.IDDekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Kutai Kartanegara (Kukar), Haji Mubarak mengatakan, kerja sama penerbitan opini mahasiswa dan dosen bersama Berita Alternatif merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Mubarak berharap penerbitan artikel mahasiswa dan dosen FAI Unikarta di portal beritaalternatif.com dapat dimulai pada Tahun Ajaran 2022-2023. “Itu harapan saya,” ucapnya, Senin (28/3/2022).

Kata dia, artikel para dosen FAI Unikarta yang diterbitkan di media massa daring dapat menjadi poin tersendiri untuk peningkatan karier mereka.

Selain itu, artikel-artikel mahasiswa dan dosen yang diterbitkan di media tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang positif kepada masyarakat Kukar.

Hal ini juga menjadi “ajang promosi” kemampuan mahasiswa dan dosen FAI Unikarta terkait pemahaman keagamaan dan sosial kemasyarakatan. “Itu bisa menjadi bahan pertimbangan ketika pelajar ingin melanjutkan studi di FAI Unikarta,” ujarnya.

Ia mengaku memiliki visi untuk peningkatan literasi keagamaan di FAI Unikarta. Visi tersebut bertujuan membangun literasi dan kompetensi yang unggul berlandaskan sains Islam.

Untuk mencapai visi tersebut, mahasiswa dan dosen mesti memiliki literasi yang baik, salah satunya dapat dibuktikan dengan karya tulis.

Mubarak pun mendorong mereka untuk menulis, menyampaikan opini dan gagasan, sehingga dapat memunculkan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki mahasiswa dan dosen FAI Unikarta.

Kebanggaan juga akan muncul dari orang tua mahasiswa saat melihat anak-anak mereka yang menempuh pendidikan tinggi di FAI Unikarta dapat menghasilkan karya tulis yang bisa mempengaruhi pandangan publik.

Ia berkomitmen menjadikan FAI Unikarta sebagai fakultas yang akan melahirkan para intelektual andal yang bisa mencurahkan gagasan dan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan.

“Mahasiswa kami memang diarahkan menjadi sarjana yang intelek,” terangnya.

Peluang Penerbitan Buku

Mubarak mengatakan, dalam jangka waktu satu tahun, artikel-artikel mahasiswa dan dosen FAI Unikarta yang diterbitkan di beritaalternatif.com akan dikumpulkan menjadi buku.

Jika dalam sebulan mahasiswa dan dosen FAI Unikarta memiliki empat artikel, maka dalam setahun terdapat 48 artikel yang dapat dijadikan sebagai buku.

“Bayangkan saja setahun itu kita bisa menerbitkan buku yang kita kerjasamakan ini. Jadi, nanti muncullah lagi usaha untuk menerbitkan buku,” ucapnya.

“Kenapa tidak ke depan kita menerbitkan sebuah buku? Kalau tidak bisa secara fisik, e-book yang kita siapkan,” terangnya.

Kata Mubarak, saat ini penjualan buku dalam bentuk e-book sudah sangat marak di kampus, yang tujuannya memenuhi kebutuhan referensi mahasiswa dan dosen.

Di FAI Unikarta pun terbuka peluang bagi mahasiswa dan dosen untuk menerbitkan buku yang dapat didistribusikan kepada mahasiswa.

“Satu angkatan kuliah itu misalnya ada 60 rang, dikalikan berapa harga buku misalnya, kan luar biasa ini. Ini satu hal yang kita pikirkan ekonomisnya,” jelas Mubarak.(*)

Link: Beritaalternatif.com

TIGA VISI BESAR HAJI MUBARAK DALAM MEMAJUKAN FAI UNIKARTA

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) Haji Mubarak mengungkapkan bahwa fakultas yang dipimpinnya memiliki dosen-dosen yang mempunyai gelar akademik yang beragam.

Dia menyebutkan, ada sejumlah dosen yang memiliki pendidikan yang sesuai dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Ada pula yang merampungkan S2 di bidang Manajemen Pendidikan Islam (MPI).

Lulusan PAI umumnya berstatus sebagai dosen tetap. Sementara dosen yang merampungkan S2 di bidang MPI juga berstatus sebagai dosen tetap. Mereka melengkapi dosen-dosen yang menyelesaikan studi S2 di jurusan PAI.

“Yang berwarna ini, ternyata S1 mereka berbeda-beda. Kenapa beda-beda? Ada yang S1-nya sarjana syariah. Ada yang sarjana dakwah. Ada juga doktor manajemen pendidikan,” ungkap Mubarak kepada beritaalternatif.com saat ditemui di kampus Unikarta pada Jumat (4/6/2022) lalu.

Dia mengungkapkan, selama 12 tahun terakhir, FAI Unikarta memegang akreditasi B. Ke depan pihaknya akan meningkatkan akreditasi fakultas tersebut menjadi Baik Sekali.

“Mudah-mudahan nanti kalau banyak doktornya kita bisa mencapai ke Unggul. Itu harapan kita untuk Prodi PAI. Insyaallah orang itu tidak ragu masuk FAI. Karena kita sudah terstandar,” ucapnya.

Visi Besar Membangun FAI Unikarta

Mubarak mengaku memiliki visi besar untuk membangun FAI Unikarta menjadi lembaga pendidikan yang kredibel di masyarakat.

Mimpi tersebut akan diwujudkannya dalam 3 cara: pertama, menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan Islam.

Melalui visi ini, ia menginginkan lulusan FAI Unikarta memiliki keislaman yang berbobot. “Kalau dia berpendidikan, maka dia mampu menguasai pedagogik Islam. Kalau dia misalnya mengkaji keislaman secara umum, maka dia harus memiliki wawasan saintifik Islam,” jelasnya.

Perubahan kurikulum lewat Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (KMB-KM) membuat penguatan bahan-bahan kajian di FAI Unikarta lebih berwarna, dalam, dan luas, sehingga tidak hanya monoton pada belajar mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan PAI.

“Ini harapan kita untuk mewujudkan visi dalam bidang pengajaran,” katanya.

Lewat visi ini, Mubarak juga mewajibkan dosen-dosen FAI Unikarta untuk menulis artikel, opini, jurnal, ataupun buku.

“Bukan hanya artikel lepas. Kita harapkan mereka juga bisa menulis di jurnal-jurnal yang kredibel. Kalau bisa sampai menembus yang Q1 dan Q2, yang standar jurnal internasional. Atau paling tidak dia bisa mencapai standar jurnal SINTA 2 dan 1. Seminimalnya SINTA 4,” harapnya.

Dalam pengabdian masyarakat, dosen-dosen FAI Unikarta didorong untuk terlibat langsung di masyarakat. Mereka bisa menjadi khatib, muazin, bilal, dan menyelenggarakan fardu kifayah di desa-desa yang ada di Kukar.

“Pengabdian di masyarakat ini yang kita butuhkan,” katanya.

Kedua, standardisasi pengelolaan. Pihaknya sedang merintis perbaikan data online lewat website. Tata kelola sistem online di FAI Unikarta tersebut akan dikelola dengan baik.

“Kita akan menampilkan website yang kredibel dan website yang bisa diakses oleh semua pihak,” ujarnya.

Website itu juga diharapkan dapat merekam jejak artikel dan pengabdian dosen-dosen FAI Unikarta di masyarakat.

“Di berita website kami itu harus mempunyai back link dengan artikel-artikel lepas yang ditulis oleh dosen FAI,” jelasnya.

Ketiga, memunculkan jiwa sociopreneur. Calon-calon guru lulusan FAI Unikarta tidak hanya menjadi guru yang berstatus PNS. Tetapi juga guru yang mampu membuka lembaga pendidikan.

“Kenapa kita tujukan ke sana? Karena dengan menghadirkan lembaga pendidikan, dia menuntaskan dua hal: duta ilmu dan membuka lapangan kerja. Kepekaan sosial seperti itulah yang akan kami bangun ke depan,” ucapnya.

Mubarak mengatakan, banyak alumni FAI Unikarta yang saat ini mengelola pesantren, seperti di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.

Ada pula alumni FAI Unikarta yang mengelola lembaga-lembaga Alquran seperti TPQ dan TPA di Kukar.

Tak sedikit pula dari lulusan fakultas tersebut yang menjadi guru Alquran dari rumah ke rumah. “Jadi, mereka itu tidak lepas dari pekerjaan yang sifatnya keilmuan dan sosial. Makanya jiwa sociopreneur itu yang kita bentuk,” pungkasnya. (*)

Link: Beritaalternatif.com

ALUMNI FAI UNIKARTA JADI PNS, ULAMA, HINGGA MAHASISWA PASCASARJANA DI PTN

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak & Berita Alternatif

FAIUNIKARTA.AC.IDFakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) berdiri pada 1 Juni 1994. Selama 28 tahun berkiprah, salah satu fakultas di Kampus Ungu tersebut telah menelurkan ratusan alumni yang kini berkhidmat di berbagai bidang.

Dekan FAI Unikarta, Haji Mubarak mengungkapkan, sejauh ini sudah lebih dari 500 alumni yang memegang gelar sarjana dari fakultas tersebut.

“Kalau sampai 1.000 orang alumni mungkin belum. Tapi di antara angka 500 orang ke atas,” ungkap Mubarak saat ditemui di Unikarta pada Jumat (3/6/2022).

Kata dia, alumni-alumni FAI Unikarta tersebar di berbagai kecamatan di Kukar.

Pada tahun pertama Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah didirikan, lanjut dia, banyak guru dari kecamatan-kecamatan di Kukar yang melanjutkan studi di fakultas tersebut.

“Kalau enggak salah di tahun 2002 itu sampai 300 orang yang dilahirkan sebagai alumni FAI,” bebernya.

Lulusan Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) serta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) FAI Unikarta tak sedikit yang mengabdi sebagai pegawai di Pengadilan Agama. Ada pula yang jadi ulama dan tokoh masyarakat.

Lulusan tahun pertama Program Studi PAI FAI Unikarta saat ini banyak pula yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Mubarak menyebutkan, pada tahun 2020, tak sedikit lulusan FAI Unikarta yang menjadi PNS, khususnya yang berprofesi sebagai guru agama Islam.

“Yang jadi kebanggaan kami, sampai hari banyak alumni kami itu yang menembus perguruan tinggi negeri untuk S2,” sebutnya.

Pihaknya tengah membangun citra bahwa lulusan FAI Unikarta, selain menjadi PNS ataupun swasta, mereka juga dapat berperan sebagai guru pembimbing Alquran.

“Strategi branding kami itu adalah dengan cara memasukkan mata kuliah baca tulis Alquran di semester 1 dan di semester akhir. Mereka wajib mengantongi sertifikat nasional dalam metode tilawati. Itu terstandar oleh pengurus pusat tilawati di Surabaya,” terangnya.

Ke depan, lanjut Mubarak, lulusan FAI Unikarta diharapkan bisa menjadi ulama di bidang fikih. Pihaknya pun memasukkan kegiatan kurikuler dalam kegiatan kampus agar mahasiswa FAI memiliki kemampuan membaca kitab klasik.

“Insyaallah mereka ke depan jadi calon-calon kiai, nyai, yang selain bisa membaca Alquran, juga sebagai orang yang bisa baca kitab-kitab itu. Itu branding kita ke depan. Insyaallah itu bisa kita wujudkan,” ucapnya. (*)

Link: Beritaalternatif.com

RAMAIKAN MILAD KE-28 TAHUN, FAI UNIKARTA ADAKAN PERTANDINGAN BULU TANGKIS DAN FUTSAL

Wakil Dekan III FAI Unikarta Habib Zainuri

Wakil Dekan III FAI Unikarta Habib Zainuri

FAIUNIKARTA.AC.ID – Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-28 yang jatuh pada 1 Juni 2022, Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) mengadakan sejumlah lomba.

Tim Pengarah Panitia HUT ke-28 FAI Unikarta, Habib Zainuri mengungkapkan, berbagai kegiatan dalam perayaan milad tahun ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan FAI Unikarta.

“Walaupun dengan budget yang minimalis, kami berharap hasilnya bisa maksimalis,” ucap Habib saat ditemui awak media beritaalternatif.com di kampus Unikarta pada Jumat (3/6/2022) siang.

Rangkaian kegiatan dalam perayaan HUT FAI Unikarta ini, lanjut dia, dimulai pada 1 Juni 2022. Kemudian, puncak kegiatan diselenggarakan pada 30 Juni 2022.

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan dalam perayaan milad tersebut adalah lomba tumpeng. Pesertanya berasal dari FAI Unikarta.

“Itu sebagai filosofi bahwa kita ini harus bersyukur. Intinya kita syukuran,” ujarnya.

Kata Habib, kegiatan berikutnya yakni video challenge. Hal ini bertujuan mengaver bakat kawula muda yang berasal dari mahasiswa dan alumni FAI Unikarta.

“Konten video itu tidak lepas dari tujuan kita mengadakan lomba itu, yaitu promosi. Jadi, nanti dalam video itu salah satunya promosi Fakultas Agama Islam,” jelasnya.

Kemudian, kata Habib, pihaknya juga mengadakan lomba bulu tangkis. Lomba ini sebagai respons atas masukan dari alumni FAI Unikarta. Pasalnya, beberapa tahun terakhir Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FAI Unikarta sering mengadakan pertandingan bulu tangkis.

“Ternyata antusias dari alumni cukup tinggi. Jadi, background­-nya Fakultas Agama Islam, guru agama Islam, punya hobi salah satunya bulu tangkis,” ungkapnya.

Pertandingan bulu tangkis, sambung dia, akan dilaksanakan pada 19 Juni mendatang. Pesertanya berasal dari mahasiswa dan alumni FAI Unikarta, serta pelajar dari SMP hingga SMA/SMK di Kukar.

“Insyaallah kegiatannya di gedung PBSI. Tapi, nanti akan di-follow up. Keputusan akhirnya nanti. Tapi kemarin, kita sudah putuskan, sementara di sana rencananya. Karena kemarin kita juga sudah jadi member di sana,” bebernya.

Terakhir, pihaknya juga akan mengadakan futsal. Habib mengatakan, antusiasme mahasiswa dalam mengikuti pertandingan futsal relatif tinggi. Hal ini ditandai dengan kegiatan pada tahun sebelumnya yang ramai diikuti oleh mahasiswa.

“Hampir setiap tahun kita laksanakan pertandingan futsal. Tapi hanya di internal FAI. Nah, usulan-usulan dari alumni, kenapa tidak alumni dilibatkan,” terangnya.

“Insyaallah itu akan dilaksanakan di tanggal 25-26 Juni. Pesertanya itu dari mahasiswa dan alumni FAI, dan juga pelajar,” lanjutnya.

Habib menyebutkan, semua kegiatan yang diselenggarakan dalam perayaan milad tersebut bertujuan memanfaatkan momentum HUT ke-28 FAI Unikarta sebagai ajang silaturahmi antar mahasiswa dan alumni, serta pelajar di Kukar.

Milad FAI Unikarta tahun ini, lanjut dia, bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru di Unikarta, sehingga berbagai lomba dalam perayaan milad tersebut dapat menjadi ajang untuk menjaring calon mahasiswa baru FAI Unikarta.

Ia pun berharap perayaan milad tahun ini bisa menjadi jembatan untuk mempererat silaturahmi antar alumni FAI Unikarta.

“Outputnya nanti kami bisa membentuk Ikatan Alumni Fakultas Agama Islam,” ujarnya.

Sejatinya, Ikatan Alumni FAI Unikarta telah dibentuk beberapa tahun lalu, yang diketuai oleh almarhum Supriyadi.

“Karena beliau kemarin sudah meninggal, sampai sekarang masih vakum alumninya. Dengan momen ini, bisa dihidupkan kembali,” katanya.

Dia mengaku bahwa sumbangsih pemikiran, saran, dan lainnya dari alumni sangat diperlukan untuk membangun dan memajukan FAI Unikarta.

Harapan lain, keterlibatan pelajar dalam berbagai lomba tersebut dapat menarik mereka untuk bergabung di FAI Unikarta.

Pihaknya ingin mengubah pandangan di masyarakat yang menganggap FAI Unikarta sebagai penghasil alumni yang hanya menjadi guru ngaji dan guru agama.

Kenyataannya, alumni FAI bergerak di berbagai bidang: pendidikan, wirausaha, awak media massa, birokrat, hingga politisi.

“Pesantren di Kukar ini mayoritas pengasuhnya didominasi oleh alumni FAI,” katanya. (*)

Link: Beritaalternatif.com 

SYARAT DAN KETENTUAN KOMPETISI VIDEO DAN BADMINTON FAI UNIKARTA

Wakil Dekan III FAI Unikarta Habib Zainuri

 FAIUNIKARTA.AC.IDDalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-28 tahun yang jatuh pada 1 Juni 2022, Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) mengadakan lomba video competition dan badminton.

Ketua Tim Pengarah HUT FAI Unikarta, Habib Zainuri menjelaskan, batas pengiriman video dalam lomba kompetisi video yakni pada 15 Juni 2022.

Adapun syarat dan ketentuannya adalah peserta boleh individu atau kelompok dan merupakan mahasiswa atau alumni FAI Unikarta; peserta membuat video berisikan promosi/pengenalan tentang FAI Unikarta serta ajakan berkuliah di FAI Unikarta (video boleh landscape atau potrait), dan durasi video minimal 1 menit dan maksimal 5 menit.

Selain itu, resolusi video minimal 720p; video dikirim ke email FAI Unikarta ([email protected]). Panitia akan mengunggah video tersebut di Youtube FAI Unikarta.

Kemudian, peserta membagikan videonya yang telah diunggah di Youtube FAI ke status Instagram/Facebook peserta dengan menandai akun media sosial FAI Unikarta, serta bukti pembagian (share) video dikirimkan ke grup WhatsApp peserta lomba.

“Pemenang dipilih berdasarkan jumlah like, komentar, dan muatan isi konten,” jelas Habib, Senin (13/6/2022).

Kegiatan lomba berikutnya yakni Badminton FAI Unikarta. Technical meeting lomba ini diadakan pada 18 Juni 2022. Kemudian, lomba diselenggarakan di hari berikutnya.

Syarat dan ketentuan dalam lomba ini meliputi peserta mendaftarkan diri sebagai individu atau tim ganda putra/putri; peserta merupakan mahasiswa atau alumni FAI Unikarta serta pelajar/siswa di Tenggarong; pendaftaran dilakukan melalui tautan berikut: bit.ly/badmintonfai28.

Selain itu, setiap peserta melakukan pendaftaran dan membayar biaya pendaftaran dengan ketentuan tunggal Rp 100 ribu dan ganda putra/putri Rp 150 ribu.

Technical meeting wajib dihadiri oleh peserta/perwakilan tim. Pada saat technical meeting, perwakilan tim membawa fotokopi KTM/KTP/kartu pelajar. Ini untuk semua peserta atau pemain,” jelasnya. (*)

Link : Beritaalternatif.com

HAJI MUBARAK KENANG 28 TAHUN FAI UNIKARTA BERKIPRAH DI KUKAR

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.IDPada 1 Juni 2022, Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) telah berusia 28 tahun. Perjalanan selama puluhan tahun tersebut dipenuhi dengan berbagai dinamika, perjuangan, serta prestasi sehingga salah satu fakultas di Kampus Ungu itu tetap bertahan, bahkan dari tahun ke tahun kian berkembang.

Dekan FAI Unikarta, Haji Mubarak menjelaskan, fakultas yang dipimpinnya berdiri pada 1 Juni 1994. Penetapan tanggal milad tersebut didasarkan pada sejarah awal penggagasan FAI Unikarta oleh almarhum Aminuddin Edy.

Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tersebut menggagas, mendorong, dan mengawal pendirian FAI Unikarta karena didasari keresahan pribadinya disebabkan belum ada satu pun lembaga perguruan tinggi Islam di Kukar.

“Sehingga pada saat itu beliau memaksakan diri untuk mendirikan lembaga perguruan tinggi keagamaan Islam di Kutai,” jelas Mubarak kepada awak beritaalternatif.com di Unikarta pada Jumat (3/6/2022).

Dia mengungkapkan, gagasan pendirian FAI Unikarta dimulai dengan diskusi panjang antara Aminuddin dan Samlan (Ketua Yayasan Pendidikan Kutai) pada medio 1994. Mereka berdiskusi terkait kemungkinan pembentukan FAI di Unikarta.

Aminuddin juga menawarkan Yayasan Pesantren Ribathul Khail Tenggarong untuk mendirikan perguruan tinggi berlatar agama Islam.

Atas saran Samlan, FAI pun diakomodir untuk menjadi salah satu fakultas di Unikarta. Sebelum itu, kampus yang berlokasi di Jalan Gunung Kombeng Tenggarong tersebut telah memiliki Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol).

Mereka juga menjalin komunikasi dengan pihak Kopertais Wilayah XI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pihak Kopertais pun mendorong pembentukan FAI di Unikarta.

“Pada 1 Juni itu momentum ketika FAI memperoleh rekomendasi untuk didirikan di Unikarta,” terangnya.

Di awal pembentukannya, FAI memiliki Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) serta Jurusan Dakwah, yang mempunyai Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).

Seiring waktu berjalan, kata Mubarak, dua program studi tersebut mengalami kemunduran disebabkan animo yang kurang dari masyarakat Kukar untuk melanjutkan studi di FAI Unikarta.

“Kemudian kebutuhan tenaga kerja yang tidak terserap di PNS saat itu, itu yang menjadikan berkurangnya animo untuk masuk di Jurusan PMH dengan KPI,” terangnya.

Ia menyebutkan, pada awal tahun 2000, jajaran fakultas tersebut merencanakan pendirian Program Studi PAI Jurusan Tarbiyah. Perintisnya adalah Aminuddin dan Isriansyah Basri.

Kemudian, tahun 2001 FAI Unikarta secara resmi membuka Program Studi PAI Jurusan Tarbiyah. Tak disangka, banyak orang yang berminat untuk melanjutkan studi di jurusan tersebut.

Umumnya, mereka yang berminat kuliah di Program Studi PAI Jurusan Tarbiyah adalah mereka yang berstatus sebagai guru-guru agama yang belum berstatus S1.

“Sehingga mulai saat itulah animo untuk masuk di FAI itu mulai berkembang lagi setelah dua program studi sebelumnya tidak mengalami kemajuan,” terangnya.

Sejauh ini, Program Studi PAI telah berdiri selama 12 tahun. Kata Mubarak, program studi tersebut menjadi satu-satunya di FAI Unikarta. Karena itu, pihaknya akan terus mengembangkannya.

Dia menjelaskan, ada beberapa orang yang telah berjasa mengembangkan FAI Unikarta, di antaranya Aminuddin Edy, Hormansyah, Nur Aeni, dan Misran Tahrani. Keempat tokoh tersebut merupakan mantan dekan FAI Unikarta.

Selama lima tahun terakhir, ungkap Mubarak, jumlah mahasiswa baru setiap tahun di FAI Unikarta rata-rata 100 orang. Tahun ini, telah terdaftar sekitar 50 orang calon mahasiswa baru.

Kata dia, jajaran FAI Unikarta akan terus mempertahankan dan mengembangkan fakultas tersebut dengan berbagai cara, di antara promosi lembaga dan membuka program studi baru.

“Banyak upaya ke depan supaya FAI ini bisa bertahan di Unikarta khususnya, kemudian di Kutai Kartanegara secara umum,” ucapnya. (*)

Link : Beritaalternatif.com

FAI UNIKARTA DI USIA KE – 28 TAHUN, BAGAIMANA HARUSNYA ?

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID – Rabu, 1 Juni 2022, bertepatan dengan Peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) Tenggarong berusia 28 tahun. Angka 28 bagi sebagian orang dimaknai dengan keseimbangan manakala kedua bilangan genap di atas dibagi dengan bilangan yang sama sehingga menghasilkan angka 1 yang berarti keutuhan tak berbagi (28:28=1, 1:1=1). Meski demikian, barangkali ada pula yang memaknainya dengan tafsiran berbeda. Bagi penulis, berbagai pemaknaan terhadap angka 28 itu sah-sah saja, sesuai selera masing-masing.

Di usia ke-28 tahun ini, FAI Unikarta telah berdinamika bersama waktu. Seluruh rangkaian perjalanannya telah menyejarah dalam etalase kehidupan bersama pihak-pihak yang turut berjasa mengawal keberadaannya. Sebelum tulisan ini diteruskan, penulis mengajak khalayak pembaca untuk ikut mendoakan para perintis lembaga ini. Bagi mereka yang masih hidup, kita doakan agar senantiasa sehat, kehidupannya dilimpahi keberkahan, dan senantiasa sukses di dalam meniti karier dan pekerjaan masing-masing. Sementara bagi mereka yang telah wafat mendahului, marilah kita doakan agar arwah para almarhum/almarhumah diberikan kelapangan di sisi Allah dan diberikan kedamaian di Alam Barzakh.

Angka 28 dan Makna Keseimbangan

Merefleksi 28 tahun keberadaan FAI Unikarta di bumi “Tuah Himba” Tenggarong, angka 28 yang sebelumnya dimaknai sebagai keseimbangan karena merupakan bilangan genap, tampaknya memiliki relevansinya di dalam teks Alquran, meski bukan berarti alasan ini memberikan pembenaran terhadap anggapan tersebut. Seperti terdapat dalam Surat Al-Fajr (89) ayat 3 yang menyebutkan bahwa Allah bersumpah dengan bilangan genap pada kalimat “wa al-Syaf’i wa al-Watr” yang artinya “demi yang genap dan yang ganjil”. Walaupun sesungguhnya kata “al-Syaf’i” yang berarti genap itu menurut mufassir berkaitan dengan “yaum al-nahr” atau bilangan genap pada tanggal 10 Zulhijjah.

Kemudian, dimaknai dengan keseimbangan lantaran berpasang-pasangan. Surat Yâsîn (36) ayat 36 menyebutkan kata “al-azwâj” yang berarti “berpasang-pasangan” sebagaimana dinyatakan: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan…”. Kata berpasang-pasangan ini dengan demikian cenderung mengarah kepada potensi keseimbangan manakala semua yang diciptakan Allah ada pasangannya, seperti kanan dan kiri, atas dan bawah, muka dan belakang, laki-laki dan perempuan, dan seterusnya.

Selanjutnya, keseimbangan pula disebabkan adanya satu-kesatuan yang saling melengkapi. Ini disebutkan di dalam Surat Az-Zumar (39) ayat 5 pada frasa “nafs wâhidah” artinya “jiwa yang satu” dan “zawjahâ” yang artinya “pasangannya”, sebagaimana dinyatakan: “Dia menciptakanmu dari jiwa yang satu (Adam), kemudian darinya Dia menjadikan pasangannya…”. Jiwa yang satu bermakna tunggal, sementara kehadiran pasangan berarti melengkapi yang tunggal itu. Hal ini berarti adanya satu-kesatuan yang saling melengkapi, berpadu dalam satu ikatan, selaras dalam menjalani kehidupan.

Oleh karenanya, memaknai beberapa ayat di atas dalam konteks Milad FAI Unikarta yang ke-28, penulis mengira di usia yang ke-28 tahun ini FAI Unikarta seyogyanya berada di gerbang stabilitas kelembagaan untuk mencapai berbagai kemajuannya.

FAI Unikarta Sekarang, Bagaimana Harusnya?

Di usia yang ke-28 tahun ini, penulis meyakini bahwa FAI Unikarta telah mencapai dimensi stabilitasnya dan mencapai berbagai kemajuan. Namun demikian, terlepas dari keyakinan itu, apakah berbagai kemajuan dimaksud terjadi karena usaha dan perjuangan seseorang (personal) ataupun atas hasil kerja bersama (kolektif), yang paling utama bahwa keberhasilan FAI Unikarta lantaran mampu bertahan hingga kini sebagai salah satu dari tujuh fakultas di lingkungan Unikarta.

Tatkala FAI Unikarta dianggap telah mencapai stabilitas dan kemajuannya, hal itu tidak serta-merta menjadikan seseorang membusungkan dadanya lebih tinggi. Ataupun jika terjadi kebalikannya, jika masih terlampau banyak kelemahan dan kekurangannya, hal itu tidak serta-merta membuat seseorang harus menundukkan kepalanya lebih dalam. FAI Unikarta sebagai “institusi besar” tidak hanya digerakkan oleh satu atau dua orang saja. Ia menarik keterlibatan berbagai pihak untuk ikut menggerakkannya, antaranya yayasan, pimpinan universitas, pengelola fakultas, para dosen dan karyawan, hingga para mahasiswanya terlibat di dalam upaya pengembangannya.

Dalam konteks pengelolaan kelembagaan FAI Unikarta sekarang di usia yang ke-28 tahun, figur kepemimpinan akademik (academic leadership) sangat dibutuhkan. Figur ini tidak hanya milik pemimpin lembaga (top leader) yang duduk di tingkat pengambil kebijakan, melainkan semua pihak yang memiliki karakteristik seorang pemimpin (leader).

Peranan seorang pemimpin dalam kepemimpinan akademik menjadi sangat penting manakala mengamati berbagai karakteristik kepemimpinan akademik, antara lain: (1) kemampuan melibatkan potensi setiap individu ataupun melepaskannya; (2) memiliki visi dan berkomitmen untuk mendorong dan menggerakkan perubahan secara berkelanjutan dari dalam unit-unit akademik; (3) memiliki pemikiran yang independen sebagai bagian dari budaya akademik serta memahami benar bahwa unit-unit akademik menjadi tantangan dalam fokus mencapai misi kelembagaan; (4) mampu memberdayakan potensi individu melalui contoh dan pengajaran sehingga pada gilirannya dapat melibatkan orang lain dalam mengejar misi lembaga; serta (5) memiliki fokus pada proses perencanaan strategis (strategic planning), di mana hal ini menjadi alat untuk membawa bersama dan mengerahkan kemitraan stakeholders dalam mengejar misi lembaga.

Dalam usia FAI Unikarta yang ke-28 tahun ini, seharusnya setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan fakultas ini memiliki kemampuan melibatkan potensi dirinya agar lebih komunikatif dalam membangun teamwork bersama individu pemimpin lainnya. Ia memiliki visinya dan komitmen untuk mendorong dan menggerakkan perbaikan secara berkelanjutan (continuous improvement) dari dalam unit-unit akademik yang dikelolanya sehingga memahami benar bahwa keberadaan unit-unit akademik yang dipandunya itu menjadi tantangannya untuk mencapai misi kelembagaan. Dalam budaya akademik, ia memiliki pemikiran untuk memberdayakan potensi individu lainnya melalui pengajaran dan keteladanan sehingga pada gilirannya dapat melibatkan orang lain dalam mengejar misi lembaga. Dan, pada akhirnya, diperlukan rencana strategis untuk memberi gambaran futuristik bagaimana FAI Unikarta di masa mendatang, sehingga kemitraan bersama stakeholders sangat dibutuhkan dalam mengaktualisasikan misi lembaga.

Penulis teringat hadis Rasulullah yang berbunyi, “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… Ketahuilah bahwa anda masing-masing adalah seorang pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Kata “râ’in” menurut ulama adalah “orang yang menjaga, orang yang mendapat amanah, dan orang yang harus memilih kebaikan dalam mengurus sesuatu”. Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab kepada orang lain yang dipimpinnya sehingga ia dituntut berlaku adil dan menegakkan kemaslahatan baik yang terkait dengan agama maupun dunianya. Setiap orang yang diangkat oleh Allah sebagai râ’in ini maka ia harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.

Berikutnya, para pemimpin akademik ini diharapkan memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai akademik (academic values) serta berupaya agar terus beradaptasi dengan perubahan internal dan eksternal lembaga. Di momentum usia ke-28 tahun ini, FAI Unikarta seharusnya berupaya mewujudkan budaya mutu dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dalam layanan edukatif ini misalnya, para dosen yang mengajar di FAI Unikarta dituntut berkualifikasi  magister (S2) dan doktor (S3) serta berlatar belakang pendidikan sesuai dengan program studi yang diselenggarakan. Kerangka idealnya, dalam layanan edukatif oleh dosen kepada para mahasiswa, seharusnya mampu memberikan dampak yang spesifik terhadap penambahan wawasan pengetahuan mahasiswa dan kualifikasi keahliannya sebagai lulusan FAI Unikarta.

Termasuk dalam kategori mewujudkan budaya mutu di FAI Unikarta ialah terwujudnya sistem penjaminan mutu internal yang berkualitas, hadirnya sistem informasi yang berkualitas dan dapat diakses oleh semua pihak, serta terwujudnya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Arus hilir dari semua budaya mutu itu adalah capaian predikat akreditasi program studi (Baik Sekali atau Unggul) serta dapat dibukanya berbagai program studi baru. Selanjutnya, budaya mutu diharapkan berdampak pula terhadap meningkatnya kualitas softskill mahasiswa yang menopang terwujudnya jiwa sociopreneur dengan menumbuhkembangkan karakter kepribadian mahasiswa agar dapat berkarya dalam kewirausahaan namun tanpa meninggalkan kepekaan sosial di masyarakat, memiliki keterampilan sosial serta jiwa kepemimpinan, dan tidak kalah penting adalah kesadaran mahasiswa terhadap dinamika keberagaman (berpemahaman moderat) sehingga tidak kaku dalam menghadapi perbedaan-perbedaan keagamaan, kesukuan dan lain-lain.

Menutup tulisan ini, bagi “para pejuang” yang tengah mengawal masa depan FAI Unikarta saat ini, sadarilah bahwa tanggung jawab masa depan lembaga ini terletak di pundak “etam segala”. Oleh karenanya, kerja sama tim serta meletakan kepentingan FAI Unikarta di atas semua kepentingan pribadi adalah prioritas. Mengutip kembali salah satu ayat Alquran untuk direnungkan bersama dalam Surat Al-Isra (17) ayat 84: “Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya”. Selamat Milad ke-28 FAI Unikarta. Ma’a al-najâh, yuftah lanâ al-barakah (semoga sukses, semoga pintu keberkahan dibukakan). (*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Beritaalternatif.com

SETELAH RAMADHAN BERLALU, SUDAHKAH KITA MERAIH KEBERUNTUNGAN?

Dekan Fakultas Agama Islam Unikarta, Haji Mubarak

Dekan Fakultas Agama Islam Unikarta, Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Haji Mubarak*

Dua pekan sudah Idulfitri 1443 H berlalu, di saat perayaan hari raya, sering kita mendengar ucapan selamat berlebaran diiringi “minal aidin wal faizin”. Ucapan ini sebenarnya adalah ucapan salam selamat (al tahni’ah) sekaligus doa yang selengkapnya berbunyi “Ja’alanâ allâh wa iyâkum min al ‘âidîn wa al fâizîn”, yang artinya, “Semoga Allah menjadikan kami dan kalian semua kembali dalam keadaan suci dan memperolah keberuntungan.” Pada kalimat tersebut terdapat kata “al ‘âidîn” yang berarti “orang-orang yang kembali (suci)” sementara kata “al fâizîn” artinya “orang-orang yang beruntung.”

Kedua kata tersebut dalam ilmu Nahwu (ilmu gramatika dalam bahasa Arab) merupakan kata benda (ism) berbentuk jamak muzakkar salim terambil dari wazan fa’il. Asalnya berbunyi “al ‘âidûn” dan “al fâizûn”, namun karena terhukum Khafadh/Jar karena didahului salah satu huruf khafadh/jar yakni “min” maka huruf yang asalnya “wawu” berganti menjadi “ya” sehingga berbunyi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kata “al ‘âidûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “âda, ya’ûdu, ‘audatan” berarti kembali. Adapun kata “al fâizûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “fâza, yafûzu, fauzan” dengan arti keberuntungan, kesuksesan, kemenangan.

Sehubungan dengan doa di atas (Ja’alanâ allâh min al ‘âidîn wa al fâizîn), ternyata jaminan kembali suci tidak berlaku bagi semua orang Islam. Ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang menegakkan Ramadan dengan berpuasa dan diiringi ibadah lainnya karena iman kepada Allah serta mengharapkan pahala dari-Nya. Hal ini tercantum dalam sebuah hadis di dalam Musnad Ahmad bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Ramadhan adalah bulan di mana Allah ‘Azza Wajalla mewajibkan puasa, dan aku telah membuat sunnah untuk shalat malamnya bagi kaum muslimin. Barangsiapa berpuasa karena mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosa akan keluar seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya.

Sementara itu, penyertaan harapan dalam doa di atas dimaksudkan agar setelah bulan Ramadhan berlalu maka orang-orang yang berpuasa serta mendirikan ibadah di dalamnya, selain kembali dalam keadaan suci, juga meraih keberuntungan. Dalam Musnad Ahmad pula terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “…rugilah seorang laki-laki yang datang padanya bulan Ramadan kemudian setelah berakhirnya dia belum mendapatkan ampunan…”.

Pertanyaan yang relevan untuk kita berikan jawabannya, adakah tanda-tanda kesucian pasca Ramadan sudah kita rasakan? Atau, sudahkah kita merasa meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu?

Sekadar memberi perspektif guna menjawab pertanyaan di atas, disebutkan dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif: Fîmâ Limawâshim al’Âm min al Wazhâif bahwa tanda-tanda jika Allah SWT menerima amaliyah seorang hamba maka Dia akan ringankan hamba tersebut untuk menyelaraskan amalan-amalan kebaikan setelahnya. Mengenai hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa pahala suatu kebaikan ialah kebaikan setelahnya. Seseorang yang memperbuat suatu kebaikan kemudian mengiringinya dengan suatu kebaikan lain setelahnya maka hal itu menjadi tanda bahwa kebaikan yang pertama diterima pahalanya. Sementara itu, bagi seseorang yang melakukan suatu kebaikan namun mengiringinya dengan suatu perbuatan dosa setelahnya maka hal itu menjadi tanda tertolaknya amalan kebaikan yang telah dilakukan (Ibn Rajab, 1999:394).

Dengan demikian, tanda-tanda seorang memperoleh kesucian Ramadan ialah jika kurikulum Ramadan yang telah dilaluinya terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari setelah bulan Ramadan berakhir. Dan tentunya, amalan kebaikan yang paling dicintai di sisi Allah ialah amalan yang rutin dan terus-menerus (istiqâmah) meskipun sedikit. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan, antara lain Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bebanilah diri kalian dengan amalan kebaikan sesuai dengan kemampuan kalian karena Allah tidaklah bosan sehingga kalian merasa bosan. Bahwasanya amalan kebaikan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang berterusan walaupun sedikit.” Hadis ini memberikan penekanan bahwa amalan kebaikan hendaknya dilaksanakan secara rutin dan terus-menerus meskipun dilakukan hanya menurut kemampuan seseorang dalam mengerjakannya. Dalam beribadah yang rutin ini hendaknya menjauhi segala bentuk amaliyah yang berlebihan namun cepat bosannya hingga terputus lalu terabaikan.

Lalu, bagaimana mengetahui seseorang meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu? Untuk hal ini kita kembali kepada Alquran. Disebutkan dalam Surat Yunus (10) ayat 63-64 bahwa orang-orang yang meraih keberuntungan itu secara umum ialah orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” Pada surat lainnya, Al-Mu’minun (23) ayat 1-5, Allah pula berfirman: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya.” Dan tentunya, banyak lagi ayat lainnya tentang keberuntungan ini.

Keberuntungan yang didapatkan oleh seseorang setelah Ramadan terpancar dari keindahan perbuatan ibadahnya setelah Ramadan itu berlalu. Di dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif (Ibn Rajab, 1999:396) disebutkan bahwa Abu Nashr Bisyr bin al-Haris al-Hafi pernah ditanya tentang suatu kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai ibadah itu hanya di bulan Ramadan. Beliau (Bisyr bin al-Haris) mengatakan: “Seburuk-buruk kaum ialah mereka yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya (memberikan peribadatan terbaik) kecuali hanya di bulan Ramadan.” Maksud pernyataan ini, memprioritaskan ibadah hanya di bulan Ramadan dan mengabaikan peribadatan terbaik setelah Ramadan itu berlalu atau bulan-bulan lainnya adalah termasuk perbuatan yang buruk. Dengan demikian maka orang-orang yang beruntung setelah Ramadan berlalu adalah orang yang menjaga kualitas iman dan takwanya hingga mampu berlaku istiqâmah baik di saat menjalani ibadah di bulan Ramadan maupun setelah Ramadan itu berlalu. Wa Allâh al Musta’ân, wa ilâ Allâh Turja’ al Umûr(*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Sintesanews.id