MENGEMBALIKAN MARWAH PESANTREN, BEBERAPA CATATAN TENTANG NILAI-NILAI ADILUHUNG

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

Oleh: H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Cukup layak kiranya jika topik ini saya angkat di tengah maraknya pemberitaan negatif tentang pesantren. Entah karena kasus-kasus asusila yang terjadi oleh oknum di pesantren maupun disebabkan khalayak yang cenderung spekulatif tentang pendidikan pesantren, yang “konon katanya” tidak seideal harapan mereka tentang lembaga pendidikan Islam kultural yang mumpuni mencetak kader-kader ulama dengan semangat “tafaqquh fi al-Din”. Di Kota Tenggarong, misalnya, dalam sepekan terakhir di bulan Maret 2022, penahanan seorang pimpinan pesantren karena “merudapaksa” hingga menikahi santriwatinya di luar persetujuan orang tuanya seakan menjadi amunisi baru bagi kemunculan dugaan-dugaan ‘liar’ di masyarakat terhadap pendidikan di pesantren yang dinilai tidak ideal. Masyarakat menjadi khawatir, overthinking, hingga takut menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke pesantren.

Sementara itu, lembaga-lembaga keagamaan Islam belum banyak yang bersuara untuk melakukan “counter issue” guna menutup celah mispersepsi di masyarakat yang mungkin lambat laun akan menggerus keagungan nilai-nilai kepesantrenan, yang selama ini dirawat oleh para “khadim al-Ma’had” yang berjiwa tulus, mengayomi, hingga amanah dalam memberikan pendidikan Islam terbaik di pesantren-pesantren yang mereka kelola.

Tulisan singkat tentang pesantren ini mencoba mengurai keagungan nilai-nilai pesantren sebagai bahan rujukan bagi masyarakat luas. Bukan hanya bermaksud untuk melakukan “counter issue” atas kasus-kasus asusila yang terjadi dan dilakukan oleh oknum-oknum di pesantren yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga mencoba menyuarakan secara lantang dan tegas bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang pendidikan di pesantren, ataupun cara hidup ala pesantren yang mengikat hubungan keilmuan antara kiai dan santri, serta yang terpenting adalah dinamika perjuangan santri selama ‘mondok’ di pesantren, yang bagi para ‘mantan’ santri menjadi kenangan indah yang tidak akan terlupakan.

Watak Kehidupan Pesantren

Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan dalam tulisannya yang bertajuk “Pesantren sebagai Subkultur” bahwa pesantren memiliki pola kehidupan yang unik, yang mampu bertahan selama berabad-abad lamanya dan mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dalam jangka panjang, keberadaan pesantren di dalam kedudukan kultural dianggap lebih kuat pengaruhnya daripada masyarakat di sekitarnya. Maksud pernyataan Gus Dur ini, secara tidak langsung mengatakan bahwa pesantren adalah institusi sosial yang memiliki sejumlah unsur khas, yang membedakannya dengan masyarakat atau institusi sosial lainnya. Pada pengamatan Gus Dur, pesantren memiliki pola kehidupan yang unik dengan nilai-nilai hidupnya, yang bertahan dalam jangka panjang keberadaannya di dalam kedudukan kultural bersama masyarakat, bahkan dianggap lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.

Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan adanya potensi untuk melakukan transformasi di masyarakat, meski di saat bersamaan pesantren kerap dihadapkan dengan serangan kultural yang datang silih berganti. Namun demikian, pesantren tetap mampu mempertahankan diri guna mengadakan inovasi pada waktunya. Inilah alasan mengapa pesantren oleh Gus Dur dianggap sebagai “subkultur” karena memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek: (1) cara hidup yang dianut (life pattern), (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti (mores), dan (3) hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya (internal authority).

