PENDIDIKAN ISLAM DI ABAD TEKNOLOGI DIGITAL

Wakil Dekan I FAI Unikarta Sofian Efendi

Oleh: Sofian Efendi*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Pendidikan Islam sering diposisikan sebagai faktor yang paling bertanggung jawab atas kompleksitas problem kehidupan, tidak hanya problem pribadi, tapi juga problem sosial bahkan problem umat. Pandangan demikian berangkat dari asumsi bahwa potret dan karakter masyarakat sangat tergantung dan ditentukan oleh pendidikannya. Itulah sebabnya persoalan baik buruk individu dan masyarakat sering dikembalikan pada kualitas pendidikannya.

Memang banyak fakta yang mendukung pandangan seperti ini. Namun juga harus diakui bahwa pandangan seperti ini sering membuat pandangan kita menjadi tidak jernih dalam melihat persoalan yang melilit dunia pendidikan. Memang pendidikan harus memiliki peran sosial, tetapi bukan berarti persoalan-persoalan sosial dapat terselesaikan dengan pendidikan saja. Artinya, meletakkan problem sosial apalagi problem global ke “pundak” pendidikan adalah sikap tidak adil terhadap dunia pendidikan.  Jika harus dipaksakan, tidak saja akan gagal dalam menyelesaikan problem sosial itu, tetapi sudah dapat dipastikan, dunia pendidikan akan terseret arus persoalan masyarakat yang sangat boleh jadi mengancam dunia pendidikan itu sendiri.

Kerangka berfikir ini tidak berarti menolak mentah-mentah pandangan umum yang misalnya mengatakan, jika pendidikan baik pasti masyarakatnya juga baik. Di sini hanya diingatkan bahwa pandangan sebaliknya juga jangan dilupakan: jika masyarakatnya baik, pasti pendidikannya juga baik. Pendidikan bukanlah dunia yang netral yang ada dengan sendirinya. Yang pelu disadari dengan sebenarnya adalah bahwa pendidikan merupakan produk sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Bahkan produk struktur kesadaran manusia itu sendiri. Di sini pendidikan menjadi sangat tergantung dengan latar belakang sejarahnya, tergantung dengan kondisi sosial dan budayanya, tergantung dengan situasi sosial-ekonominya, juga sangat tergantung dengan situasi dan kebijakan politik yang ada, termasuk tergantung dengan pandangan-pandangan, anggapan-anggapan dan harapan-harapan seseorang terhadap dunia pendidikan, bahkan mungkin juga dengan situasi kemajuan dunia teknologi informasi.

Beberapa aspek eksternal inilah yang pada kenyataannya sangat menentukan corak dan kualitas dunia pendidikan, setidaknya jika dibandingkan dengan aspek internalnya yang konon ada tujuh aspek, yakni tujuan, guru, murid, materi, metode, sarana, dan evaluasi. Di era dunia teknologi digital ini, kesadaran demikian tampaknya diperlukan untuk melihat secara lebih jernih problem pendidikan sesungguhnya.

Situasi yang Tak Bisa Terelakkan

Liberalisme pers ditambah dengan kecanggihan teknologi digital telah membuat dunia ini menjadi seperti kampung yang kecil. Manusia abad ini dengan mudah mangakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perkembangan peristiwa di belahan dunia dapat segera bisa diikuti oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Budaya yang berkembang pada berbagai suku, bangsa dan negara dapat saling berinteraksi, sehingga nilai sosial dan budaya dapat saling tiru dan saling terpengaruh. Inilah sebagian dari tanda suatu zaman yang disebut dengan era dunia teknologi informasi.

Ketika kita membayangkan dunia teknologi digital lalu membayangkan tentang “perputaran” dunia yang serba cepat. Antara satu negara dengan negara yang lain terasa lebih dekat. Bumi ini terasa semakin sempit seperti bola yang dapat dengan mudah kita cermati bagian-bagian sisinya dengan cepat dan mudah. Memang tidak sulit memahami arti dunia teknologi digital, karena kita ini memang sedang merasakan hidup di tengah-tengah kemajuan dunia teknologi digital sebagaimana dicirikan oleh istilah tersebut.

Teknologi digital sebenarnya merupakan sebutan untuk “dunia yang serba menggunakan/memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menghadapi berbagai tantangan hidup di era dunia yang jauh dari perkiraan dan tak terprediksikan. Inilah dunia yang telah lepas kendali (run away world). Teknologi digital sebagai buah dari kemajuan ilmu pengetahuan, memang tidak pernah diciptakan/dibuat Tuhan, tetapi terjadi sebagai akibat dari ulah perbuatan manusia. Maka konsekuensi dari ulah perbuatan tangan-tangan manusia akan dihadapi oleh manusia itu sendiri baik kebaikan maupun keburukannya.

Negara-negara Barat sebagai sumber pembentuk terjadinya kamajuan dunia teknologi informasi, merasa “kapok” atas kemajuan dunia teknologi informasi  dan segala akibatnya, apalagi bangsa kita yang hanya sekedar “ketularan” atau “ketibanan” tentu akan lebih kerepotan lagi menghadapinya.

Dalam sejarah kemajuan teknologi digital bisa dilacak akar-akarnya pada dunia Barat sekita abad 16-an yang lalu, yakni di saat impian-impian orang Barat untuk mengubah “nasib” dari yang tidak pasti menuju kepastian, terus dan terus diupayakan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Impian-impian itu antara lain: Pertama, andaikan urusan agama dan urusan pemerintahan (keduniaan pada umumnya) dapat dipisahkan, tentu akan lebih leluasa mengatur pemerintahan dan dunia ini. Impian ini terus mereka upayakan dengan suatu proses yang disebut “sekularisasi”, dan negara kita pun sempat ketularan diera 80-an di mana pemerintah memisahkan pendidikan agama dan umum, yang berimbas perhatian lebih hanya pada lembaga-lembaga pendidikan umum sedang lembaga pendidikan agama semakin termarginalkan.

Kedua, andaikan tradisi dan kehidupan yang irrasional ini bisa diubah menjadi rasional maka akan mereka ubah, di sinilah kita kenal istilah modernisasi, yaitu proses penghapusan tradisi yang tidak rasional selanjutnya diupayakan menjadi rasional termasuk menghilangkan tradisi-tradisi baik dalam masyarakat Islam. Apa saja bisa mereka lakukan.

Ketiga, andaikan pembacaan terhadap realitas ini bisa diilmiahkan maka upaya yang dilakukan adalah proses saintifikasi. Keempat, andaikan alam ini bisa direkayasa maka impian ini akan diwujudkan dengan suatu proses yang disebut “teknologisasi” atau “industrialisasi”. Kelima, andaikan dunia Timur (termasuk Islam) itu bisa seperti negara Barat yang maju maka akan diupayakan yang dikenal dengan istilah “kolonialisasi” dan “westernisasi”.

Apakah akibatnya? Seperti yang dapat kita saksikan bersama (1) antara urusan pemerintah (dan urusan keduniaan pada umumnya) harus terpisah dengan urusan agama, bahkan agama itu telah kuno dan perlu dipinggirkan. (2) segala tradisi, budaya dan norma agama yang dianggap tidak rasional harus ditolak, dan hanya mau menerima yang rasional saja. (3) berkembangnya pola fikir saintisme, yaitu pola fikir: jika…maka… yang kaku dan tak kenal ampun. Di sini peran akal tidak hanya maksimal, tetapi sudah dianggap segala-galanya. (4) intervensi manusia terhadap alam, membuat alam sendiri tidak bersahabat. Demikian juga penggunaan teknologi secara besar-besaran, lalu dengan sengaja membuat manusia  merasa ketergantungan dengan teknologi, bahkan hampir di segala aspek kehidupan. Selanjutnya adalah adalah “banjir” produk dengan berbagai iklannya dengan segala keunggulan dan kelebihannya, juga persaingan bisnis produk-produk teknologi tak dapat dihindari. Dan (5) proses pembaratan dan penjajahan terus berlangsung sampai hari ini, baik sektor politik, ekonomi, pemikiran, budaya, maupun produk-produk Barat lainnya.

Semua kemajuan ini telah membuat “dunia lepas kendali” dan teknologi dan informasi menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan. Dalam beberapa hal, kemajuan di Barat jelas membawa aspek positif bagi mereka, seperti beberapa kemudahan-kemudahan dengan pemanfaatan teknologi (dalam bidang  ilmu pengetahuan), namun pemanfaatan teknologi informasi jelas akan memunculkan dampak negatif tepatnya “resiko buatan” (manufactured risk) dalam arti, resiko sebagai akibat kesalahan cara pandang dan pengetahuan kita atas dunia, berupa ketidakpastian baru yang melampaui kemampuan antisipasi kita.

Perubahan dahsyat itu merombak tradisi dan budaya dengan segala kekayaannya, mulai yang paling sederhana, seperti model pakaian, gaya hidup (life style), pola-pola hubungan masyarakat, hingga yang terkait  dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, termasuk nilai-nilai agama. Tidak hanya itu, teknologi informasi juga mengubah gaya berkeluarga: mulai dari tujuan berkeluarga, pola hubungan dalam rumah tangga: suami dengan istri, orang tua dengan anak. Semua itu seolah  menjadi pola robotik. Mungkin inilah yang disebut proses dehumanisasi, yaitu hilangnya unsur-unsur kemanusiaan dalam diri manusia, maka sandiwara sudah terjadi di hampir semua kehidupan ini.

Perubahan-perubahan itu semakin mencapai puncaknya, di saat teknologi informasi dan telekomunikasi sudah sedemikian canggih, diperparah dengan liberalisasi di bidang pers. Akibatnya pertukaran nilai budaya dapat dengan mudah terjadi, bahkan sudah terjadi. Kondisi ini, di satu sisi dapat mempercepat proses modernisasi (pembaharuan) dari budaya tradisional, namun pada sisi lain dapat terjadi pula pengikisan atau penghilangan budaya luhur dan digantikan dengan budaya asing yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita bahkan nilai-nilai agama kita.

Media informasi elektronik seperti televisi sebagai salah satu produk kamajuan teknologi  juga memunculkan problematika tersendiri. Di satu sisi sebagai media informasi dan penyebaran nilai-nilai budaya, namun pada sisi yang lain juga dapat menjadi sarana “perusak” terhadap nilai budaya ketimuran kita yang selama ini sudah berkembang dengan baik.

Dalam banyak hal, tayangan televisi menyuguhkan apa yang oleh para sosiolog disebut dengan hiper-realitas (hypperreality), yakni realitas semu yang sebenarnya tidak terjadi pada kenyataan, namun dibuat agar menarik perhatian dan segera akan ditiru oleh masyarakat sehingga akhirnya menjadi kenyataan juga. Ketika sudah menjadi kenyataan televisi akan menampilkan hyperreality yang baru, lalu diikuti dan menjadi kenyataan yang baru lagi, bagitu seterusnya. Singkat kata, semakin “gila” tayangan televisi maka akan semakin menarik. Ketika penonton sudah menjadi “gila”, televisi akan menayangkan suguhan yang lebih “gila” lagi, jika tidak tentu tidak akan lagi menjadi menarik.

Di sinilah sadar atau tidak, karakter kita dan generasi bangsa ini akan terbentuk. Maka yang membentuk kepribadian manusia abad ini ternyata bukan lagi orang tua, bukan pula guru atau para pemimpin, tetapi oleh media massa, yang merupakan imbas kemajuan teknologi informasi. Masa depan generasi kita hampir sepenuhnya sangat ditentukan oleh tayangan/tontonan media massa dan unggahan media sosial hari ini.

Absurditas Manusia Modern

Hal lain yang menjadi keprihatinan bersama saat ini adalah terkait budaya pragmatisme dan hedonisme yang membentuk karakter manusia modern yang materialistic oriented. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasilkan dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikamatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kanikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastika bahwa akan terjadi penggerusan terhadap beberapa sisi dari kemanusiaan itu sendiri, terutama persoalan moralitas dan etika.

Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itu hanya sebagian dari beberapa anomali yang include dalam permasalahan modernitas itu sendiri, di mana kesemuanya ternyata sangat potensial  untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.

Pengaruh pragmatisme, materialisme, dan hedonisme sangat luar biasa dahsyatnya pada segala segi kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan. Tidak semua orang belajar semata-mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan yang justru diutamakan adalah agar mendapat selembar ijazah. Tanda bukti lulus digunakan untuk mendapatkan kesempatan memasuki posisi-posisi penting yang banyak menghasilkan uang.

Budaya materialisme dan hedonisme juga dibarengi oleh budaya mental instan dan serba mencukupkan formalitas. Itulah akibatnya, orang belajar bukanlah untuk mengejar ilmu melainkan sekedar mengejar aspek yang bersifat simbolik untuk menerabas agar cepat berhasil meningkatkan pendapatan. Budaya ini sangat mengganggu proses pendidikan. Segala sesuatu selalu diukur dengan uang. Mengajar, menguji, dan membimbing selalu dikaitkan dengan besarnya imbalan yang akan diterima. Mendatangi kegiatan yang menjanjikan uang akan dikedepankan dari pekerjaan rutin membimbing mahasiswa yang sesungguhnya lebih bersifat urgen. Apa yang dilakukan oleh staf perguruan tinggi itu memang tidak terlalu mudah untuk disalahkan, karena tuntutan keluarga, sosial, dan kehidupan sudah semakin menghimpit mereka.

Fenomena mengedepankan besarnya dana yang akan diperoleh tidak saja terjadi di tataran individu melainkan juga pada lembaga secara keseluruhan. Akhirnya yang terjadi di dunia pendidikan pun layaknya dalam dunia bisnis pada umumnya. Yaitu ada uang maka ada pelayanan dan semakin tinggi harga yang dibayar, maka di sanalah pelayanan terbaik akan didapatkan. Muncullah semboyan “ada uang, maka ada barang”, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Pada gilirannya di kampus-kampus dikenal dengan berbagai jenis pelayanan pada mahasiswa. Yaitu kelas biasa dengan harga rendah, ada kelas khusus dengan biaya khusus, dan ada pula kelas eksekutif dengan biaya eksekutif pula.

Lalu apalagi yang kita fikirkan di tengah-tengah budaya materialisme dan hedonisme seperti saat ini, tatkala berbicara peningkatan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran seperti apa yang sesungguhnya akan kita tingkatkan. Sebab semua aspek kehidupan ini sudah mendasarkan pada tarif. Kualitas apa saja, termasuk kualitas pendidikan selalu tergantung pada besaran tarifnya. Tanpa terkecuali kualitas pelayanan pendidikan, sebagimana hukum alam sudah selalu disejajarkan dengan besarnya biaya yang harus dibayarkan.

Rupanya dunia materialistik dan hedonistik ini semakin berkonsekuensi pada munculnya budaya transaksional di seluruh lapangan kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Peningkatan kualitas selalu disejajarkan dengan jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan.

Krisis Sains Modern

Di antara kepihatinan para intelektual saat ini adalah soal perkembangan sains modern yang bisa dikatakan sebagai pilar utama peradaban Barat modern. Maka tema seputar model sains alternatif  menjadi trend gerakan intelektualisme saat ini. Terkait dengan persoalan ini, Armahedi Mahzar mengidentifikasi empat dampak sains modern, yaitu dampak militer, ekologis, sosiologis, dan psikologis. Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan militer-militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi.

Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia.

Kebanyakan ilmuwan tidak tahu menahu soal dampak negatif penerapan sains dan teknologi itu, karena dianggap bukan urusan mereka. Umumnya mereka merasa tugas utamanya hanyalah mencari kebenaran ilmiah yang bersifat netral. Sementara para teknolog juga melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa teknologi itu bagaikan pisau bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau negatif. Bergantung pemakainya.

Persoalan pokok dari pemanfaatan teknologi sebanarnya bukan hanya soal dampak, tetapi  lebih terkait problem paradigmatik atau problem episteme yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Menurut Budi Hardiman, problem epistemis itu terkait empat elemen pokok, yaitu rasionalitas lebih dari wahyu, kritik lebih dari sekedar sikap naif yang tidak terbebas dari tradisi dan sejarah, progresif lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.

Keempat elemen itu bersifat normatif sehingga berlaku universal: kebenaran wahyu diuji di hadapan rasionalitas, otoritas tradisi dan sejarah dipersoalkan dengan kritik, keluhuran tradisi dipertanyakan atas dasar harapan akan masa depan. Seiring dengan universalisasi norma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai  grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Faucault.

Demikian juga lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah jelas bukan tanpa sejarah. Refleksi sejarah Auguste Comte yang hanya mempercayai fakta positif dan digali dengan metodologi ilmiah, lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.

Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaiman sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarialisme in the newfashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni tradisi, dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni. Sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city yang dipopulerkan Harvey Cox. Sejarah mencatat upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati.

Maka dari sinilah sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya. Problem dualisme sistem pendidikan,  yang menjadi keprihatinan pengamat pendidikan selama ini juga berawal dari pandangan dikotomis itu. Kemungkinan besar dari sini pula akar sejarahnya mengapa selama ini sistem pendidikan agama, seperti pesantren dan madrasah diperlakukan sebagai pendidikan kelas dua.

Antara Proteksi  dan Proyeksi

Dampak terberat dari kemajuan teknologi digital adalah bahwa hidup ini telah menjadi sedemikian gersang. Manusia sudah meninggalkan unsur terdalam dari kemanusiaannya, yakni perasaan (emosi) dan hati nurani (spiritualitas). Nilai-nilai luhur dalam masyarakat, bahkan nilai dan ajaran agama telah digusur dan tidak lagi menjadi landasan dalam hidup ini. Hidup yang demikian inilah yang sering dikatakan dengan “matinya makna”.

Para pemikir kelas dunia sebenarnya juga mulai menyadari dampak kemajuan teknologi digital ini. Mereka menawarkan “obat” yang disebut dengan “demokrasi sejati” (demokcratising democracy). Yang menurut mereka: euforia kemajuan teknologi digital dapat reda atau minimal dampaknya dapat diminimalisir, jika negara-negara diberi hak untuk hidup dan mengurus negaranya sendiri, tidak ada saling intervensi. Bahkan jika masing-masing individu dapat dengan mandiri menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tentu ini bukan tugas kita, meskipun kita juga dapat membayangkan bahwa tawaran ini sulit terwujud. Maka yang dapat kita lakukan adalah membangun kesadaran baru dengan kembali mengisi hidup kita dan generasi kita dengan makna. Aktivitas 24 jam sehari semalam akan bermakna ibadah jika aktivitas itu diterangi agama. Pola hubungan dengan orang lain akan bernilai silaturrahim jika tulus dan tidak ada kebencian dan persaingan, dan seterusnya. Dengan begitu kita telah dapat kembali menyatukan antara urusan agama dengan urusan dunia.

Hidup bermasyarakat dan berkeluarga akan jauh lebih bermakna jika tidak sekedar hubungan fisik dan jasmani, tetapi hubungan emosional yang menggunakan perasaan dan fikiran. Di era teknologi digital ini menempatkan emosional (EQ) dalam kehidupan sosial terbukti dapat mendatangkan kesuksesan. Maka pertimbangan geografi (kedaerahan) dan demografi (keprofesian) dalam hidup bersosial, mestinya ditambah pertimbangan satu lagi, yaitu psikografi (ke-citarasa-an). Jika demikian, berarti kita telah ikut mengembalikan unsur kemanusiaan kepada kehidupan manusia sendiri.

Tidak dapat diragukan, akal dan fikiran memiliki peran cukup penting dalam hidup ini, namun akal bukanlah segala-galanya. Akal memang harus dimaksimalkan, namun tetap dengan kesadaran bahwa akal ada batasnya. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah mengembalikan posisi akal pada “baraknya”.

Islam Indonesia dan tradisi Jawa memiliki kekayaan potensi budaya yang menakjubkan, namun belum dikembangkan secara maksimal. Memperkuat dan mengembangkan potensi budaya kita sendiri bisa sedikit meminimalisir masuknya budaya asing, yakni budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah bersikap tepat dalam menghadapi “banjir” westernisasi (penjajahan budaya Barat).

Jika kesadaran baru seperti ini tidak muncul, mustahil dunia pendidikan akan menjadi lebih baik di tengah berbagai krisis akibat kemajuan teknologi informasi itu. Maka yang paling utama adalah adanya perubahan kesadaran dan sikap, lalu perubahan nilai dan budaya. Dengan begitu besar kemungkinan pendidikan akan menjadi lebih baik.

Sejalan dengan pemikiran ini, strategi yang bisa dilakukan pendidikan Islam adalah proteksi sekaligus proyeksi. Proteksi adalah prinsip konservasi nilai yakni strategi untuk membentengi nilai-nilai luhur dari ancaman nilai dan budaya luar yang destruktif. Nilai-nilai apa saja yang harus diproteksi memang masih dapat didiskusikan lebih lanjut, namun jika merujuk pada QS. Al-‘Ashr maka bisa diuraikan minimal ada tiga nilai yang harus diamankan dari pengaruh destruktif, yaitu iman, amal saleh, dan saling menjalin network atau tali silaturahim dengan sesama. Internalisasi tiga nilai ini pada seseorang, Allah jamin tidak akan pernah merugi selama-lamanya. Fenomena boarding school, pondok pesantren, atau fullday school yang banyak diminati saat ini menunjukkan keprihatinan orang tua terhadap nilai budaya destruktif di satu sisi, dan perhatian akan konservasi nilai luhur di sisi yang lain.

Sementara proyeksi adalah prinsip progresivitas dari pendidikan. Strategi ini mengharuskan lembaga pendidikan Islam dan dunia pendidika pada umumnya untuk terus meningkatkan kualitasnya, meletakkan visi misi yang jelas sesuai hasil pembacaannya terhadap masa depan. Insan pendidikan Islam mesti tanggap terhadap tanda-tanda zaman, tanggap terhadap situasi sosial, budaya, ekonomi dan politik, bahkan cerdas dalam memprediksi perkembangan zaman. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan pada suatu zaman yang bukan zamanmu.” demikian sabda Rasul.

Penutup

Di akhir tulisan ini bisa disampaikan bahwa kemajuan teknologi digital dampaknya telah merasuk ke hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan dampak negatifnya pun hampir tidak disadari sebagai sesuatu yang negatif, karena umumnya kita terlena dan larut dalam kehidupan kebersamaan. Maka dengan tidak terlena dan segera sadar atas kehidupan “dunia yang lepas kendali” itu merupakan modal penting untuk dapat mengantisipasi dampak negatifnya. Kesadaran itu biasanya baru dapat tumbuh di saat tersedia waktu untuk ber-muhasabah ( mawas diri). Sementara manusia era teknologi informasi sekarang ini hampir tak ada waktu untuk melakukan hal itu.

Tinggi rendahnya mutu dunia pendidikan kita memang tidak serta-merta karena dunia pendidikan itu sendiri, tetapi sebagian besarnya ditentukan oleh sikap dan perilaku kita terhadap dunia pendidikan. Berbagai krisis yang terjadi di era modern bukan karena pendidikan yang salah, tetapi karena krisis itu telah membuat dunia pendidikan juga mengalami krisis. Perubahan dunia pendidikan menjadi mungkin jika nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berubah.

Jika kemajuan teknologi informasi berawal dari impian bangsa Barat yang terus diwujudkan, maka kita pun bisa mengatasi dampaknya dengan mewujudkan impian ini. Wallahu a’lam bish shawab. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Daftar pustaka

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in 

         Theological Perspective(New York: The Macmillan Company,

1967)

Faucoult, Michel, Diciplin and Punis: The Brith of Prison, Trans.Alan

Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)

——-, The Order OF Think: An Archeology of Human Sciences,(New

york: Vintage Book, 1994)

Hardiman, Bidi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2003)

Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphisics, Terj. The Paul

Carus, Revisi oleh James W.Ellington (IndiNA Polish/Cambridge:

Hackett Publishing Company, 1977)

Lyotard, The Postmodern Condotion, A Report and Knowledge,

          (Manchester: Manchester University Press, 1984)

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami,

          Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)

Marty, Martin E., “Does Secolar Theology  Have a Future” dalam The

           Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopedia Brittannica, Inc.,

1967)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar,

          Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:

Belukar Budaya, 2003)

Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2007)

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Muhammadiyah, 1960)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *