HIKMAH IBADAH KURBAN

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Mukmin*

Islam memberikan predikat yang tinggi dalam ibadah kurban. Ulama-ulama terdahulu mengategorikannya sebagai salah satu ibadah yang paling agung. Karena ibadah kurban adalah representasi dari nilai kepatuhan, keikhlasan, serta pengorbanan seorang hamba kepada Allah Swt.

Seorang hamba dengan ikhlas mengeluarkan sebagian hartanya untuk membeli hewan kurban, kemudian menyembelihnya seraya bertakbir dan mengagungkan kebesaran Allah Swt.

Lalu, ia membagikan dan bersedekah dengan daging hewan kurban tersebut kepada fakir miskin, serta memberikan hadiah kepada saudara dan tetangganya untuk mempererat ikatan silaturrahmi antar-sesama.

Allah Swt menyebut salat dan menyembelih hewan kurban sebagai ibadah yang menjadi pembeda antara yang haqq dan bathil, antara iman dan kekufuran, serta antara tauhid dan kemusyrikan.

Allah Swt berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku. Aku adalah orang yang pertama dalam kelompok orang muslim.” (QS. Al-An’am 162-163).

Beberapa ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan tentang keharusan manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah, baik dalam bentuk ibadah ritual ataupun lainnya, semenjak hidup sampai mati.

Selanjutnya timbul pertanyaan, apa sebetulnya tujuan dan hikmah dari ibadah kurban? Terdapat beberapa hikmah disyariatkannya ibadah kurban menurut penjelasan para ulama.

Yang pertama, untuk menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim AS. Karena syariat menyembelih hewan kurban pertama kali diwajibkan kepada beliau. Ketika itu, selama beberapa hari Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putra satu-satunya, yaitu Isma’il ASNabi Ibrahim memaknainya sebagai perintah Allah Swt untuk menyembelih putranya tersebut.

Tentu sebagai ayah, ada rasa sedih yang harus ditahan untuk bisa mentaati perintah yang sangat berat itu. Tapi, dengan penuh keikhlasan, Nabi Ibrahim memantapkan hati untuk melaksanakannya.

Nabi Ibrahim kemudian bertanya kepada putranya, untuk melihat apakah ia juga mempunyai keikhlasan yang sama untuk taat kepada Allah Swt. Ternyata, Isma’il juga sangat siap.

Maka Ibrahim bersiap menyembelihnya dan merebahkannya. Saat itulah Allah Swt menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Kisah ini Allah SWT tuturkan dalam Surat ash-Shaffat ayat 103-110.

Hikmah yang kedua, ibadah kurban menjadi sarana untuk bersedekah dan mempererat tali silaturrahmi. Rasulullah Saw mengajarkan agar daging hewan kurban dibagi-bagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan sanak saudara. Hal ini dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kasih sayang terhadap sesame, serta memuliakan kerabat dan tetangga kita.

Hikmah yang ketiga, ibadah kurban merupakan bentuk kesyukuran kepada Allah Swt atas berbagai kenikmatan yang senantiasa dilimpahkan-Nya kepada kita.  Oleh karena itu, kurban disyariatkan kepada mereka yang Allah Swt lapangkan rezekinya dan mempunyai kemampuan.

Nikmat Allah Swt yang begitu banyak sudah selayaknya disyukuri, di antaranya dengan mengeluarkan sebagian harta untuk membeli hewan kurban dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin.

Sebagai seorang hamba, semoga kita semuanya bisa totalitas tunduk   dalam ketaatan, senantiasa mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Akhirnya, semoga Allah Swt meluaskan rezeki kita dan mudahkan kita untuk bisa berkurban pada tahun ini. Semoga Allah Swt juga menganugrahkan keikhlasan dalam ibadah kurban kita, agar diterima dan mendapatkan ridha dari Allah Swt. Amin ya rabbal ‘alamin. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Sintesanews.id

IDUL ADHA SEBAGAI MOMENTUM BERKUMPUL DAN PENGEMBANGAN KESADARAN SOSIAL

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Haji Mubarak*

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

La Ilaha Illallah Wallahu Akbar.

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Lantunan takbir, tahlil dan tahmid, mengiringi ungkapan syukur kita ke hadirat Allah SWT, atas nikmat karunia-Nya, kita dipertemukan kembali dengan fajar Iduladha 1443 H. Dalam suasana sukacita setelah melalui masa-masa genting Covid-19, kini saatnya kita dapat mengaktualisasikan kenormalan baru dalam dimensi kehidupan beragama di tengah masyarakat, memenuhi masjid-masjid maupun tanah-tanah lapang guna menunaikan ibadah sholat Iduladha secara berjamaah.

Dimensi keagamaan masyarakat Muslim Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terasa kian bergairah. Pemerintah pusat memberikan kelonggaran interaksi di ruang publik setelah masa pancaroba pandemi Covid-19 berlalu. Di tengah gairah keagamaan yang kian tinggi, kesempatan melaksanakan ibadah haji dapat diraih oleh umat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Kabupaten Kukar yang mendapat kesempatan ibadah haji, setelah penantian panjang selama dua tahun. Wajah-wajah gembira jamaah haji terpancar dari wajah mereka, ketika kenikmatan beribadah haji mampu diraih: menziarahi dua kota suci umat Islam, yakni Makkah dan Madinah. Menziarahi Rasulullah di Masjid Nabawi, memakai kain ihram, melaksanakan thawaf di Baitullah, berlari-lari kecil (sa’i) antara Bukit Shofa dan Marwah, melaksanakan jamarat (Jumrat a-Ula, al-Wustha, dan al-‘Aqabah), melaksanakan wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, ber-tahallul, dan lain-lain.

Sholat Id sebagai Momentum Berkumpul

Tanggal 10 Zulhijjah kita merayakan Iduladha dengan sholat berjamaah di masjid-masjid atau tanah-tanah lapang. Disusul kemudian dengan berkurban (al-Udhhiyyah) bagi mereka yang berkecukupan untuk meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla di hari yang mulia. Dalam momentum pelonggaran berinteraksi pasca pandemi Covid-19, seyogianya peluang terbuka ini dimanfaatkan oleh umat Islam agar berbondong-bondong, berduyun-duyun, untuk melaksanakan sholat Id secara berjamaah. Karena sesungguhnya, sholat Id yang kita laksanakan ini pada hakikatnya adalah menguji kesadaran dan sejauh mana pola fikir dan tindakan yang kita lakukan benar-benar sejalan dengan perintah Allah. Disebutkan dalam Alquran: “…Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)….” (Q.S. Al-Kausar/108:2).

Melaksanakan sholat Id hukumnya adalah sunnah muakkadah. Pelaksanaan sholat Id, apakah di masjid maupun di lapangan, tidak menentukan mana yang lebih afdhal di antara keduanya. Fokus utama dalam sholat Id adalah berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kebahagiaan dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid bersama-sama. Betapa pentingnya sholat Id, hingga Rasulullah terus-menerus mengerjakan sholat Id sepanjang hidupnya dan tidak pernah meninggalkannya. Beliau bahkan memerintah umatnya untuk keluar di hari itu menuju masjid dan tanah lapang untuk menunaikannya, menyuruh para wanita dan gadis-gadis pingitan, bahkan wanita yang haid sekalipun untuk menyaksikan kebaikan sholat Id dari kejauhan. Hadis dari Abi Sa’id Al-Khudri, ia berkata: “Rasulullah biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idulfitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah sholat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan maka diputuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu maka dirintahkannya, dan kemudian berpaling….” (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, dan Nasa`i 1/234).

Di masa dahulu, Nabi memang melaksanakan sholat Id di tanah lapang karena Masjid Nabawi belum mengalami perluasan seperti sekarang, sehingga sholat Id di lapangan dirasa mampu menampung jemaah lebih banyak. Di masa sekarang, sudah banyak masjid yang mampu menampung jemaah lebih banyak, termasuk digunakannya serambi dan halamannya. Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa: “Jika masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jemaah) maka sebaiknya sholat di masjid dan tidak perlu keluar…. karena sholat di masjid lebih utama”. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Baari (5/283), menyepakati pandangan tersebut sehingga menyimpulkan jika faktor sifat hukum yang jelas dan dapat dinalar (‘illat al-hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka sholat Id dapat dilakukan di dalam masjid, dan melakukannya lebih utama daripada di tanah lapang”.

Kurban sebagai Momentum Mengembangan Kesadaran Sosial

Berkurban adalah kebutuhan umat Islam, selain sebagai penyempurna ibadah, juga menjadi jalan taqarrub ilallâh. Berkurban sah dilaksanakan pada hari Iduladha, yakni tanggal 10 Zulhijjah (yang disebut “Yaum al-Nahr”), dan pada tiga hari setelahnya yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah (yang disebut “al-Ayyâm al-Tasyrîq”). Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir ibn Muth’im bahwa Rasulullah bersabda: “Seluruh hari Tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) diperbolehkan berkurban”.

Berkurban pada hakikatnya adalah perlambang ketulusan hati seorang hamba untuk beribadah dengan mengeluarkan harta melalui hewan kurban yang disembelih sebagai rasa syukur kepada Allah. Dengan berkurban diharapkan terbangun jati diri manusia sejati, yaitu sebagai ‘abdullâh atau “insan pengabdi” yang seluruh hidupnya diserahkan untuk menghamba kepada Allah di muka bumi. Meski demikian, kurban yang diterima pahalanya di sisi Allah, hanyalah sembelihan hewan kurban yang diniatkan atas landasan takwa kepada-Nya. Mengenai hal ini Allah berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. ….” (Q.S. Al Hajj/22:37).

Ibadah kurban seharusnya juga dimaknai sebagai pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan sebagian harta kekayaannya kepada umat yang membutuhkan (miskin). Dengan harapan dapat meringankan beban penderitaan mereka yang masih dalam kemiskinan. Semangat membantu meringankan penderitaan sesama manusia adalah substansi kurban yang perlu dikedepankan. Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain, meski setiap tahunnya melaksanakan kurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah kurban.

Untuk itulah, ibadah kurban sudah sepantasnya dijadikan momentum yang sangat berharga untuk menggerakkan dan mengembangkan kesadaran sosial bagi sebagian orang yang memiliki aset ekonomi memadai agar melakukan pemerataan kesejahteraan. Semoga kita diberikan kelimpahan rizki untuk dapat menyisihkan sebagian dari harta yang dimiliki itu untuk melaksanakan ibadah kurban.

Seuntai doa saya tuliskan, semoga dapat di-amin-kan oleh seluruh umat Islam: Ya Allah, muliakanlah agama Islam dan kaum muslimin, hinakanlah kemusyrikan dan para pelakunya, serta tinggikanlah agama-Mu sampai Hari Kiamat.

Ya Allah, jadikanlah para pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi agama Islam, dan kaum muslimin. Jauhkanlah para pemimpin kami dari teman dekat yang cenderung berbuat jahat dan teman yang merusak. Dekatkanlah orang-orang baik dan pemberi nasihat terbaik kepada mereka, bantulah mereka, ya Allah, agar dapat menunaikan tugas mereka, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Tuhan semesta alam.

Ya Allah, wahai Tuhan kami, berikanlah kebaikan kepada kami dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari azab api neraka.

Akhir kalam, semoga derajat takwa disematkan oleh Allah bagi kita semua, dan bagi umat Islam yang berkurban di tahun ini atas ketulusan niat dan kemurnian hati guna mengharapkan keridhaan dari Allah (ridhallâh fî al-Udhhiyyah). (*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Beritaalternatif.com

MENGEMBALIKAN MARWAH PESANTREN, BEBERAPA CATATAN TENTANG NILAI-NILAI ADILUHUNG

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

Oleh: H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Cukup layak kiranya jika topik ini saya angkat di tengah maraknya pemberitaan negatif tentang pesantren. Entah karena kasus-kasus asusila yang terjadi oleh oknum di pesantren maupun disebabkan khalayak yang cenderung spekulatif tentang pendidikan pesantren, yang “konon katanya” tidak seideal harapan mereka tentang lembaga pendidikan Islam kultural yang mumpuni mencetak kader-kader ulama dengan semangat “tafaqquh fi al-Din”. Di Kota Tenggarong, misalnya, dalam sepekan terakhir di bulan Maret 2022, penahanan seorang pimpinan pesantren karena “merudapaksa” hingga menikahi santriwatinya di luar persetujuan orang tuanya seakan menjadi amunisi baru bagi kemunculan dugaan-dugaan ‘liar’ di masyarakat terhadap pendidikan di pesantren yang dinilai tidak ideal. Masyarakat menjadi khawatir, overthinking, hingga takut menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke pesantren.

Sementara itu, lembaga-lembaga keagamaan Islam belum banyak yang bersuara untuk melakukan “counter issue” guna menutup celah mispersepsi di masyarakat yang mungkin lambat laun akan menggerus keagungan nilai-nilai kepesantrenan, yang selama ini dirawat oleh para “khadim al-Ma’had” yang berjiwa tulus, mengayomi, hingga amanah dalam memberikan pendidikan Islam terbaik di pesantren-pesantren yang mereka kelola.

Tulisan singkat tentang pesantren ini mencoba mengurai keagungan nilai-nilai pesantren sebagai bahan rujukan bagi masyarakat luas. Bukan hanya bermaksud untuk melakukan “counter issue” atas kasus-kasus asusila yang terjadi dan dilakukan oleh oknum-oknum di pesantren yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga mencoba menyuarakan secara lantang dan tegas bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang pendidikan di pesantren, ataupun cara hidup ala pesantren yang mengikat hubungan keilmuan antara kiai dan santri, serta yang terpenting adalah dinamika perjuangan santri selama ‘mondok’ di pesantren, yang bagi para ‘mantan’ santri menjadi kenangan indah yang tidak akan terlupakan.

Watak Kehidupan Pesantren

Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan dalam tulisannya yang bertajuk “Pesantren sebagai Subkultur” bahwa pesantren memiliki pola kehidupan yang unik, yang mampu bertahan selama berabad-abad lamanya dan mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dalam jangka panjang, keberadaan pesantren di dalam kedudukan kultural dianggap lebih kuat pengaruhnya daripada masyarakat di sekitarnya. Maksud pernyataan Gus Dur ini, secara tidak langsung mengatakan bahwa pesantren adalah institusi sosial yang memiliki sejumlah unsur khas, yang membedakannya dengan masyarakat atau institusi sosial lainnya. Pada pengamatan Gus Dur, pesantren memiliki pola kehidupan yang unik dengan nilai-nilai hidupnya, yang bertahan dalam jangka panjang keberadaannya di dalam kedudukan kultural bersama masyarakat, bahkan dianggap lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.

Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan adanya potensi untuk melakukan transformasi di masyarakat, meski di saat bersamaan pesantren kerap dihadapkan dengan serangan kultural yang datang silih berganti. Namun demikian, pesantren tetap mampu mempertahankan diri guna mengadakan inovasi pada waktunya. Inilah alasan mengapa pesantren oleh Gus Dur dianggap sebagai “subkultur” karena memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek: (1) cara hidup yang dianut (life pattern), (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti (mores), dan (3) hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya (internal authority).

Watak kehidupan pesantren yang dianggap “subkultur” dapat ditemukan dalam beberapa dimensi, antara lain: (1) eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan yang berbeda dari pola kehidupan umum; (2) sejumlah unsur penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; (3) keberlangsungan proses pembentukan tata nilai tersendiri dalam kehidupan pesantren bersama simbol-simbolnya; (4) pesantren memiliki daya tarik ke luar, sehingga masyarakat menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang terdapat di masyarakat, serta (5) terjadi proses saling mempengaruhi antara pesantren dan masyarakat di luarnya yang berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru, yang secara universal diterima kedua belah pihak

Unsur-Unsur Kehidupan Pesantren

Pesantren adalah suatu kompleks yang terpisah dari lingkungan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dalam kompleks pesantren ini ditemukan unsur-unsur, seperti bangunan fisik, manusia sebagai penunjang kehidupannya, hierarki kekuasaan intern, serta dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren.

Pertama, bangunan fisik pesantren adalah penunjang lingkungannya, seperti rumah kediaman pengasuh pesantren, surau atau masjid sebagai tempat keberlangsungan ibadah dan kegiatan pendidikan lainnya, serta asrama tempat tinggal santri.

Kedua, manusia yang menjadi penunjang kehidupan pesantren disebut sebagai warga pesantren, yakni suatu kelompok dalam lingkungan pesantren, yang terdiri atas kiai (Jawa) sebutan lainnya ialah ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syaikh/buya (Sumatera), anregurutta (Sulawesi), tuan guru (NTB, Kalimantan) sebagai pengasuh, para guru (ustaz, bentuk jamaknya: asâtidz), dan para santri.

Ketiga, hierarki kekuasaan yang bersifat absolut terdapat di dalam lingkungan pesantren, yakni kekuasaan kiai dan para pembantunya atas diri para santri. Hierarki kekuasaan ini ditegakkan di atas kewibawaan moral kiai sebagai penyelamat para santri dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan. Hierarki intern ini tidak berbagi tempat dengan kekuasaan di luar meski dalam aspek-aspek yang sederhana. Bagi seorang santri, kiai menjadi sumber inspirasi dan penunjang moral pribadinya, sehingga untuk seumur hidupnya ia senantiasa akan terikat dengan kiainya.

Keempat, dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya, yang berputar menurut siklus waktu sembahyang/salat, sehingga kegiatan di pesantren berotasi pada pembagian periode menurut pergiliran lima waktu salat wajib. Dimensi waktu yang unik ini tercipta disebabkan kegiatan pokok pesantren yang berpusat pada pengajian buku-buku teks (al-kutub al-muqarrarah) pada tiap-tiap selepas salat wajib. Semua kegiatan lain harus menyesuaikan dengan pembagian waktu pengajian, serta lama waktu pengajian yang digunakan sehari-hari, di mana waktu pelajaran tengah hari dan malam lebih panjang daripada waktu subuh dan petang.

Peranan Kiai, Ustaz dan Santri di Lingkungan Pesantren

Menyorot pesantren, sesungguhnya terdapat tiga peranan yang dimainkan oleh kiai, ustaz, dan santri. Kiai adalah pimpinan pesantren yang dalam hierarki sederhana menempatkan dirinya sebagai pemegang otoritas dalam segala hal di pesantren. Meski demikian, adakalanya kepemimpinan kiai di pesantren diwakilkan kepada seorang ustaz senior selaku “lurah pesantren”. Di dalam pesantren yang telah mengenal struktur organisasi yang lebih kompleks, pengelolaan pesantren digantikan oleh susunan pengurus yang lengkap dengan pembagian tugas masing-masing, meskipun kekuasaan mutlak tetap dimiliki oleh kiai dan keluarganya. Dalam hal ini kedudukan kiai bukan sebagai primus interpares (kepemimpinan yang dipilih berdasarkan musyawarah), melainkan pemilik tunggal di pesantren.

Sementara ustaz dalam kedudukannya memiliki dua fungsi pokok, yakni sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai untuk mendidik para santri. Pada fungsi pertama menempatkannya dalam peranan sebagai asimilator antara tata nilai yang telah ada dan radiasi kultural yang baru, sedangkan pada fungsi yang kedua mengharuskannya mematangkan penguasaan atas literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren.

Kedua fungsi ini adalah tugas berat yang harus diemban oleh seorang ustaz karena ia di bawah pengawasan kiai yang perfeksionis dalam kedua hal tersebut, sehingga tidak heran bila sangat sedikit asâtidz yang dinyatakan berhasil dan di kemudian hari mampu memimpin pesantrennya sendiri.

Adapun santri adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri sebagai persyaratan mutlak baginya untuk menjadi anak didik kiai sepenuhnya. Ia harus memperoleh kerelaan kiai dengan mengikuti segala kehendak kiai dan melayani segenap kepentingannya. Pelayan dimaksud adalah tugas kehormatan sebagai ukuran penyerahan diri. Kerelaan kiai itu dinamakan “barâkah” sebagai alasan berpijak bagi santri dalam menuntut ilmu.

Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Pesantren

Jika dilihat secara seksama maka sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren sesungguhnya menerapkan sistem yang lentur (luwes). Unsur-unsur pendidikan dan pengajaran di pesantren terdiri atas kurikulum, metode pengajaran, materi pelajaran, serta masa tempuh pendidikan di pesantren.

Pertama, kurikulum. Kurikulum pendidikan di pesantren ialah pembacaan kitab-kitab. Corak kurikulum ini berupa pengulangan pelajaran yang bertingkat dan berjenjang tanpa berkesudahan, dari yang kecil hingga yang sedang.

Kedua, metode pengajaran. Kegiatan pengajaran di pesantren dilakukan dalam suatu pengajian yang berbentuk semacam kuliah terbuka. Pengajian ini dikenal dengan istilah weton atau bandongan, di mana seorang kiai memberikan pengajian di serambi mesjid atau surau dengan kurikulum yang dipilih sepenuhnya oleh para santri. Sang kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan di dalam teks kitab yang dipelajari, kemudian santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan sang kiai atau sekembalinya ke bilik asrama masing-masing dalam bentuk pengajian ulang antar sesama teman sepengajian (yang disebut: mudârasahmuthâla’ah, jam’iyyah, dan sebagainya).

Ketiga, materi pelajaran. Kiai memberikan materi pelajaran semuanya bersifat aplikatif, yakni harus diterjemahkan para santri ke dalam perbuatan dan amalan sehari-hari. Hal ini menjadi pokok perhatian kiai. Semua bidang kehidupan santri tersentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan kiai ini, dari cara menyucikan diri, ibadah ritual, hingga tata perniagaan yang diperbolehkan dalam agama Islam. Ini sama artinya kiai memberikan panduan lengkap kepada para santrinya untuk berproses dalam suatu tata nilai dan orientasi serangkaian perbuatan sehari-hari sebagai “cara kehidupan santri”.

Keempat, masa tempuh pendidikan di pesantren. Untuk hal ini tidak ditentukan ukurannya. Selama santri masih memerlukan bimbingan pengajian dari kiainya, maka tidak ada keharusan untuk menyelesaikan masa pendidikannya di pesantren, terkecuali berkaitan dengan keterbatasan biaya ataupun panggilan dari orang tua untuk menikah/berumah tangga. Kiai hanya bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk berbagai tingkatannya, pilihan bagi santri hanyalah menentukan manakah yang ingin ditempuhnya. Terkadang, diperlukan masa bertahun-tahun untuk menyerap berbagai tingkatan pengajaran yang dilakukan oleh kiai di pesantren. Akan tetapi, hal ini bukanlah ukuran keberhasilan seorang santri yang mengikuti pelajaran di pesantren. Ketundukan kepada kiai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang kiailah yang menentukan keberhasilan santri itu, sehingga berpotensi menjadi kiai di masa depan atau menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat. Inilah yang menjadi tolak ukur keberhasilan santri.

Tata Nilai Kehidupan Pesantren

Pesantren memiliki peranan berganda, yakni di satu sisi sebagai pilihan ideal dari kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, dan di saat bersamaan berdiri sebagai unit budaya yang menjadi bagian dari masyarakat. Dalam menjalankan peranan ganda inilah pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Peniruan adalah usaha sadar yang dilakukan secara terus-menerus untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi SAW dan para ulama salaf di zamannya ke dalam praktik kehidupan pesantren, sedangkan pengekangan adalah perwujudan disiplin sosial yang ketat di pesantren, di mana kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini. Contoh keduanya dalam kehidupan pesantren ialah dalam bentuk ketaatan beribadah secara maksimal, penerimaan atas kondisi material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi.

Berupaya mengurutkan tata nilai kehidupan yang berkembang di pesantren, maka dapat dinyatakan bahwa nilai kehidupan pesantren yang terpenting ialah nilai keikhlasan. Nilai ini berangkat dari visi kesediaan kalangan pesantren untuk menerima kadar materiil apa pun yang diberikan dalam kehidupan ini. Walaupun terkesan fatalistik, tetapi segi positifnya nilai ini memberikan peluang bagi santri untuk menciptakan penerimaan dengan mudah terhadap perubahan-perubahan status dalam kehidupannya kelak, serta fleksibilitasnya dalam menempuh karier masing-masing.

Nilai berikutnya ialah orientasi kehidupan ukhrawî. Nilai kehidupan ini berangkat dari visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kemudian, sehingga kehidupan di pesantren menekankan pada pengerjaan perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin sebagai landasan dasarnya.

Nilai-lainnya ialah asketisme (kezuhudan) yang dikombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh barâkah-nya, yang tentunya hal ini memberikan bekas mendalam pada diri seorang santri. Barâkah kiai menjadi alasan penting bagi santri untuk setia dengan kezuhudannya. Nilai asketisme yang dikombinasikan dengan sikap patuh terhadap perintah kiai inilah yang menjadi daya tarik pesantren, sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putra-putri mereka untuk belajar di pesantren.

Nilai kehidupan berdasarkan preskripsi hukum fikih yang diikuti dengan adat kebiasaan kaum sufi menjadi tata nilai berikutnya yang berkembang di pesantren. Kehidupan yang bertentangan dengan hukum fikih di pesantren tidak mendapatkan tempat, bahkan dalam hal terkecil seputar najis (kotoran) menjadi sangat penting karena bersinggungan langsung dengan kesahan dalam beribadah. Penerimaan terhadap preskripsi fikih ini kemudian disempurnakan dengan pelaksanaan amalan-amalan utama (fadhâ’il al-a’mâl) sebagai bentuk ketundukan kepada mursyîd (predikat bagi seorang pembimbing dalam gerakan sufi). Perpaduan kedua unsur ini merupakan kulminasi tertinggi dalam tata nilai yang berkembang di pesantren.

Tidak kalah penting, di kalangan pesantren terdapat nilai transmisi tradisi yang berkembang. Mekanismenya ditemukan dalam sistem transmisi riwayat secara berantai (isnâd) yang semula digunakan dalam kodifikasi corpus hadis, serta dalam penulisan sejarah Islam maupun sastra Arab. Nilai transmisi tradisi ini kebanyakan dikembalikan kepada perintah wali songo maupun imprimaturnya sebagai jaminan keaslian nilai-nilai yang diwariskan secara berantai itu. Kepatuhan mengikuti nilai-nilai itu dinyatakan sebagai perbuatan yang menghargai, sedangkan keengganan dalam mengikutinya akan diancam dengan kemungkinan memperoleh balasan fisik yang tidak dikehendaki (kualat karena melakukan hal yang tabu/pamali).

Nilai lainnya ialah pewarisan ilmu. Pesantren mengembangkan sistem pewarisan ilmu sebagai suatu tradisi dalam struktur pengajaran tradisionalnya, yakni menularkan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya (transmisi keilmuan) dengan sistem bimbingan individual berupa sistem ijazah lisan. Dalam hal ini kiai berkenan mengajarkan sebuah teks kepada santrinya setelah penguasaan suatu pengetahuan oleh santri secara penuh. Sistem ini membuat santri secara spiritual terikat kuat dengan kiainya sebagai pembimbing seumur hidup (life-long tutor).

Interaksi Sosial di Pesantren dan Masyarakat

Interaksi sosial menjadi penopang dalam dinamika kehidupan pesantren serta hubungannya dengan masyarakat. Hubungan kiai dan santri di dalam pesantren merupakan wujud interaksi sosial dalam hubungan interpersonal, sementara itu pesantren dapat mengaktualisasikan pengaruhnya ke dalam dimensi kehidupan masyarakat luas.

Hubungan interpersonal antara kiai dan santri tergambar dalam upaya santri memperoleh kerelaan kiai dengan penekanan kepada kebutuhan memperoleh barakah-nya hingga bersedia melakukan segenap perintahnya. Di sinilah diciptakan mekanisme konsensus untuk pembentukan tata nilai di pesantren, di mana santri berfungsi sebagai medium guna menciptakan ketundukan kepada tata nilai yang berlaku di pesantren tersebut. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan yang memberi bekas mendalam pada diri seorang santri, yang pada gilirannya akan membentuk sikap hidupnya sendiri.

Sementara itu, pengaruh utama pesantren atas masyarakat luar terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh perbedaan di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas: (1) mengatur bimbingan spiritual dari pihak pesantren kepada masyarakat dalam masalah ritual ibadat ataupun soal-soal perdata agama Islam (perkawinan, waris, dan lain-lain), serta (2) masalah pemeliharaan material-finansial dari masyarakat kepada pesantren (dalam bentuk pengumpulan dana dan lain-lain).

Selanjutnya, kehidupan pesantren bagi masyarakat luar adalah gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisasikan dalam kehidupan mereka, tetapi pada saat-saat tertentu pesantren menjadi tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual bagi mereka. Pesantren juga menjadi pusat gerakan tasawuf karena terdapat daya tarik dalam kedudukannya sebagai pusat gerakan, bahkan tidak jarang faktor karismatik seorang kiai merupakan daya tarik yang kuat pula bagi pesantren.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, tampak nyata sesungguhnya pesantren memiliki marwah berupa nilai-nilai adiluhung yang patut diungkapkan ke tengah publik. Berbagai kasus asusila yang belakangan terjadi di pesantren oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tentu tidak boleh digeneralisasi. Masih banyak pesantren yang dengan amanah dan bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan pendidikannya dengan kekhasan, tradisi serta kurikulum masing-masing guna membentuk santri yang unggul dalam menghadapi perkembangan zaman.

Terlebih, setelah penerbitan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang mengikat penguatan fungsi pesantren dalam aktivitas pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam fungsi dakwahnya, pesantren dituntut untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dengan upaya mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran, mengajarkan pemahaman dan keteladanan dalam pengamalan nilai-nilai keislaman yang rendah hati, toleran, berkesinambungan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dengan tetap memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat, menjaga kerukunan hidup umat beragama, serta praktik keberagamaan yang moderat. Adapun berkaitan fungsi pemberdayaan masyarakat, orientasi pesantren ialah meningkatkan kesejahteraan pesantren dan masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan pendidikannya dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Selanjutnya, patut juga dicatat bahwa eksistensi pesantren (baik tradisional maupun modern) harus mampu menghubungkan antara budayanya dengan masyarakat, serta perkembangan zaman dan modernitasnya. Hal ini tidak lain karena dalam lingkungan kultural pesantren telah mengakar pemahaman untuk menjaga tradisi yang telah baik dan melakukan inovasi yang bermanfaat (al-Muhâfadhah ‘alâ al-Qodîm al-Ashlah wa al-Akhdz min Jadîd al-Nâfi’).

Oleh karenanya, pesantren harus mengadakan perubahan kualitatif karena terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamannya secara masif sebagai akibat dari perubahan zaman. Wallâhu a’lam bi al-shawâb(*Dosen dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

(Tulisan diintasi dari karya: Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan. Cet. 5. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995.)

PENDIDIKAN ISLAM DI ABAD TEKNOLOGI DIGITAL

Wakil Dekan I FAI Unikarta Sofian Efendi

Oleh: Sofian Efendi*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Pendidikan Islam sering diposisikan sebagai faktor yang paling bertanggung jawab atas kompleksitas problem kehidupan, tidak hanya problem pribadi, tapi juga problem sosial bahkan problem umat. Pandangan demikian berangkat dari asumsi bahwa potret dan karakter masyarakat sangat tergantung dan ditentukan oleh pendidikannya. Itulah sebabnya persoalan baik buruk individu dan masyarakat sering dikembalikan pada kualitas pendidikannya.

Memang banyak fakta yang mendukung pandangan seperti ini. Namun juga harus diakui bahwa pandangan seperti ini sering membuat pandangan kita menjadi tidak jernih dalam melihat persoalan yang melilit dunia pendidikan. Memang pendidikan harus memiliki peran sosial, tetapi bukan berarti persoalan-persoalan sosial dapat terselesaikan dengan pendidikan saja. Artinya, meletakkan problem sosial apalagi problem global ke “pundak” pendidikan adalah sikap tidak adil terhadap dunia pendidikan.  Jika harus dipaksakan, tidak saja akan gagal dalam menyelesaikan problem sosial itu, tetapi sudah dapat dipastikan, dunia pendidikan akan terseret arus persoalan masyarakat yang sangat boleh jadi mengancam dunia pendidikan itu sendiri.

Kerangka berfikir ini tidak berarti menolak mentah-mentah pandangan umum yang misalnya mengatakan, jika pendidikan baik pasti masyarakatnya juga baik. Di sini hanya diingatkan bahwa pandangan sebaliknya juga jangan dilupakan: jika masyarakatnya baik, pasti pendidikannya juga baik. Pendidikan bukanlah dunia yang netral yang ada dengan sendirinya. Yang pelu disadari dengan sebenarnya adalah bahwa pendidikan merupakan produk sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Bahkan produk struktur kesadaran manusia itu sendiri. Di sini pendidikan menjadi sangat tergantung dengan latar belakang sejarahnya, tergantung dengan kondisi sosial dan budayanya, tergantung dengan situasi sosial-ekonominya, juga sangat tergantung dengan situasi dan kebijakan politik yang ada, termasuk tergantung dengan pandangan-pandangan, anggapan-anggapan dan harapan-harapan seseorang terhadap dunia pendidikan, bahkan mungkin juga dengan situasi kemajuan dunia teknologi informasi.

Beberapa aspek eksternal inilah yang pada kenyataannya sangat menentukan corak dan kualitas dunia pendidikan, setidaknya jika dibandingkan dengan aspek internalnya yang konon ada tujuh aspek, yakni tujuan, guru, murid, materi, metode, sarana, dan evaluasi. Di era dunia teknologi digital ini, kesadaran demikian tampaknya diperlukan untuk melihat secara lebih jernih problem pendidikan sesungguhnya.

Situasi yang Tak Bisa Terelakkan

Liberalisme pers ditambah dengan kecanggihan teknologi digital telah membuat dunia ini menjadi seperti kampung yang kecil. Manusia abad ini dengan mudah mangakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perkembangan peristiwa di belahan dunia dapat segera bisa diikuti oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Budaya yang berkembang pada berbagai suku, bangsa dan negara dapat saling berinteraksi, sehingga nilai sosial dan budaya dapat saling tiru dan saling terpengaruh. Inilah sebagian dari tanda suatu zaman yang disebut dengan era dunia teknologi informasi.

Ketika kita membayangkan dunia teknologi digital lalu membayangkan tentang “perputaran” dunia yang serba cepat. Antara satu negara dengan negara yang lain terasa lebih dekat. Bumi ini terasa semakin sempit seperti bola yang dapat dengan mudah kita cermati bagian-bagian sisinya dengan cepat dan mudah. Memang tidak sulit memahami arti dunia teknologi digital, karena kita ini memang sedang merasakan hidup di tengah-tengah kemajuan dunia teknologi digital sebagaimana dicirikan oleh istilah tersebut.

Teknologi digital sebenarnya merupakan sebutan untuk “dunia yang serba menggunakan/memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menghadapi berbagai tantangan hidup di era dunia yang jauh dari perkiraan dan tak terprediksikan. Inilah dunia yang telah lepas kendali (run away world). Teknologi digital sebagai buah dari kemajuan ilmu pengetahuan, memang tidak pernah diciptakan/dibuat Tuhan, tetapi terjadi sebagai akibat dari ulah perbuatan manusia. Maka konsekuensi dari ulah perbuatan tangan-tangan manusia akan dihadapi oleh manusia itu sendiri baik kebaikan maupun keburukannya.

Negara-negara Barat sebagai sumber pembentuk terjadinya kamajuan dunia teknologi informasi, merasa “kapok” atas kemajuan dunia teknologi informasi  dan segala akibatnya, apalagi bangsa kita yang hanya sekedar “ketularan” atau “ketibanan” tentu akan lebih kerepotan lagi menghadapinya.

Dalam sejarah kemajuan teknologi digital bisa dilacak akar-akarnya pada dunia Barat sekita abad 16-an yang lalu, yakni di saat impian-impian orang Barat untuk mengubah “nasib” dari yang tidak pasti menuju kepastian, terus dan terus diupayakan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Impian-impian itu antara lain: Pertama, andaikan urusan agama dan urusan pemerintahan (keduniaan pada umumnya) dapat dipisahkan, tentu akan lebih leluasa mengatur pemerintahan dan dunia ini. Impian ini terus mereka upayakan dengan suatu proses yang disebut “sekularisasi”, dan negara kita pun sempat ketularan diera 80-an di mana pemerintah memisahkan pendidikan agama dan umum, yang berimbas perhatian lebih hanya pada lembaga-lembaga pendidikan umum sedang lembaga pendidikan agama semakin termarginalkan.

Kedua, andaikan tradisi dan kehidupan yang irrasional ini bisa diubah menjadi rasional maka akan mereka ubah, di sinilah kita kenal istilah modernisasi, yaitu proses penghapusan tradisi yang tidak rasional selanjutnya diupayakan menjadi rasional termasuk menghilangkan tradisi-tradisi baik dalam masyarakat Islam. Apa saja bisa mereka lakukan.

Ketiga, andaikan pembacaan terhadap realitas ini bisa diilmiahkan maka upaya yang dilakukan adalah proses saintifikasi. Keempat, andaikan alam ini bisa direkayasa maka impian ini akan diwujudkan dengan suatu proses yang disebut “teknologisasi” atau “industrialisasi”. Kelima, andaikan dunia Timur (termasuk Islam) itu bisa seperti negara Barat yang maju maka akan diupayakan yang dikenal dengan istilah “kolonialisasi” dan “westernisasi”.

Apakah akibatnya? Seperti yang dapat kita saksikan bersama (1) antara urusan pemerintah (dan urusan keduniaan pada umumnya) harus terpisah dengan urusan agama, bahkan agama itu telah kuno dan perlu dipinggirkan. (2) segala tradisi, budaya dan norma agama yang dianggap tidak rasional harus ditolak, dan hanya mau menerima yang rasional saja. (3) berkembangnya pola fikir saintisme, yaitu pola fikir: jika…maka… yang kaku dan tak kenal ampun. Di sini peran akal tidak hanya maksimal, tetapi sudah dianggap segala-galanya. (4) intervensi manusia terhadap alam, membuat alam sendiri tidak bersahabat. Demikian juga penggunaan teknologi secara besar-besaran, lalu dengan sengaja membuat manusia  merasa ketergantungan dengan teknologi, bahkan hampir di segala aspek kehidupan. Selanjutnya adalah adalah “banjir” produk dengan berbagai iklannya dengan segala keunggulan dan kelebihannya, juga persaingan bisnis produk-produk teknologi tak dapat dihindari. Dan (5) proses pembaratan dan penjajahan terus berlangsung sampai hari ini, baik sektor politik, ekonomi, pemikiran, budaya, maupun produk-produk Barat lainnya.

Semua kemajuan ini telah membuat “dunia lepas kendali” dan teknologi dan informasi menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan. Dalam beberapa hal, kemajuan di Barat jelas membawa aspek positif bagi mereka, seperti beberapa kemudahan-kemudahan dengan pemanfaatan teknologi (dalam bidang  ilmu pengetahuan), namun pemanfaatan teknologi informasi jelas akan memunculkan dampak negatif tepatnya “resiko buatan” (manufactured risk) dalam arti, resiko sebagai akibat kesalahan cara pandang dan pengetahuan kita atas dunia, berupa ketidakpastian baru yang melampaui kemampuan antisipasi kita.

Perubahan dahsyat itu merombak tradisi dan budaya dengan segala kekayaannya, mulai yang paling sederhana, seperti model pakaian, gaya hidup (life style), pola-pola hubungan masyarakat, hingga yang terkait  dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, termasuk nilai-nilai agama. Tidak hanya itu, teknologi informasi juga mengubah gaya berkeluarga: mulai dari tujuan berkeluarga, pola hubungan dalam rumah tangga: suami dengan istri, orang tua dengan anak. Semua itu seolah  menjadi pola robotik. Mungkin inilah yang disebut proses dehumanisasi, yaitu hilangnya unsur-unsur kemanusiaan dalam diri manusia, maka sandiwara sudah terjadi di hampir semua kehidupan ini.

Perubahan-perubahan itu semakin mencapai puncaknya, di saat teknologi informasi dan telekomunikasi sudah sedemikian canggih, diperparah dengan liberalisasi di bidang pers. Akibatnya pertukaran nilai budaya dapat dengan mudah terjadi, bahkan sudah terjadi. Kondisi ini, di satu sisi dapat mempercepat proses modernisasi (pembaharuan) dari budaya tradisional, namun pada sisi lain dapat terjadi pula pengikisan atau penghilangan budaya luhur dan digantikan dengan budaya asing yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita bahkan nilai-nilai agama kita.

Media informasi elektronik seperti televisi sebagai salah satu produk kamajuan teknologi  juga memunculkan problematika tersendiri. Di satu sisi sebagai media informasi dan penyebaran nilai-nilai budaya, namun pada sisi yang lain juga dapat menjadi sarana “perusak” terhadap nilai budaya ketimuran kita yang selama ini sudah berkembang dengan baik.

Dalam banyak hal, tayangan televisi menyuguhkan apa yang oleh para sosiolog disebut dengan hiper-realitas (hypperreality), yakni realitas semu yang sebenarnya tidak terjadi pada kenyataan, namun dibuat agar menarik perhatian dan segera akan ditiru oleh masyarakat sehingga akhirnya menjadi kenyataan juga. Ketika sudah menjadi kenyataan televisi akan menampilkan hyperreality yang baru, lalu diikuti dan menjadi kenyataan yang baru lagi, bagitu seterusnya. Singkat kata, semakin “gila” tayangan televisi maka akan semakin menarik. Ketika penonton sudah menjadi “gila”, televisi akan menayangkan suguhan yang lebih “gila” lagi, jika tidak tentu tidak akan lagi menjadi menarik.

Di sinilah sadar atau tidak, karakter kita dan generasi bangsa ini akan terbentuk. Maka yang membentuk kepribadian manusia abad ini ternyata bukan lagi orang tua, bukan pula guru atau para pemimpin, tetapi oleh media massa, yang merupakan imbas kemajuan teknologi informasi. Masa depan generasi kita hampir sepenuhnya sangat ditentukan oleh tayangan/tontonan media massa dan unggahan media sosial hari ini.

Absurditas Manusia Modern

Hal lain yang menjadi keprihatinan bersama saat ini adalah terkait budaya pragmatisme dan hedonisme yang membentuk karakter manusia modern yang materialistic oriented. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasilkan dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikamatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kanikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastika bahwa akan terjadi penggerusan terhadap beberapa sisi dari kemanusiaan itu sendiri, terutama persoalan moralitas dan etika.

Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itu hanya sebagian dari beberapa anomali yang include dalam permasalahan modernitas itu sendiri, di mana kesemuanya ternyata sangat potensial  untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.

Pengaruh pragmatisme, materialisme, dan hedonisme sangat luar biasa dahsyatnya pada segala segi kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan. Tidak semua orang belajar semata-mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan yang justru diutamakan adalah agar mendapat selembar ijazah. Tanda bukti lulus digunakan untuk mendapatkan kesempatan memasuki posisi-posisi penting yang banyak menghasilkan uang.

Budaya materialisme dan hedonisme juga dibarengi oleh budaya mental instan dan serba mencukupkan formalitas. Itulah akibatnya, orang belajar bukanlah untuk mengejar ilmu melainkan sekedar mengejar aspek yang bersifat simbolik untuk menerabas agar cepat berhasil meningkatkan pendapatan. Budaya ini sangat mengganggu proses pendidikan. Segala sesuatu selalu diukur dengan uang. Mengajar, menguji, dan membimbing selalu dikaitkan dengan besarnya imbalan yang akan diterima. Mendatangi kegiatan yang menjanjikan uang akan dikedepankan dari pekerjaan rutin membimbing mahasiswa yang sesungguhnya lebih bersifat urgen. Apa yang dilakukan oleh staf perguruan tinggi itu memang tidak terlalu mudah untuk disalahkan, karena tuntutan keluarga, sosial, dan kehidupan sudah semakin menghimpit mereka.

Fenomena mengedepankan besarnya dana yang akan diperoleh tidak saja terjadi di tataran individu melainkan juga pada lembaga secara keseluruhan. Akhirnya yang terjadi di dunia pendidikan pun layaknya dalam dunia bisnis pada umumnya. Yaitu ada uang maka ada pelayanan dan semakin tinggi harga yang dibayar, maka di sanalah pelayanan terbaik akan didapatkan. Muncullah semboyan “ada uang, maka ada barang”, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Pada gilirannya di kampus-kampus dikenal dengan berbagai jenis pelayanan pada mahasiswa. Yaitu kelas biasa dengan harga rendah, ada kelas khusus dengan biaya khusus, dan ada pula kelas eksekutif dengan biaya eksekutif pula.

Lalu apalagi yang kita fikirkan di tengah-tengah budaya materialisme dan hedonisme seperti saat ini, tatkala berbicara peningkatan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran seperti apa yang sesungguhnya akan kita tingkatkan. Sebab semua aspek kehidupan ini sudah mendasarkan pada tarif. Kualitas apa saja, termasuk kualitas pendidikan selalu tergantung pada besaran tarifnya. Tanpa terkecuali kualitas pelayanan pendidikan, sebagimana hukum alam sudah selalu disejajarkan dengan besarnya biaya yang harus dibayarkan.

Rupanya dunia materialistik dan hedonistik ini semakin berkonsekuensi pada munculnya budaya transaksional di seluruh lapangan kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Peningkatan kualitas selalu disejajarkan dengan jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan.

Krisis Sains Modern

Di antara kepihatinan para intelektual saat ini adalah soal perkembangan sains modern yang bisa dikatakan sebagai pilar utama peradaban Barat modern. Maka tema seputar model sains alternatif  menjadi trend gerakan intelektualisme saat ini. Terkait dengan persoalan ini, Armahedi Mahzar mengidentifikasi empat dampak sains modern, yaitu dampak militer, ekologis, sosiologis, dan psikologis. Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan militer-militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi.

Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia.

Kebanyakan ilmuwan tidak tahu menahu soal dampak negatif penerapan sains dan teknologi itu, karena dianggap bukan urusan mereka. Umumnya mereka merasa tugas utamanya hanyalah mencari kebenaran ilmiah yang bersifat netral. Sementara para teknolog juga melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa teknologi itu bagaikan pisau bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau negatif. Bergantung pemakainya.

Persoalan pokok dari pemanfaatan teknologi sebanarnya bukan hanya soal dampak, tetapi  lebih terkait problem paradigmatik atau problem episteme yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Menurut Budi Hardiman, problem epistemis itu terkait empat elemen pokok, yaitu rasionalitas lebih dari wahyu, kritik lebih dari sekedar sikap naif yang tidak terbebas dari tradisi dan sejarah, progresif lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.

Keempat elemen itu bersifat normatif sehingga berlaku universal: kebenaran wahyu diuji di hadapan rasionalitas, otoritas tradisi dan sejarah dipersoalkan dengan kritik, keluhuran tradisi dipertanyakan atas dasar harapan akan masa depan. Seiring dengan universalisasi norma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai  grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Faucault.

Demikian juga lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah jelas bukan tanpa sejarah. Refleksi sejarah Auguste Comte yang hanya mempercayai fakta positif dan digali dengan metodologi ilmiah, lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.

Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaiman sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarialisme in the newfashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni tradisi, dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni. Sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city yang dipopulerkan Harvey Cox. Sejarah mencatat upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati.

Maka dari sinilah sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya. Problem dualisme sistem pendidikan,  yang menjadi keprihatinan pengamat pendidikan selama ini juga berawal dari pandangan dikotomis itu. Kemungkinan besar dari sini pula akar sejarahnya mengapa selama ini sistem pendidikan agama, seperti pesantren dan madrasah diperlakukan sebagai pendidikan kelas dua.

Antara Proteksi  dan Proyeksi

Dampak terberat dari kemajuan teknologi digital adalah bahwa hidup ini telah menjadi sedemikian gersang. Manusia sudah meninggalkan unsur terdalam dari kemanusiaannya, yakni perasaan (emosi) dan hati nurani (spiritualitas). Nilai-nilai luhur dalam masyarakat, bahkan nilai dan ajaran agama telah digusur dan tidak lagi menjadi landasan dalam hidup ini. Hidup yang demikian inilah yang sering dikatakan dengan “matinya makna”.

Para pemikir kelas dunia sebenarnya juga mulai menyadari dampak kemajuan teknologi digital ini. Mereka menawarkan “obat” yang disebut dengan “demokrasi sejati” (demokcratising democracy). Yang menurut mereka: euforia kemajuan teknologi digital dapat reda atau minimal dampaknya dapat diminimalisir, jika negara-negara diberi hak untuk hidup dan mengurus negaranya sendiri, tidak ada saling intervensi. Bahkan jika masing-masing individu dapat dengan mandiri menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tentu ini bukan tugas kita, meskipun kita juga dapat membayangkan bahwa tawaran ini sulit terwujud. Maka yang dapat kita lakukan adalah membangun kesadaran baru dengan kembali mengisi hidup kita dan generasi kita dengan makna. Aktivitas 24 jam sehari semalam akan bermakna ibadah jika aktivitas itu diterangi agama. Pola hubungan dengan orang lain akan bernilai silaturrahim jika tulus dan tidak ada kebencian dan persaingan, dan seterusnya. Dengan begitu kita telah dapat kembali menyatukan antara urusan agama dengan urusan dunia.

Hidup bermasyarakat dan berkeluarga akan jauh lebih bermakna jika tidak sekedar hubungan fisik dan jasmani, tetapi hubungan emosional yang menggunakan perasaan dan fikiran. Di era teknologi digital ini menempatkan emosional (EQ) dalam kehidupan sosial terbukti dapat mendatangkan kesuksesan. Maka pertimbangan geografi (kedaerahan) dan demografi (keprofesian) dalam hidup bersosial, mestinya ditambah pertimbangan satu lagi, yaitu psikografi (ke-citarasa-an). Jika demikian, berarti kita telah ikut mengembalikan unsur kemanusiaan kepada kehidupan manusia sendiri.

Tidak dapat diragukan, akal dan fikiran memiliki peran cukup penting dalam hidup ini, namun akal bukanlah segala-galanya. Akal memang harus dimaksimalkan, namun tetap dengan kesadaran bahwa akal ada batasnya. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah mengembalikan posisi akal pada “baraknya”.

Islam Indonesia dan tradisi Jawa memiliki kekayaan potensi budaya yang menakjubkan, namun belum dikembangkan secara maksimal. Memperkuat dan mengembangkan potensi budaya kita sendiri bisa sedikit meminimalisir masuknya budaya asing, yakni budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah bersikap tepat dalam menghadapi “banjir” westernisasi (penjajahan budaya Barat).

Jika kesadaran baru seperti ini tidak muncul, mustahil dunia pendidikan akan menjadi lebih baik di tengah berbagai krisis akibat kemajuan teknologi informasi itu. Maka yang paling utama adalah adanya perubahan kesadaran dan sikap, lalu perubahan nilai dan budaya. Dengan begitu besar kemungkinan pendidikan akan menjadi lebih baik.

Sejalan dengan pemikiran ini, strategi yang bisa dilakukan pendidikan Islam adalah proteksi sekaligus proyeksi. Proteksi adalah prinsip konservasi nilai yakni strategi untuk membentengi nilai-nilai luhur dari ancaman nilai dan budaya luar yang destruktif. Nilai-nilai apa saja yang harus diproteksi memang masih dapat didiskusikan lebih lanjut, namun jika merujuk pada QS. Al-‘Ashr maka bisa diuraikan minimal ada tiga nilai yang harus diamankan dari pengaruh destruktif, yaitu iman, amal saleh, dan saling menjalin network atau tali silaturahim dengan sesama. Internalisasi tiga nilai ini pada seseorang, Allah jamin tidak akan pernah merugi selama-lamanya. Fenomena boarding school, pondok pesantren, atau fullday school yang banyak diminati saat ini menunjukkan keprihatinan orang tua terhadap nilai budaya destruktif di satu sisi, dan perhatian akan konservasi nilai luhur di sisi yang lain.

Sementara proyeksi adalah prinsip progresivitas dari pendidikan. Strategi ini mengharuskan lembaga pendidikan Islam dan dunia pendidika pada umumnya untuk terus meningkatkan kualitasnya, meletakkan visi misi yang jelas sesuai hasil pembacaannya terhadap masa depan. Insan pendidikan Islam mesti tanggap terhadap tanda-tanda zaman, tanggap terhadap situasi sosial, budaya, ekonomi dan politik, bahkan cerdas dalam memprediksi perkembangan zaman. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan pada suatu zaman yang bukan zamanmu.” demikian sabda Rasul.

Penutup

Di akhir tulisan ini bisa disampaikan bahwa kemajuan teknologi digital dampaknya telah merasuk ke hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan dampak negatifnya pun hampir tidak disadari sebagai sesuatu yang negatif, karena umumnya kita terlena dan larut dalam kehidupan kebersamaan. Maka dengan tidak terlena dan segera sadar atas kehidupan “dunia yang lepas kendali” itu merupakan modal penting untuk dapat mengantisipasi dampak negatifnya. Kesadaran itu biasanya baru dapat tumbuh di saat tersedia waktu untuk ber-muhasabah ( mawas diri). Sementara manusia era teknologi informasi sekarang ini hampir tak ada waktu untuk melakukan hal itu.

Tinggi rendahnya mutu dunia pendidikan kita memang tidak serta-merta karena dunia pendidikan itu sendiri, tetapi sebagian besarnya ditentukan oleh sikap dan perilaku kita terhadap dunia pendidikan. Berbagai krisis yang terjadi di era modern bukan karena pendidikan yang salah, tetapi karena krisis itu telah membuat dunia pendidikan juga mengalami krisis. Perubahan dunia pendidikan menjadi mungkin jika nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berubah.

Jika kemajuan teknologi informasi berawal dari impian bangsa Barat yang terus diwujudkan, maka kita pun bisa mengatasi dampaknya dengan mewujudkan impian ini. Wallahu a’lam bish shawab. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Daftar pustaka

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in 

         Theological Perspective(New York: The Macmillan Company,

1967)

Faucoult, Michel, Diciplin and Punis: The Brith of Prison, Trans.Alan

Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)

——-, The Order OF Think: An Archeology of Human Sciences,(New

york: Vintage Book, 1994)

Hardiman, Bidi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2003)

Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphisics, Terj. The Paul

Carus, Revisi oleh James W.Ellington (IndiNA Polish/Cambridge:

Hackett Publishing Company, 1977)

Lyotard, The Postmodern Condotion, A Report and Knowledge,

          (Manchester: Manchester University Press, 1984)

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami,

          Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)

Marty, Martin E., “Does Secolar Theology  Have a Future” dalam The

           Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopedia Brittannica, Inc.,

1967)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar,

          Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:

Belukar Budaya, 2003)

Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2007)

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Muhammadiyah, 1960)

FAI UNIKARTA DI USIA KE – 28 TAHUN, BAGAIMANA HARUSNYA ?

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID – Rabu, 1 Juni 2022, bertepatan dengan Peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) Tenggarong berusia 28 tahun. Angka 28 bagi sebagian orang dimaknai dengan keseimbangan manakala kedua bilangan genap di atas dibagi dengan bilangan yang sama sehingga menghasilkan angka 1 yang berarti keutuhan tak berbagi (28:28=1, 1:1=1). Meski demikian, barangkali ada pula yang memaknainya dengan tafsiran berbeda. Bagi penulis, berbagai pemaknaan terhadap angka 28 itu sah-sah saja, sesuai selera masing-masing.

Di usia ke-28 tahun ini, FAI Unikarta telah berdinamika bersama waktu. Seluruh rangkaian perjalanannya telah menyejarah dalam etalase kehidupan bersama pihak-pihak yang turut berjasa mengawal keberadaannya. Sebelum tulisan ini diteruskan, penulis mengajak khalayak pembaca untuk ikut mendoakan para perintis lembaga ini. Bagi mereka yang masih hidup, kita doakan agar senantiasa sehat, kehidupannya dilimpahi keberkahan, dan senantiasa sukses di dalam meniti karier dan pekerjaan masing-masing. Sementara bagi mereka yang telah wafat mendahului, marilah kita doakan agar arwah para almarhum/almarhumah diberikan kelapangan di sisi Allah dan diberikan kedamaian di Alam Barzakh.

Angka 28 dan Makna Keseimbangan

Merefleksi 28 tahun keberadaan FAI Unikarta di bumi “Tuah Himba” Tenggarong, angka 28 yang sebelumnya dimaknai sebagai keseimbangan karena merupakan bilangan genap, tampaknya memiliki relevansinya di dalam teks Alquran, meski bukan berarti alasan ini memberikan pembenaran terhadap anggapan tersebut. Seperti terdapat dalam Surat Al-Fajr (89) ayat 3 yang menyebutkan bahwa Allah bersumpah dengan bilangan genap pada kalimat “wa al-Syaf’i wa al-Watr” yang artinya “demi yang genap dan yang ganjil”. Walaupun sesungguhnya kata “al-Syaf’i” yang berarti genap itu menurut mufassir berkaitan dengan “yaum al-nahr” atau bilangan genap pada tanggal 10 Zulhijjah.

Kemudian, dimaknai dengan keseimbangan lantaran berpasang-pasangan. Surat Yâsîn (36) ayat 36 menyebutkan kata “al-azwâj” yang berarti “berpasang-pasangan” sebagaimana dinyatakan: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan…”. Kata berpasang-pasangan ini dengan demikian cenderung mengarah kepada potensi keseimbangan manakala semua yang diciptakan Allah ada pasangannya, seperti kanan dan kiri, atas dan bawah, muka dan belakang, laki-laki dan perempuan, dan seterusnya.

Selanjutnya, keseimbangan pula disebabkan adanya satu-kesatuan yang saling melengkapi. Ini disebutkan di dalam Surat Az-Zumar (39) ayat 5 pada frasa “nafs wâhidah” artinya “jiwa yang satu” dan “zawjahâ” yang artinya “pasangannya”, sebagaimana dinyatakan: “Dia menciptakanmu dari jiwa yang satu (Adam), kemudian darinya Dia menjadikan pasangannya…”. Jiwa yang satu bermakna tunggal, sementara kehadiran pasangan berarti melengkapi yang tunggal itu. Hal ini berarti adanya satu-kesatuan yang saling melengkapi, berpadu dalam satu ikatan, selaras dalam menjalani kehidupan.

Oleh karenanya, memaknai beberapa ayat di atas dalam konteks Milad FAI Unikarta yang ke-28, penulis mengira di usia yang ke-28 tahun ini FAI Unikarta seyogyanya berada di gerbang stabilitas kelembagaan untuk mencapai berbagai kemajuannya.

FAI Unikarta Sekarang, Bagaimana Harusnya?

Di usia yang ke-28 tahun ini, penulis meyakini bahwa FAI Unikarta telah mencapai dimensi stabilitasnya dan mencapai berbagai kemajuan. Namun demikian, terlepas dari keyakinan itu, apakah berbagai kemajuan dimaksud terjadi karena usaha dan perjuangan seseorang (personal) ataupun atas hasil kerja bersama (kolektif), yang paling utama bahwa keberhasilan FAI Unikarta lantaran mampu bertahan hingga kini sebagai salah satu dari tujuh fakultas di lingkungan Unikarta.

Tatkala FAI Unikarta dianggap telah mencapai stabilitas dan kemajuannya, hal itu tidak serta-merta menjadikan seseorang membusungkan dadanya lebih tinggi. Ataupun jika terjadi kebalikannya, jika masih terlampau banyak kelemahan dan kekurangannya, hal itu tidak serta-merta membuat seseorang harus menundukkan kepalanya lebih dalam. FAI Unikarta sebagai “institusi besar” tidak hanya digerakkan oleh satu atau dua orang saja. Ia menarik keterlibatan berbagai pihak untuk ikut menggerakkannya, antaranya yayasan, pimpinan universitas, pengelola fakultas, para dosen dan karyawan, hingga para mahasiswanya terlibat di dalam upaya pengembangannya.

Dalam konteks pengelolaan kelembagaan FAI Unikarta sekarang di usia yang ke-28 tahun, figur kepemimpinan akademik (academic leadership) sangat dibutuhkan. Figur ini tidak hanya milik pemimpin lembaga (top leader) yang duduk di tingkat pengambil kebijakan, melainkan semua pihak yang memiliki karakteristik seorang pemimpin (leader).

Peranan seorang pemimpin dalam kepemimpinan akademik menjadi sangat penting manakala mengamati berbagai karakteristik kepemimpinan akademik, antara lain: (1) kemampuan melibatkan potensi setiap individu ataupun melepaskannya; (2) memiliki visi dan berkomitmen untuk mendorong dan menggerakkan perubahan secara berkelanjutan dari dalam unit-unit akademik; (3) memiliki pemikiran yang independen sebagai bagian dari budaya akademik serta memahami benar bahwa unit-unit akademik menjadi tantangan dalam fokus mencapai misi kelembagaan; (4) mampu memberdayakan potensi individu melalui contoh dan pengajaran sehingga pada gilirannya dapat melibatkan orang lain dalam mengejar misi lembaga; serta (5) memiliki fokus pada proses perencanaan strategis (strategic planning), di mana hal ini menjadi alat untuk membawa bersama dan mengerahkan kemitraan stakeholders dalam mengejar misi lembaga.

Dalam usia FAI Unikarta yang ke-28 tahun ini, seharusnya setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan fakultas ini memiliki kemampuan melibatkan potensi dirinya agar lebih komunikatif dalam membangun teamwork bersama individu pemimpin lainnya. Ia memiliki visinya dan komitmen untuk mendorong dan menggerakkan perbaikan secara berkelanjutan (continuous improvement) dari dalam unit-unit akademik yang dikelolanya sehingga memahami benar bahwa keberadaan unit-unit akademik yang dipandunya itu menjadi tantangannya untuk mencapai misi kelembagaan. Dalam budaya akademik, ia memiliki pemikiran untuk memberdayakan potensi individu lainnya melalui pengajaran dan keteladanan sehingga pada gilirannya dapat melibatkan orang lain dalam mengejar misi lembaga. Dan, pada akhirnya, diperlukan rencana strategis untuk memberi gambaran futuristik bagaimana FAI Unikarta di masa mendatang, sehingga kemitraan bersama stakeholders sangat dibutuhkan dalam mengaktualisasikan misi lembaga.

Penulis teringat hadis Rasulullah yang berbunyi, “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… Ketahuilah bahwa anda masing-masing adalah seorang pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Kata “râ’in” menurut ulama adalah “orang yang menjaga, orang yang mendapat amanah, dan orang yang harus memilih kebaikan dalam mengurus sesuatu”. Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab kepada orang lain yang dipimpinnya sehingga ia dituntut berlaku adil dan menegakkan kemaslahatan baik yang terkait dengan agama maupun dunianya. Setiap orang yang diangkat oleh Allah sebagai râ’in ini maka ia harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.

Berikutnya, para pemimpin akademik ini diharapkan memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai akademik (academic values) serta berupaya agar terus beradaptasi dengan perubahan internal dan eksternal lembaga. Di momentum usia ke-28 tahun ini, FAI Unikarta seharusnya berupaya mewujudkan budaya mutu dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dalam layanan edukatif ini misalnya, para dosen yang mengajar di FAI Unikarta dituntut berkualifikasi  magister (S2) dan doktor (S3) serta berlatar belakang pendidikan sesuai dengan program studi yang diselenggarakan. Kerangka idealnya, dalam layanan edukatif oleh dosen kepada para mahasiswa, seharusnya mampu memberikan dampak yang spesifik terhadap penambahan wawasan pengetahuan mahasiswa dan kualifikasi keahliannya sebagai lulusan FAI Unikarta.

Termasuk dalam kategori mewujudkan budaya mutu di FAI Unikarta ialah terwujudnya sistem penjaminan mutu internal yang berkualitas, hadirnya sistem informasi yang berkualitas dan dapat diakses oleh semua pihak, serta terwujudnya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Arus hilir dari semua budaya mutu itu adalah capaian predikat akreditasi program studi (Baik Sekali atau Unggul) serta dapat dibukanya berbagai program studi baru. Selanjutnya, budaya mutu diharapkan berdampak pula terhadap meningkatnya kualitas softskill mahasiswa yang menopang terwujudnya jiwa sociopreneur dengan menumbuhkembangkan karakter kepribadian mahasiswa agar dapat berkarya dalam kewirausahaan namun tanpa meninggalkan kepekaan sosial di masyarakat, memiliki keterampilan sosial serta jiwa kepemimpinan, dan tidak kalah penting adalah kesadaran mahasiswa terhadap dinamika keberagaman (berpemahaman moderat) sehingga tidak kaku dalam menghadapi perbedaan-perbedaan keagamaan, kesukuan dan lain-lain.

Menutup tulisan ini, bagi “para pejuang” yang tengah mengawal masa depan FAI Unikarta saat ini, sadarilah bahwa tanggung jawab masa depan lembaga ini terletak di pundak “etam segala”. Oleh karenanya, kerja sama tim serta meletakan kepentingan FAI Unikarta di atas semua kepentingan pribadi adalah prioritas. Mengutip kembali salah satu ayat Alquran untuk direnungkan bersama dalam Surat Al-Isra (17) ayat 84: “Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya”. Selamat Milad ke-28 FAI Unikarta. Ma’a al-najâh, yuftah lanâ al-barakah (semoga sukses, semoga pintu keberkahan dibukakan). (*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Beritaalternatif.com

SETELAH RAMADHAN BERLALU, SUDAHKAH KITA MERAIH KEBERUNTUNGAN?

Dekan Fakultas Agama Islam Unikarta, Haji Mubarak

Dekan Fakultas Agama Islam Unikarta, Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Haji Mubarak*

Dua pekan sudah Idulfitri 1443 H berlalu, di saat perayaan hari raya, sering kita mendengar ucapan selamat berlebaran diiringi “minal aidin wal faizin”. Ucapan ini sebenarnya adalah ucapan salam selamat (al tahni’ah) sekaligus doa yang selengkapnya berbunyi “Ja’alanâ allâh wa iyâkum min al ‘âidîn wa al fâizîn”, yang artinya, “Semoga Allah menjadikan kami dan kalian semua kembali dalam keadaan suci dan memperolah keberuntungan.” Pada kalimat tersebut terdapat kata “al ‘âidîn” yang berarti “orang-orang yang kembali (suci)” sementara kata “al fâizîn” artinya “orang-orang yang beruntung.”

Kedua kata tersebut dalam ilmu Nahwu (ilmu gramatika dalam bahasa Arab) merupakan kata benda (ism) berbentuk jamak muzakkar salim terambil dari wazan fa’il. Asalnya berbunyi “al ‘âidûn” dan “al fâizûn”, namun karena terhukum Khafadh/Jar karena didahului salah satu huruf khafadh/jar yakni “min” maka huruf yang asalnya “wawu” berganti menjadi “ya” sehingga berbunyi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kata “al ‘âidûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “âda, ya’ûdu, ‘audatan” berarti kembali. Adapun kata “al fâizûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “fâza, yafûzu, fauzan” dengan arti keberuntungan, kesuksesan, kemenangan.

Sehubungan dengan doa di atas (Ja’alanâ allâh min al ‘âidîn wa al fâizîn), ternyata jaminan kembali suci tidak berlaku bagi semua orang Islam. Ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang menegakkan Ramadan dengan berpuasa dan diiringi ibadah lainnya karena iman kepada Allah serta mengharapkan pahala dari-Nya. Hal ini tercantum dalam sebuah hadis di dalam Musnad Ahmad bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Ramadhan adalah bulan di mana Allah ‘Azza Wajalla mewajibkan puasa, dan aku telah membuat sunnah untuk shalat malamnya bagi kaum muslimin. Barangsiapa berpuasa karena mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosa akan keluar seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya.

Sementara itu, penyertaan harapan dalam doa di atas dimaksudkan agar setelah bulan Ramadhan berlalu maka orang-orang yang berpuasa serta mendirikan ibadah di dalamnya, selain kembali dalam keadaan suci, juga meraih keberuntungan. Dalam Musnad Ahmad pula terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “…rugilah seorang laki-laki yang datang padanya bulan Ramadan kemudian setelah berakhirnya dia belum mendapatkan ampunan…”.

Pertanyaan yang relevan untuk kita berikan jawabannya, adakah tanda-tanda kesucian pasca Ramadan sudah kita rasakan? Atau, sudahkah kita merasa meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu?

Sekadar memberi perspektif guna menjawab pertanyaan di atas, disebutkan dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif: Fîmâ Limawâshim al’Âm min al Wazhâif bahwa tanda-tanda jika Allah SWT menerima amaliyah seorang hamba maka Dia akan ringankan hamba tersebut untuk menyelaraskan amalan-amalan kebaikan setelahnya. Mengenai hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa pahala suatu kebaikan ialah kebaikan setelahnya. Seseorang yang memperbuat suatu kebaikan kemudian mengiringinya dengan suatu kebaikan lain setelahnya maka hal itu menjadi tanda bahwa kebaikan yang pertama diterima pahalanya. Sementara itu, bagi seseorang yang melakukan suatu kebaikan namun mengiringinya dengan suatu perbuatan dosa setelahnya maka hal itu menjadi tanda tertolaknya amalan kebaikan yang telah dilakukan (Ibn Rajab, 1999:394).

Dengan demikian, tanda-tanda seorang memperoleh kesucian Ramadan ialah jika kurikulum Ramadan yang telah dilaluinya terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari setelah bulan Ramadan berakhir. Dan tentunya, amalan kebaikan yang paling dicintai di sisi Allah ialah amalan yang rutin dan terus-menerus (istiqâmah) meskipun sedikit. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan, antara lain Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bebanilah diri kalian dengan amalan kebaikan sesuai dengan kemampuan kalian karena Allah tidaklah bosan sehingga kalian merasa bosan. Bahwasanya amalan kebaikan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang berterusan walaupun sedikit.” Hadis ini memberikan penekanan bahwa amalan kebaikan hendaknya dilaksanakan secara rutin dan terus-menerus meskipun dilakukan hanya menurut kemampuan seseorang dalam mengerjakannya. Dalam beribadah yang rutin ini hendaknya menjauhi segala bentuk amaliyah yang berlebihan namun cepat bosannya hingga terputus lalu terabaikan.

Lalu, bagaimana mengetahui seseorang meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu? Untuk hal ini kita kembali kepada Alquran. Disebutkan dalam Surat Yunus (10) ayat 63-64 bahwa orang-orang yang meraih keberuntungan itu secara umum ialah orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” Pada surat lainnya, Al-Mu’minun (23) ayat 1-5, Allah pula berfirman: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya.” Dan tentunya, banyak lagi ayat lainnya tentang keberuntungan ini.

Keberuntungan yang didapatkan oleh seseorang setelah Ramadan terpancar dari keindahan perbuatan ibadahnya setelah Ramadan itu berlalu. Di dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif (Ibn Rajab, 1999:396) disebutkan bahwa Abu Nashr Bisyr bin al-Haris al-Hafi pernah ditanya tentang suatu kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai ibadah itu hanya di bulan Ramadan. Beliau (Bisyr bin al-Haris) mengatakan: “Seburuk-buruk kaum ialah mereka yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya (memberikan peribadatan terbaik) kecuali hanya di bulan Ramadan.” Maksud pernyataan ini, memprioritaskan ibadah hanya di bulan Ramadan dan mengabaikan peribadatan terbaik setelah Ramadan itu berlalu atau bulan-bulan lainnya adalah termasuk perbuatan yang buruk. Dengan demikian maka orang-orang yang beruntung setelah Ramadan berlalu adalah orang yang menjaga kualitas iman dan takwanya hingga mampu berlaku istiqâmah baik di saat menjalani ibadah di bulan Ramadan maupun setelah Ramadan itu berlalu. Wa Allâh al Musta’ân, wa ilâ Allâh Turja’ al Umûr(*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Sintesanews.id

PUASA RAMADHAN MELATIH SISI KEMANUSIAAN

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Akhmad Riadi*

Ibadah puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan 1443 H ini mudah-mudahan dapat menjadi wasilah (perantara) kita meraih ampunan Allah SWT atas berbagai dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Sebagaimana sabda Nabi SAW, Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisab (yakni sikap introspeksi diri atas dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan), maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Bulan Ramadhan yang penuh ampunan dan magfirah sebaiknya dapat kita maksimalkan untuk meningkatan kuantitas dan kualitas nilai ibadah kita dibandingkan dengan nilai-nilai ibadah di luar bulan Ramadhan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Seluruh amal kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Setiap satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali lipat. Hingga Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena itu adalah urusan antara Aku dan hamba-Ku. Akulah yang akan langsung membalasnya. Lantaran mereka telah benar-benar meninggalkan keinginan syahwat dan makananannya semata-mata karena Aku.” (HR. Imam Muslim).

Puasa Ramadhan yang dilaksanakan oleh umat Islam tentunya tidak hanya sekedar meninggalkan makan, minum, dan hal-hal lainnya yang secara hukum fikih dianggap membatalkan puasa. Tidak hanya itu saja. Yang paling urgen dari pelaksanaan puasa adalah menjaga hati dan anggota tubuh kita dari perangsang dan perbuatan-perbuatan tercela dan dosa.

Hati yang selalu terpaut dengan nilai-nilai ruhiyah yang akan mengantarkan manusia dalam kedamaian, ketenangan, dan kebahagian. Untuk mencapain nilai-nilai ruhiyah maka perlu ditopang oleh anggota tubuh, lisannya tidak berkata dusta, tidak mengucapkan sesuatu yang kotor ataupun tercela, tidak menebarkan fitnah ataupun hasut, tidak memutarbalikkan fakta atau meyakinkan orang lain dengan berita yang mengada-ada demi kepentingan kelompok ataupun kepentingan pribadi. Perutnya juga harus dijaga dari segala jenis makanan dan minuman yang haram dan mengisinya dengan makanan dan minuman yang baik dan halal. Ayunan gerak dan langkah kakinya berjalan ke jalan yang dirahmati dan diridhai oleh Allah SWT. Demikian pula pikirannya, harus benar-benar dijaga dari prasangka-prasangka buruk (su’udzan), baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.

Ibadah puasa pada bulan Ramadhan benar-benar melatih umat manusia yang beriman untuk menjaga diri dari aspek sisi kemanusiaan yang paling fitri dan hakiki, agar terhindar dari sifat-sifat baha’imiyah (sifat hewan ternak, seperti rakus, tamak, dan serakah dalam mengejar orientasi dan kepentingan-kepentingan duniawi), juga sifat sabu’iyah (sifat binatang buas, yakni sifat untuk selalu merasa benar dan menang sendiri, meskipun dengan cara menindas dan menzalimi orang lain), lebih-lebih sifat syaithoniyah yang senantiasa ingkar kepada Tuhannya.

Rasulullah SAW  bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi hasil yang diperoleh dari ibadah puasanya hanya lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang terjaga di malam hari namun tidak menghasilkan apa-apa selain hanya begadang tanpa makna”. (HR. Ibnu Majah).

Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk senantiasa menjaga hati dan segenap sikap serta perilaku kita selama bulan suci Ramadhan, agar apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 182 dapat tercapai, yakni menjadi insan yang muttaqin.

Sebagai penutup, kiranya perlu kita hayati bersama salah satu nasehat yang dikemukakan oleh Jabir bin Abdillah bin ‘Amr al-Anshari as-Salami RA (wafat 74 H), salah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshor, yang selama hidupnya pernah meriwayatkan tak kurang dari 1.540 hadits Nabi. Beliau menyatakan, “Apabila engkau berpuasa, maka puasakan juga pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu, dari hal-hal yang haram. Jangan menyakiti tetangga. Jangan melukai perasaan orang lain. Jadilah orang yang lemah lembut dan tenang pada saat engkau berpuasa. Jangan jadikan saat-saat puasamu dan saat-saat kamu tidak puasa menjadi dua hal yang tidak ada bedanya.”

Kita memohon kepada Allah SWT, semoga kita diberikan kesehatan, kelapangan waktu untuk selalu menebar kebaikan, kelapangan rezeki untuk dapat berbagi, kelapangan hati untuk menerima dan memaafkan, semoga bermanfaat dalam menjalankan aktifitas pada bulan Ramadhan 1437 H dan kita berharap agar kita termasuk orang-orang yang yang bertakwa. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Sintesanews.id

MEMUPUK KEGEMBIRAAN DALAM MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN 1443 HIJRIAH

Kaprodi FAI Unikarta Mukmin

Oleh: Mukmin*

FAIUNIKARTA.AC.ID Hasil sidang isbat sudah diumumkan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang jatuh hari Ahad (3/4/2022). Kaum muslim Indonesia pun menyambut gembira dan antusias atas kedatangan bulan suci Ramadan 1443 Hijriah ini.

Mengapa kita patut gembira menyambut bulan suci Ramadan? Karena di dalamnya banyak kemuliaan, berkah dan ampunan dari Allah Swt.

Sebagaimana hadis Rasulullah Saw, “Telah datang kepada kalian Ramadan bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad).

Hadis ini mengajarkan bahwa umat Islam hendaknya bergembira dengan datangnya Ramadan.

Seseorang merasa gembira dengan berbagai alasan, misalnya karena pemberian materi, harta, pujian atau perhatian sesama manusia. Akan tetapi ada satu syarat yang harus ada bagi seorang muslim untuk bisa merasakan kegembiraan menyambut Ramadan, yaitu iman di dalam hati.

Tanpa adanya kesungguhan iman, alasan untuk bergembira menyambut Ramadan akan sulit diterima nalar. Bagaimana tidak, kurang lebih 13 jam seseorang rela menahan haus dan lapar seharian dalam keadaan lapar yang melilit dan haus yang semakin mencekik di tenggorokan selama sebulan penuh Ramadhan. Jika bukan karena dorongan iman dalam hati, maka muslim tidak mampu melewatinya.

Bukankah akan lebih menyenangkan jika saat haus dan lapar, segera kita santap sajian makan dan minum yang tersedia? Juga tidak mudah diterima oleh logika, bagaimana sepasang suami istri yang telah sah menikah, dilarang berhubungan intim di siang hari di bulan Ramadan? Itu semua tidak mungkin dilakukan tanpa iman.

Oleh karena itu, dengan kesungguhan iman seorang muslim yang berpuasa akan sangat antusias menyambut Ramadan. Jelas tergambar baginya kemurahan dari Allah Swt.

Untuk memperoleh limpahan pahala yang berlipat ratusan bahkan ribuan kali, dapat dilakukan hanya dengan amal salih yang sederhana di bulan Ramadan.

Bagi seorang muslim yang berpuasa, gambaran terbuka lebarnya pintu surga dengan segala kenikmatan di dalamnya sudah cukup menjadi alasan untuk banyak bersedekah dan beramal selama bulan Ramadan yang penuh berkah dan pahala dilipatgandakan.

Selanjutnya dengan iman pula seorang muslim yang berpuasa rela menahan haus dan lapar. Padahal sangat mudah baginya untuk bersembunyi dari pandangan manusia untuk makan dan minum sepuasnya di saat orang berpuasa.

Baginya, Allah Maha Melihat dan Mengawasi apa yang dia lakukan. Dia takut Allah murka jika ia melanggar perintah Allah dengan tidak berpuasa di siang hari bulan Ramadhan.

Sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Swt. (Fathul Bari, 4: 115).

Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya puasa dan meyakini ganjaran dari Allah. Juga melaksanakan qiyam Ramadan. Sedangkan yang dimaksud ihtisaban adalah menginginkan pahala Allah dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap ridha-Nya.” (Syarh al-Bukhari oleh Ibn Baththal, 7: 22).

Artinya, puasa yang dilandasi iman sepenuh hati dan ikhlas itulah yang menuai balasan pengampunan dosa yang telah lalu.

Kalau seseorang mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan rida, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.

Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadan yang didapatinya tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak yang baik.

Segala bentuk keutamaan di bulan Ramadan inilah yang membuat para ulama salaf terdahulu sangat merindukan Ramadan, bahkan jauh hari sebelumnya. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah Swt selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal salih di Ramadan yang lalu)”.

Sebagai muhasabah, kita harus meyakini bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan sementara. Boleh jadi bulan Ramadan tahun ini adalah yang terakhir bagi kita, maka mari bersama-sama kita manfaatkan Ramadan tahun ini dengan sebaik-baiknya; dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah Swt.

Semoga sisa umur kita senantiasa diberkahi dan diampuni dosa-dosa kita dan dapat berjumpa kembali di bulan Ramadan berikutnya. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

MENANTI PEMBERLAKUAN PERDA GEMA ALQUR’AN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

FAIUNIKARTA.AC.ID

Oleh: Haji Mubarak*

Namanya ialah “Gerakan Etam Mengaji” atau disingkat GEMA, yakni suatu spirit budaya dalam mempelajari Alquran yang menjadi kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 24 Tahun 2016, di masa pemerintahan Bupati Kukar Rita Widyasari. Akan tetapi, eksekutor terhadap program GEMA ini dilakukan oleh Wakilnya: Edi Damansyah—saat ini sebagai Bupati Kukar terpilih pada Pilkada 2020.

Melalui tangan Bupati Edi-lah berbagai capaian positif diraih oleh Kabupaten Kukar setelah Perbup ini diterapkan, antara lain: (1) kegiatan mengaji dilaksanakan di area-area perkantoran; (2) pembelajaran mengaji dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan formal setingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi; (3) dilakukannya “Gerakan Waqaf Kitab Suci Alquran”; (4) pembentukan Baitul Quran di kecamatan-kecamatan; (5) dilaksanakannya program Satu Desa Satu Hafiz (One Village One Hafiz), (6) terpilihnya Duta Pemuda Pelopor dari Lembaga Pengembang Pembelajaran Alquran; (7) terpilihnya Kepala Sekolah Berprestasi dari Lembaga Pendidikan Formal Pelaksana Pembelajaran Alquran; hingga (8) Kabupaten Kukar berturut-turut menjadi Juara Umum MTQ Tingkat Provinsi Kalimantan Timur (2017, 2018, 2019, 2020, 2021).

Berkat keberhasilan Perbup tentang GEMA ini, DPRD Kukar dikatakan ingin menaikkan lagi level pemberlakuan GEMA, bahkan dikatakan telah menyelesaikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang GEMA dan disepakati dalam sidang paripurna DPRD Kukar. Sembari menanti (penuh harap) segera diberlakukannya Perda GEMA tersebut, berikut diulas secara singkat Perda GEMA Alquran di Kabupaten Kukar.

Awal Diberlakukan Program GEMA Alquran

GEMA Alquran di Kukar diresmikan pertama kali oleh Bupati Kukar saat itu, Rita Widyasari, dalam gelaran Pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Provinsi Kalimantan Timur ke-38 di Kukar. Rita mengatakan program GEMA adalah bagian dari program Gerakan Pembangunan Masyarakat Sejahtera (GERBANG RAJA).

Dikatakan bahwa program GEMA adalah upaya membangun akhlak mulia, serta menjadi benteng dari pesatnya dampak negatif dari perkembangan budaya yang semakin pesat dan maju. Program ini merupakan upaya meningkatkan syiar Islam dalam rangka membangun karakter masyarakat Muslim Kukar yang beriman, bertakwa serta menjadi teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sedangkan sasarannya meliputi budaya membaca Alquran secara rutin yang dilakukan oleh lembaga pendidikan baik formal maupun informal, instansi pemerintah, tempat ibadah, organisasi kemasyarakatan serta masyarakat luas. Direncanakan adanya petunjuk teknis, baik untuk instansi pemerintah, lembaga pendidikan, hingga untuk masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi maupun kearifan lokal masing-masing wilayah atau satuan kerja.

Ringkasan Isi Perbup Nomor 24 Tahun 2016 tentang GEMA

Program GEMA secara ringkas jika menilik isi Perbup Nomor 24 Tahun 2016 dijelaskan dalam uraian berikut:

Bab I: Ketentuan Umum (Pasal 1)

Peristilahan: Daerah, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah, SKPD, Alquran, Budaya Baca Alquran, Pendidikan Baca Tulis Alquran, Lembaga Pendidikan Baca Tulis Alquran, Peserta Didik Pendidikan Baca Tulis Alquran, Jenjang Pendidikan, Jenis Pendidikan, Satuan Pendidikan, Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal, Pendidikan Informal, BKPRMI, Anak Usia Sekolah, TPQ, TQA, Diniyah Takmiliyah (Awaliyah, Wustho, Ulya), Majelis Taklim, Kelompok Pengajian, Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan.

Bab II: Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup (Pasal 2 dan 3)

  • Maksud: “Program Pemda untuk meningkatkan syiar Islam dan membangun karakter masyarakat Muslim”
  • Tujuan Umum: “Anak usia sekolah dan masyarakat muslim berpengetahuan dasar-dasar hidup beragama Islam, terampil dan taat beribadah”
  • Tujuan Khusus: “Menciptakan sikap perilaku muslim yang baik, berakhlak mulia dan bertakwa”, dan “anak usia sekolah mampu membaca, menulis, memahami dan melaksanakan ajaran Alquran”
  • Ruang Lingkup: Sasaran, Kegiatan, Pendidikan Baca Alquran, Penyelenggara, Pendidikan Baca dan Tulis Alquran, Kurikulum dan Tenaga Pendidikan.

Bab III: Program (Pasal 4 dan 5)

Bagian 1: Sasaran. 

  • Peningkatan budaya membaca Alquran pada: pelajar, pegawai pemerintah, dan masyarakat umum. Sasaran Fungsional: peningkatan kemampuan baca dan tulis Alquran pada jenjang pendidikan formal (SD/MI, MTs/SMP, SMA/MA/SMK), nonformal (TPQ, TQA, DTA, DTW, DTU), dan informal (MT dan Ormas Keagamaan)
  • Peningkatan budaya baca tulis Alquran meliputi: anak usia setingkat tamatan SD/MI, TPQ, DTA, mampu membaca Alquran dengan mengenal tajwid; anak usia setingkat SMP/MTs TQA dan DTW lancar membaca dan mampu menulis Alquran; anak usia setingkat SMA/MA/SMK dan DTU lancar membaca dan lancar menulis Alquran; masyarakat umum pada MT dan Ormas Keagamaan lancar membaca dan menulis Alquran

Bagian 2: Kegiatan

  • Sekolah: Kegiatan Rutin, Terjadwal, Terprogram dalam Ekstrakurikuler Wajib bagi guru dan siswa beragama Islam.
  • SKPD: Majelis Taklim Korpri dan Dharma Wanita.
  • Lembaga Ormas Keagamaan: Majelis Taklim.
  • Masyarakat Luas: Pembelajaran Bimbingan Belajar Mandiri.

Bagian 3: Pendidikan Baca Alquran (Pasal 6)

Pendidikan Baca Tulis Alquran dilaksanakan dalam bentuk pembelajaran baca tulis Alquran untuk mencapai kemampuan keterampilan baca tulis Alquran dengan berbagai metode dan teknik

Bagian 4: Penyelenggara (Pasal 7)

  • Penyelenggara Budaya Baca Tulis Alquran: lembaga pendidikan formal dan nonformal, SKPD, tempat ibadah muslim, masyarakat luas, lembaga atau ormas keagamaan.
  • Pendidikan Baca Tulis Alquran: lembaga pendidikan formal, nonformal, informal.

Bagian 5: Kurikulum (Pasal 8)

Kurikulum dan Metode Baca Tulis Alquran disusun dan dibuat oleh penyelenggara dengan berpedoman pada juknis program Gema (Juknis diatur dalam Ketetapan Bupati).

Bagian 6: Tenaga Pendidik (Pasal 9)

  • Tenaga Pendidik: Guru PAI atau Pengajar bersertifikat dari lembaga berwenang (persyaratan berpedoman pada Juknis diatur dalam Ketetapan Bupati?).
  • Kualifikasi Keahlian Tendik: Mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melaksanakan bimbingan dan pelatihan, serta menilai hasil pembelajaran

Bab IV: Pendanaan (Pasal 10)

Tanggung jawab bersama Pemda, pihak swasta, masyarakat dan pemangku kepentingan

Bab V: Sarana Prasarana Pendidikan (Pasal 11)

Semua jalur dan jenjang pendidikan “WAJIB” menyediakan sarana prasarana pendidikan baca tulis Alquran.

Bab VI: Evaluasi dan Monitoring (Pasal 12)

  • Tingkat keberhasilan peserta didik dibuktikan dengan hasil evaluasi dan sertifikat kemampuan baca tulis Alquran.
  • SKPD yang membidangi pendidikan umum dan pendidikan agama Islam, lembaga dan ormas keagamaan melakukan monitoring penyelenggaraan pendidikan baca tulis Alquran di semua jalur dan jenjang pendidikan.

Bab VII: Ketentuan Penutup (Pasal 13)

Berlaku sejak diundangkan (20 Mei 2016)

Sedikit Pertanyaan terkait Implementasi Perbup Nomor 24 Tahun 2016 tentang GEMA

Seiring dengan upaya DPRD Kukar untuk menghadirkan Raperda tentang GEMA, ada alasan spesifik di balik itu, yakni Perbup Nomor 24 Tahun 2016 tentang GEMA belum mengakomodir perkembangan, substansi, dan kebutuhan sebagai payung hukum gerakan ini secara utuh, sehingga dicabut dan digantikan menjadi Peraturan Daerah.

Adapun dalam kacamata penulis, terdapat beberapa pertanyaan terkait implementasi klausul Perbup Nomor 24 Tahun 2016 tentang GEMA di Kukar. Beberapa pertanyaan tersebut sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pertanyaan terkait Juknis Program GEMA yang diatur dalam SK Bupati

  • Apakah ada SK Bupati tentang Petunjuk Teknis Program GEMA?
  • Apakah SK Bupati tentang Petunjuk Teknis Program GEMA itu telah disosialisasikan ke SKPD, lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal dan informal, serta lembaga dan Ormas keagamaan?

Pertanyaan terkait Kurikulum dan Metode Baca Tulis Alquran berpedoman pada Juknis Program GEMA

  • Apakah sudah ada Kurikulum dan Metode Baca Tulis Alquran yang terstandar berdasarkan Juknis Program GEMA sebagaimana diatur dalam SK Bupati?
  • Jika sudah ada, bagaimana baku mutunya: standar mutu kurikulum, standar mutu metode, standar mutu tenaga pendidik, standar mutu sarana prasarana, standar mutu evaluasi penyelenggaraan, serta standar mutu keberhasilan peserta didik dan pemberian sertifikat kemampuan baca tulis Alquran yang ditetapkan melalui SK Bupati?

Pertanyaan tentang Guru PAI atau Pengajar Bersertifikat dari Lembaga Berwenang berpedoman pada Juknis Program GEMA

  • Apakah tenaga pendidik pembelajaran baca tulis Alquran selama ini telah tersertifikasi oleh lembaga berwenang?
  • Apakah kualifikasi keahlian tenaga pendidik baca tulis Alquran terjamin (dapat dibuktikan dengan sertifikat keahlian berdasarkan jam pembelajaran) yang mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melaksanakan bimbingan dan pelatihan, serta menilai hasil pembelajaran Alquran?

Pertanyaan tentang semua jalur dan jenjang pendidikan “WAJIB” menyediakan sarana prasarana pendidikan baca tulis Alquran

  • Apakah lembaga-lembaga pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK) telah menyediakan sarana prasarana pendidikan baca tulis Alquran?
  • Apakah sudah ada hasil monitoring-nya (ketersediaan sapras pendidikan baca tulis Alquran) dari SKPD yang membidangi pendidikan umum dan pendidikan agama Islam, dari lembaga dan ormas keagamaan (BKPRMI, LPTQ, dan lain-lain)?

Pertanyaan tentang Pendanaan Program Pemda yang diidentikkan dengan Program GEMA

Bagaimana responsibilitas anggaran APBD terkait Program Pembinaan Alquran yang diidentikkan dengan Program GEMA sedangkan tidak termasuk dalam klausul Perbup GEMA: (1) Pengadaan Kitab Suci Alquran, (2) Pengadaan Rumah Alquran/Baitul Quran, (3) Penganggaran kegiatan Satu Desa Satu Hafidz (One Village One Hafidz), dan lain-lain.

Pertanyaan tentang lembaga-lembaga di luar jangkauan Perbup GEMA

Bagaimanakah kaitan program GEMA dengan dengan Pembelajaran Alquran di pesantren-pesantren tahfidz dan di perguruan tinggi swasta di Kukar?

Menanti (Penuh Harap) Pemberlakuan Perda GEMA

DPRD Kukar dalam Sidang Paripurna pada 7 Juni 2021 mengesahkan lima buah Raperda, salah satunya Raperda GEMA. Namun, jauh sebelumnya (24/4/2021) Raperda GEMA telah difinalisasi oleh Tim Pansus DPRD Kukar. Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin langsung oleh Ketua Pansus H. Ahmad Zulfiansyah bersama beberapa anggota DPRD, Asisten I Pemkab Kukar Akmad Taufik Hidayat, Bagian Hukum, Bagian Kesra, Dinas Pendidikan, Balitbangda, Kepala Kemenag, Satpol PP, Ketua LPTQ, Dewan Masjid, MUI, LDII, PMD Muhammadiyah, PCNU, Ta’mir Majid, akademisi, para kepala sekolah, staf sekretariat dan tenaga ahli DPRD Kukar.

Dikatakan bahwa untuk memperjelas aturan tentang GEMA maka Perbup Nomor 24 Tahun 2016 perlu ditingkatkan menjadi Perda untuk memperjelas arah tujuan dan memperkuat perlindungan sehingga berkekuatan hukum, agar anak-anak dan masyarakat Muslim bisa memperdalam dan memperkuat mempelajari kitab suci Alquran.

Menurut informasi yang beredar, Raperda GEMA yang segera diterapkan menjadi Perda itu diberi judul “Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Etam Mengaji”. Masih belum jelas bagaimana isi Raperda tersebut, tetapi informasi yang diperoleh bakal ada sanksi secara administratif yang diterapkan oleh pemerintah daerah terhadap orang per orang, kelompok atau lembaga yang tidak mendukung bahkan mengganggu saat pelaksanaan GEMA sesuai ketentuan perundang-undangan.

Dengan penuh harap, masyarakat muslim di Kukar tentu menunggu diberlakukannya Perda ini sebagai kearifan lokal di Kukar. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Link : Beritaalternatif.com

MANAJEMEN WAKTU YANG TEPAT

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang :

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara:

  1. Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
  2. Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
  3. Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
  4. Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
  5. Hidupmu sebelum datang matimu.”

Dalam postingan kali ini, saya hanya akan membahas sedikit tentang pentingnya waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu.

Menurut Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.

Masa muda adalah masa paling produktif. Dimna masa itu adalah masa yang mana seseorang mengalami masa transisi dari usia anak-anak menjadi tumbuh dewasa. Sesuatu hal yang baru akan dirasakan seseorang pada masa ini. Penentuan masa tua terkadang banyak dipengaruhi oleh masa muda. Banyak orang yang tidak menyadari akan hal itu dikarenakan terlena oleh masa yang cukup indah bagi mereka.

Tips agar masa  muda kita produktif:

  1. Lakukan setiap aktifitas dibawah bimbingan orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang yang sesuai dengan bakatmu
  2. Beraktifitaslah di lingkungan yang positif
  3. Buatlah manajemen waktu dengan baik dengan cara meminta arahan orang terbaikmu
  4. Buatlah perencanaan yang terukur dalam setiap aktifitasmu
  5. Perbanyaklah membaca, karena membaca adalah jendela dari dunia ini

Ingat…!!!

  • Jika waktu mudamu penuh dengan KEMALASAN, maka bersiaplah dengan masa tuamu akan dpenuhi dengan PENINDASAN….
  • Jika masa mudamu penuh dengan hal-hal positif, maka bersiaplah dengan masa tuamu yang akan dipenuhi dengan ATRAKTIF

 

Habib Zainuri, S.Pd.I.,M.Pd

Dosen