Watak kehidupan pesantren yang dianggap “subkultur” dapat ditemukan dalam beberapa dimensi, antara lain: (1) eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan yang berbeda dari pola kehidupan umum; (2) sejumlah unsur penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; (3) keberlangsungan proses pembentukan tata nilai tersendiri dalam kehidupan pesantren bersama simbol-simbolnya; (4) pesantren memiliki daya tarik ke luar, sehingga masyarakat menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang terdapat di masyarakat, serta (5) terjadi proses saling mempengaruhi antara pesantren dan masyarakat di luarnya yang berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru, yang secara universal diterima kedua belah pihak

Unsur-Unsur Kehidupan Pesantren

Pesantren adalah suatu kompleks yang terpisah dari lingkungan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dalam kompleks pesantren ini ditemukan unsur-unsur, seperti bangunan fisik, manusia sebagai penunjang kehidupannya, hierarki kekuasaan intern, serta dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren.

Pertama, bangunan fisik pesantren adalah penunjang lingkungannya, seperti rumah kediaman pengasuh pesantren, surau atau masjid sebagai tempat keberlangsungan ibadah dan kegiatan pendidikan lainnya, serta asrama tempat tinggal santri.

Kedua, manusia yang menjadi penunjang kehidupan pesantren disebut sebagai warga pesantren, yakni suatu kelompok dalam lingkungan pesantren, yang terdiri atas kiai (Jawa) sebutan lainnya ialah ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syaikh/buya (Sumatera), anregurutta (Sulawesi), tuan guru (NTB, Kalimantan) sebagai pengasuh, para guru (ustaz, bentuk jamaknya: asâtidz), dan para santri.

Ketiga, hierarki kekuasaan yang bersifat absolut terdapat di dalam lingkungan pesantren, yakni kekuasaan kiai dan para pembantunya atas diri para santri. Hierarki kekuasaan ini ditegakkan di atas kewibawaan moral kiai sebagai penyelamat para santri dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan. Hierarki intern ini tidak berbagi tempat dengan kekuasaan di luar meski dalam aspek-aspek yang sederhana. Bagi seorang santri, kiai menjadi sumber inspirasi dan penunjang moral pribadinya, sehingga untuk seumur hidupnya ia senantiasa akan terikat dengan kiainya.

Keempat, dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya, yang berputar menurut siklus waktu sembahyang/salat, sehingga kegiatan di pesantren berotasi pada pembagian periode menurut pergiliran lima waktu salat wajib. Dimensi waktu yang unik ini tercipta disebabkan kegiatan pokok pesantren yang berpusat pada pengajian buku-buku teks (al-kutub al-muqarrarah) pada tiap-tiap selepas salat wajib. Semua kegiatan lain harus menyesuaikan dengan pembagian waktu pengajian, serta lama waktu pengajian yang digunakan sehari-hari, di mana waktu pelajaran tengah hari dan malam lebih panjang daripada waktu subuh dan petang.

Peranan Kiai, Ustaz dan Santri di Lingkungan Pesantren

Menyorot pesantren, sesungguhnya terdapat tiga peranan yang dimainkan oleh kiai, ustaz, dan santri. Kiai adalah pimpinan pesantren yang dalam hierarki sederhana menempatkan dirinya sebagai pemegang otoritas dalam segala hal di pesantren. Meski demikian, adakalanya kepemimpinan kiai di pesantren diwakilkan kepada seorang ustaz senior selaku “lurah pesantren”. Di dalam pesantren yang telah mengenal struktur organisasi yang lebih kompleks, pengelolaan pesantren digantikan oleh susunan pengurus yang lengkap dengan pembagian tugas masing-masing, meskipun kekuasaan mutlak tetap dimiliki oleh kiai dan keluarganya. Dalam hal ini kedudukan kiai bukan sebagai primus interpares (kepemimpinan yang dipilih berdasarkan musyawarah), melainkan pemilik tunggal di pesantren.

Sementara ustaz dalam kedudukannya memiliki dua fungsi pokok, yakni sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai untuk mendidik para santri. Pada fungsi pertama menempatkannya dalam peranan sebagai asimilator antara tata nilai yang telah ada dan radiasi kultural yang baru, sedangkan pada fungsi yang kedua mengharuskannya mematangkan penguasaan atas literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren.

Kedua fungsi ini adalah tugas berat yang harus diemban oleh seorang ustaz karena ia di bawah pengawasan kiai yang perfeksionis dalam kedua hal tersebut, sehingga tidak heran bila sangat sedikit asâtidz yang dinyatakan berhasil dan di kemudian hari mampu memimpin pesantrennya sendiri.

Adapun santri adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri sebagai persyaratan mutlak baginya untuk menjadi anak didik kiai sepenuhnya. Ia harus memperoleh kerelaan kiai dengan mengikuti segala kehendak kiai dan melayani segenap kepentingannya. Pelayan dimaksud adalah tugas kehormatan sebagai ukuran penyerahan diri. Kerelaan kiai itu dinamakan “barâkah” sebagai alasan berpijak bagi santri dalam menuntut ilmu.

Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Pesantren

Jika dilihat secara seksama maka sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren sesungguhnya menerapkan sistem yang lentur (luwes). Unsur-unsur pendidikan dan pengajaran di pesantren terdiri atas kurikulum, metode pengajaran, materi pelajaran, serta masa tempuh pendidikan di pesantren.

Pertama, kurikulum. Kurikulum pendidikan di pesantren ialah pembacaan kitab-kitab. Corak kurikulum ini berupa pengulangan pelajaran yang bertingkat dan berjenjang tanpa berkesudahan, dari yang kecil hingga yang sedang.

Kedua, metode pengajaran. Kegiatan pengajaran di pesantren dilakukan dalam suatu pengajian yang berbentuk semacam kuliah terbuka. Pengajian ini dikenal dengan istilah weton atau bandongan, di mana seorang kiai memberikan pengajian di serambi mesjid atau surau dengan kurikulum yang dipilih sepenuhnya oleh para santri. Sang kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan di dalam teks kitab yang dipelajari, kemudian santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan sang kiai atau sekembalinya ke bilik asrama masing-masing dalam bentuk pengajian ulang antar sesama teman sepengajian (yang disebut: mudârasahmuthâla’ah, jam’iyyah, dan sebagainya).

Ketiga, materi pelajaran. Kiai memberikan materi pelajaran semuanya bersifat aplikatif, yakni harus diterjemahkan para santri ke dalam perbuatan dan amalan sehari-hari. Hal ini menjadi pokok perhatian kiai. Semua bidang kehidupan santri tersentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan kiai ini, dari cara menyucikan diri, ibadah ritual, hingga tata perniagaan yang diperbolehkan dalam agama Islam. Ini sama artinya kiai memberikan panduan lengkap kepada para santrinya untuk berproses dalam suatu tata nilai dan orientasi serangkaian perbuatan sehari-hari sebagai “cara kehidupan santri”.

Keempat, masa tempuh pendidikan di pesantren. Untuk hal ini tidak ditentukan ukurannya. Selama santri masih memerlukan bimbingan pengajian dari kiainya, maka tidak ada keharusan untuk menyelesaikan masa pendidikannya di pesantren, terkecuali berkaitan dengan keterbatasan biaya ataupun panggilan dari orang tua untuk menikah/berumah tangga. Kiai hanya bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk berbagai tingkatannya, pilihan bagi santri hanyalah menentukan manakah yang ingin ditempuhnya. Terkadang, diperlukan masa bertahun-tahun untuk menyerap berbagai tingkatan pengajaran yang dilakukan oleh kiai di pesantren. Akan tetapi, hal ini bukanlah ukuran keberhasilan seorang santri yang mengikuti pelajaran di pesantren. Ketundukan kepada kiai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang kiailah yang menentukan keberhasilan santri itu, sehingga berpotensi menjadi kiai di masa depan atau menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat. Inilah yang menjadi tolak ukur keberhasilan santri.

Tata Nilai Kehidupan Pesantren

Pesantren memiliki peranan berganda, yakni di satu sisi sebagai pilihan ideal dari kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, dan di saat bersamaan berdiri sebagai unit budaya yang menjadi bagian dari masyarakat. Dalam menjalankan peranan ganda inilah pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Peniruan adalah usaha sadar yang dilakukan secara terus-menerus untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi SAW dan para ulama salaf di zamannya ke dalam praktik kehidupan pesantren, sedangkan pengekangan adalah perwujudan disiplin sosial yang ketat di pesantren, di mana kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini. Contoh keduanya dalam kehidupan pesantren ialah dalam bentuk ketaatan beribadah secara maksimal, penerimaan atas kondisi material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi.

Berupaya mengurutkan tata nilai kehidupan yang berkembang di pesantren, maka dapat dinyatakan bahwa nilai kehidupan pesantren yang terpenting ialah nilai keikhlasan. Nilai ini berangkat dari visi kesediaan kalangan pesantren untuk menerima kadar materiil apa pun yang diberikan dalam kehidupan ini. Walaupun terkesan fatalistik, tetapi segi positifnya nilai ini memberikan peluang bagi santri untuk menciptakan penerimaan dengan mudah terhadap perubahan-perubahan status dalam kehidupannya kelak, serta fleksibilitasnya dalam menempuh karier masing-masing.

Nilai berikutnya ialah orientasi kehidupan ukhrawî. Nilai kehidupan ini berangkat dari visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kemudian, sehingga kehidupan di pesantren menekankan pada pengerjaan perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin sebagai landasan dasarnya.

Nilai-lainnya ialah asketisme (kezuhudan) yang dikombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh barâkah-nya, yang tentunya hal ini memberikan bekas mendalam pada diri seorang santri. Barâkah kiai menjadi alasan penting bagi santri untuk setia dengan kezuhudannya. Nilai asketisme yang dikombinasikan dengan sikap patuh terhadap perintah kiai inilah yang menjadi daya tarik pesantren, sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putra-putri mereka untuk belajar di pesantren.

Nilai kehidupan berdasarkan preskripsi hukum fikih yang diikuti dengan adat kebiasaan kaum sufi menjadi tata nilai berikutnya yang berkembang di pesantren. Kehidupan yang bertentangan dengan hukum fikih di pesantren tidak mendapatkan tempat, bahkan dalam hal terkecil seputar najis (kotoran) menjadi sangat penting karena bersinggungan langsung dengan kesahan dalam beribadah. Penerimaan terhadap preskripsi fikih ini kemudian disempurnakan dengan pelaksanaan amalan-amalan utama (fadhâ’il al-a’mâl) sebagai bentuk ketundukan kepada mursyîd (predikat bagi seorang pembimbing dalam gerakan sufi). Perpaduan kedua unsur ini merupakan kulminasi tertinggi dalam tata nilai yang berkembang di pesantren.

Tidak kalah penting, di kalangan pesantren terdapat nilai transmisi tradisi yang berkembang. Mekanismenya ditemukan dalam sistem transmisi riwayat secara berantai (isnâd) yang semula digunakan dalam kodifikasi corpus hadis, serta dalam penulisan sejarah Islam maupun sastra Arab. Nilai transmisi tradisi ini kebanyakan dikembalikan kepada perintah wali songo maupun imprimaturnya sebagai jaminan keaslian nilai-nilai yang diwariskan secara berantai itu. Kepatuhan mengikuti nilai-nilai itu dinyatakan sebagai perbuatan yang menghargai, sedangkan keengganan dalam mengikutinya akan diancam dengan kemungkinan memperoleh balasan fisik yang tidak dikehendaki (kualat karena melakukan hal yang tabu/pamali).

Nilai lainnya ialah pewarisan ilmu. Pesantren mengembangkan sistem pewarisan ilmu sebagai suatu tradisi dalam struktur pengajaran tradisionalnya, yakni menularkan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya (transmisi keilmuan) dengan sistem bimbingan individual berupa sistem ijazah lisan. Dalam hal ini kiai berkenan mengajarkan sebuah teks kepada santrinya setelah penguasaan suatu pengetahuan oleh santri secara penuh. Sistem ini membuat santri secara spiritual terikat kuat dengan kiainya sebagai pembimbing seumur hidup (life-long tutor).

Interaksi Sosial di Pesantren dan Masyarakat

Interaksi sosial menjadi penopang dalam dinamika kehidupan pesantren serta hubungannya dengan masyarakat. Hubungan kiai dan santri di dalam pesantren merupakan wujud interaksi sosial dalam hubungan interpersonal, sementara itu pesantren dapat mengaktualisasikan pengaruhnya ke dalam dimensi kehidupan masyarakat luas.

Hubungan interpersonal antara kiai dan santri tergambar dalam upaya santri memperoleh kerelaan kiai dengan penekanan kepada kebutuhan memperoleh barakah-nya hingga bersedia melakukan segenap perintahnya. Di sinilah diciptakan mekanisme konsensus untuk pembentukan tata nilai di pesantren, di mana santri berfungsi sebagai medium guna menciptakan ketundukan kepada tata nilai yang berlaku di pesantren tersebut. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan yang memberi bekas mendalam pada diri seorang santri, yang pada gilirannya akan membentuk sikap hidupnya sendiri.

Sementara itu, pengaruh utama pesantren atas masyarakat luar terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh perbedaan di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas: (1) mengatur bimbingan spiritual dari pihak pesantren kepada masyarakat dalam masalah ritual ibadat ataupun soal-soal perdata agama Islam (perkawinan, waris, dan lain-lain), serta (2) masalah pemeliharaan material-finansial dari masyarakat kepada pesantren (dalam bentuk pengumpulan dana dan lain-lain).

Selanjutnya, kehidupan pesantren bagi masyarakat luar adalah gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisasikan dalam kehidupan mereka, tetapi pada saat-saat tertentu pesantren menjadi tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual bagi mereka. Pesantren juga menjadi pusat gerakan tasawuf karena terdapat daya tarik dalam kedudukannya sebagai pusat gerakan, bahkan tidak jarang faktor karismatik seorang kiai merupakan daya tarik yang kuat pula bagi pesantren.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, tampak nyata sesungguhnya pesantren memiliki marwah berupa nilai-nilai adiluhung yang patut diungkapkan ke tengah publik. Berbagai kasus asusila yang belakangan terjadi di pesantren oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tentu tidak boleh digeneralisasi. Masih banyak pesantren yang dengan amanah dan bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan pendidikannya dengan kekhasan, tradisi serta kurikulum masing-masing guna membentuk santri yang unggul dalam menghadapi perkembangan zaman.

Terlebih, setelah penerbitan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang mengikat penguatan fungsi pesantren dalam aktivitas pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam fungsi dakwahnya, pesantren dituntut untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dengan upaya mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran, mengajarkan pemahaman dan keteladanan dalam pengamalan nilai-nilai keislaman yang rendah hati, toleran, berkesinambungan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dengan tetap memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat, menjaga kerukunan hidup umat beragama, serta praktik keberagamaan yang moderat. Adapun berkaitan fungsi pemberdayaan masyarakat, orientasi pesantren ialah meningkatkan kesejahteraan pesantren dan masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan pendidikannya dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Selanjutnya, patut juga dicatat bahwa eksistensi pesantren (baik tradisional maupun modern) harus mampu menghubungkan antara budayanya dengan masyarakat, serta perkembangan zaman dan modernitasnya. Hal ini tidak lain karena dalam lingkungan kultural pesantren telah mengakar pemahaman untuk menjaga tradisi yang telah baik dan melakukan inovasi yang bermanfaat (al-Muhâfadhah ‘alâ al-Qodîm al-Ashlah wa al-Akhdz min Jadîd al-Nâfi’).

Oleh karenanya, pesantren harus mengadakan perubahan kualitatif karena terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamannya secara masif sebagai akibat dari perubahan zaman. Wallâhu a’lam bi al-shawâb(*Dosen dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

(Tulisan diintasi dari karya: Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan. Cet. 5. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995.)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *