Pos

Buat Apa Kuliah?: Pernyataan dari Si Pintar yang Terdengar Dungu

Oleh: H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I*

 

Di tengah derasnya arus informasi di era digital, sebuah pertanyaan sinis namun populer sering kali terdengar: “Buat apa kuliah? Toh, semua ilmu bisa dipelajari dari internet.” Pernyataan ini yang sering kali dilontarkan oleh individu-individu cerdas yang otodidak, sepintas memang terdengar logis di permukaan. Mereka berargumen bahwa dengan adanya Google, YouTube, kursus daring, dan sumber daya tak terbatas lainnya, institusi pendidikan formal seperti universitas telah menjadi usang. Namun, pandangan ini, meski terkesan pintar, sejatinya merupakan sebuah simplifikasi (kalau bukan: meremehkan!) yang berbahaya dan menunjukkan kesalahpahaman mendasar tentang hakikat pendidikan tinggi. Anggapan bahwa kuliah hanyalah tentang transfer informasi adalah premis dungu yang mengabaikan esensi terpentingnya: pengasahan kompetensi akademik dan pengalaman pendidikan yang terstruktur. Alan Alexander Milne (seorang penulis asal Inggris) mengatakan “Bagi orang yang tidak berpendidikan, huruf A hanyalah sebuah tiga garis.” Pernyataan ini membuka mata kita bahwa tanpa pendidikan, dunia hanyalah kumpulan bentuk dan fenomena tanpa makna. Pendidikanlah yang mengubah persepsi kita, mengubah ‘tiga garis’ acak menjadi huruf ‘A’ sebuah simbol yang menjadi fondasi bahasa, sastra, dan penyebaran gagasan.

Kesalahan fatal dari argumen “semua ilmu bisa dipelajari dari internet” adalah menyamakan antara akses terhadap informasi dengan penguasaan pengetahuan. Internet adalah perpustakaan raksasa yang kacau, yang menyediakan jutaan kepingan puzzle tanpa memberikan gambaran utuh atau cara menyusunnya. Seseorang mungkin bisa menghafal fakta sejarah, rumus, atau teori dari video berdurasi sepuluh menit. Namun, ini hanyalah ilusi pengetahuan. Pendidikan di bangku kuliah, sebaliknya tidak hanya memberikan “apa”-nya, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa”-nya, yang berintikan proses. Proses ini disebut sebagai pengembangan kompetensi akademik. Kompetensi akademik adalah kemampuan untuk berpikir kritis, analitis, dan sistematis. Ini ditempa melalui kurikulum yang dirancang secara cermat, di mana satu mata kuliah menjadi fondasi bagi mata kuliah lainnya. Mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi dilatih untuk mempertanyakannya, mengujinya melalui metodologi ilmiah, dan membangun argumen yang kokoh berdasarkan bukti. Mereka belajar membedakan antara sumber yang kredibel dan hoaks, antara korelasi dan kausalitas, serta antara opini dan fakta yang terverifikasi. Kemampuan inilah (kemampuan untuk bernalar secara terstruktur) yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh algoritma pencarian atau kursus daring yang bersifat satu arah.

Berikutnya, pandangan tersebut secara naif mengabaikan nilai ekosistem intelektual yang hanya bisa ditemukan di lingkungan kampus. Belajar bukanlah aktivitas soliter (menyendiri). Pertumbuhan intelektual yang paling subur justru terjadi melalui interaksi. Di ruang kelas, seorang mahasiswa dihadapkan pada dosen yang bukan hanya “mengajar”, tetapi juga membimbing, menantang, dan membuka cakrawala baru. Diskusi dengan sesama mahasiswa yang datang dari berbagai latar belakang dan memiliki sudut pandang berbeda adalah “gymnasium” bagi otak yaitu sarana untuk berlatih bersama. Perdebatan sengit tentang sebuah teori, berkolaborasi dalam proyek yang rumit, atau sekadar bertukar pikiran di kantin adalah bagian integral dari pendidikan yang membentuk pola pikir yang fleksibel dan terbuka. Lingkungan ini juga menyediakan akses terhadap sumber daya yang tak ternilai: laboratorium untuk eksperimen, perpustakaan dengan jurnal-jurnal ilmiah, studio praktikum untuk berkarya, serta kesempatan untuk terlibat dalam penelitian bersama para ahli di bidangnya. Pengalaman ini melampaui sekadar perolehan ijazah!. Ini adalah proses magang intelektual dimana seseorang belajar menjadi seorang profesional, seorang ilmuwan, atau seorang pemikir. Jaringan pertemanan dan profesional yang dibangun selama masa kuliah pun, menjadi modal sosial yang tak ternilai sepanjang hidup.

Kuliah adalah sebuah proses tempaan karakter dan disiplin. Tuntutan untuk memenuhi tenggat waktu tugas, tekanan dalam menghadapi ujian, keharusan untuk mengelola waktu antara belajar dan kegiatan non-akademik, bahkan pengalaman menghadapi kegagalan. Semua ini membangun ketahanan, tanggung jawab, dan etos kerja. Seseorang yang belajar secara mandiri mungkin memiliki disiplin diri, tetapi ia tidak diuji secara sistematis dalam lingkungan yang kompetitif dan terstruktur. Justru, dalam tekanan di bangku kuliah seseorang belajar tentang batas kemampuannya dan bagaimana cara melampauinya. Proses ini melahirkan kerendahan hati dan intelektual. Semakin banyak belajar, semakin sadar betapa banyaknya yang belum kita ketahui. Ini adalah penangkal dari jebakan “sok tahu” yang sering menghinggapi para “si pintar” nan otodidak.

Meremehkan pendidikan tinggi dengan dalih bahwa ilmu bisa diperoleh di mana saja adalah sebuah kekeliruan. Ya, bolehlah dikatakan informasi ada di mana-mana, tetapi kebijaksanaan, pemahaman mendalam, dan nalar kritis harus ditempa dan diasah. Kuliah bukanlah sekadar tentang mengumpulkan pengetahuan atau mendapatkan selembar ijazah untuk dipajang di dinding. Ia adalah sebuah investasi dalam membangun “arsitektur” pikiran kita. Ia adalah proses mengubah informasi menjadi pemahaman, mengubah pemahaman menjadi kompetensi, dan pada akhirnya, mengubah seorang individu yang pintar menjadi pribadi yang terdidik dan bijaksana. Pernyataan “buat apa kuliah?” bukanlah cerminan kecerdasan, melainkan sebuah pengakuan atas ketidakmampuan melihat perbedaan antara “sekadar tahu” dan “benar-benar paham”. Mengambil pemahaman dari mahfudzat (kalimat mutiara) yang dulu pernah saya pelajari di bangku pondok pesantren: “Man Lam Yadzuq Dzulla al-Ta’allum Saa’ah, Tajarra’a Dzulla al-Jahli Thula Hayaatih” yang artinya “Barangsiapa belum merasakan susahnya menuntut ilmu barang sejenak, ia akan merasakan hinanya kebodohan seumur hidupnya.” Ungkapan ini menegaskan bahwa kesulitan dalam menuntut ilmu adalah harga yang pantas untuk dibayar.

Di belakang Meja Pengabdian, Unikarta Tenggarong.

*) Penulis adalah Dekan FAI Unikarta Tenggarong

KHIDMAT DAN PENUH MAKNA, UNIKARTA GELAR SHOLAT IDUL ADHA 1446 H

FAI.UNIKARTA.AC.ID – Suasana khidmat dan penuh kekhusyukan menyelimuti Masjid Al-Hijrah di lingkungan Kampus Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) pada pelaksanaan Sholat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, Jumat (06/06/2025). Ratusan jamaah yang terdiri dari yayasan, pimpinan universitas, civitas academica, mahasiswa, dan masyarakat sekitar memadati masjid untuk bersama-sama menggemakan takbir dan menunaikan ibadah sunnah muakkadah tersebut.

Pelaksanaan sholat Idul Adha kali ini terasa istimewa dengan keterlibatan penuh dari unsur pimpinan dan mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI). Bertindak sebagai Imam dan Khatib adalah Dekan FAI, H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I. Sementara itu, bertindak sebagai Bilal adalah Permata Dewa, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI).

Dalam sambutannya sebelum sholat dimulai, Rektor Unikarta Prof. Dr. Ir. Ince Raden, M.P. menyampaikan pesan mendalam tentang relevansi ibadah Qurban dalam konteks dunia pendidikan tinggi. Beliau mengajak seluruh jamaah untuk merefleksikan hikmah agung dari kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

“Hikmah terbesar dari ibadah Qurban yang diajarkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah tentang keikhlasan untuk berkorban, mendermakan jiwa dan raga semata-mata karena ketaatan kepada Allah SWT,” ujar Rektor.

Lebih lanjut, Rektor mengkontekstualisasikan makna pengorbanan tersebut ke dalam tugas dan pengabdian di lingkungan kampus. “Dalam konteks pengabdian di Perguruan Tinggi, semangat ini harus kita wujudkan dengan mendermakan bakti kita sebagai kaum terdidik untuk terus meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah kita,” tegasnya.

Senada dengan itu, H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I dalam khutbahnya mengupas pelajaran fundamental mengenai kekuatan iman. Beliau menekankan bahwa salah satu esensi penting dari kisah Nabi Ibrahim adalah tentang prioritas iman di atas logika akal.

“Dalam beragama, ada kalanya kita perlu menempatkan kepasrahan total kepada Allah di atas logika. Sebagaimana kita lihat dalam hukum Islam yang mengenal konsep ta’aqquli (rasional) dan ta’abbudi (dogmatis atau berlandaskan kepatuhan murni),” jelas H. Mubarak.

Ia menjadikan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail sebagai contoh nyata dari konsep ta’abbudi. “Perintah penyembelihan putra Nabi Ibrahim AS adalah contoh nyata ta’abbudi, di mana beliau mengesampingkan rasionalitas dan rasa cinta seorang ayah demi menunjukkan ketaatan penuh kepada Sang Pencipta. Kualitas iman inilah yang mengantarkannya pada gelar Khalilullah (kekasih Allah), sebuah predikat mulia yang lahir dari kepasrahan total,” pungkasnya.

Sholat Idul Adha di Masjid Al-Hijrah dihadiri oleh Ketua YKK Agus Setia Gunawan, S.Sos., M.Si, para Guru Besar, jajaran Dekanat, para pejabat badan, lembaga, dan unit di lingkungan Unikarta, yang berbaur khusyuk bersama mahasiswa dan masyarakat umum. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ritual ibadah tahunan, tetapi juga momentum penting untuk mempererat tali silaturahmi dan meneguhkan kembali nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan dalam menjalankan amanah, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai insan akademis. (Mbr01)

REFLEKSI MILAD KE-31 TAHUN FAI UNIKARTA: MENENUN CITA, MENEGUHKAN CITRA

Oleh: H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I*

Lebih dari tiga dekade perjalanan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) sejak 1 Juni 1994, kini institusi yang kita cintai ini menapaki usia ke-31 tahun. Angka ini, bagi saya bukan sekadar hitungan tahun. Ia adalah sebuah babak baru untuk meneguhkan kembali institusi kita di tengah pusaran zaman yang tak pernah berhenti berubah. Jika ada sebuah ruang hening untuk merenungi sejenak apa yang telah terukir dalam sejarah lembaga ini, sebagai pimpinan di lembaga ini saya ingin mengajak kita semua untuk melihat milad ini sebagai kesempatan emas untuk berkontemplasi, sembari mata dan hati kita tertuju pada cakrawala masa depan yang luas membentang. Layaknya mercusuar yang cahayanya membantu kita mengarahkan ke mana arah berlabuh kapal ‘FAI Unikarta’ ini dengan visi yang lebih jernih dan langkah yang kian mantap.

Begitulah FAI Unikarta di usianya yang ke-31 ini. Kita tengah berada dalam fase di mana pengalaman telah mematangkan jiwa. Telah menempa fakultas ini mengukir beragam prestasi yang membanggakan, namun juga -dan, ini cukup penting untuk direnungi- menyisakan ruang-ruang pembelajaran dari setiap tantangan yang pernah kita hadapi. Kita tak hanya merayakan langkah yang telah ditempuh, tapi lebih dari itu, kita merenungkan makna di setiap jejaknya.

Memaknai Usia FAI Unikarta Ke-31 Tahun
Usia 31 tahun bagi sebuah institusi, seperti halnya manusia, adalah metafora tentang kematangan jiwa. FAI Unikarta rasanya telah melewati fase-fase awal pencarian identitas itu. Kini, kita memasuki tahapan di mana energi kreatifitas berpadu harmonis dengan kearifan yang terkumpul dari pengalaman. Fokus kita perlahan bergeser, dari yang tadinya lebih banyak memikirkan pengembangan internal, kini lebih tertuju pada bagaimana kita bisa memberi kontribusi yang lebih luas dan berdampak nyata bagi sekitar. Identitas yang telah terbentuk ini, kini diuji dan dikukuhkan melalui karya nyata dan jejak manfaat yang berkelanjutan. Ada semacam dorongan dari dalam untuk berkontribusi bagi legacy peradaban, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Tantangan yang datang kini bukan lagi soal “siapa kita?”, melainkan lebih kepada “bagaimana kita?” mengerahkan seluruh potensi yang ada untuk meraih visi besar, sembari terus belajar rendah hati dan beradaptasi. Usia 31 ini adalah momen penting untuk semakin mempertegas identitas FAI Unikarta sebagai lembaga pendidikan Islam, yang melahirkan para intelektual Muslim yang berintegritas serta agen-agen perubahan yang peka terhadap zaman. Lebih dari tiga dekade adalah bekal yang sungguh tak ternilai untuk terus berbenah, meningkatkan kualitas diri, dan memperluas jangkauan kolaborasi kita.

Di usia yang kian matang ini, FAI Unikarta harus berikhtiar untuk semakin kokoh dalam pengelolaan kelembagaan, semakin tajam dalam visi keilmuan, dan semakin nyata sumbangsihnya bagi kemaslahatan umat dan bangsa, khususnya di bumi “Tuah Himba Untung Langgong” Kutai Kartanegara. Ini adalah usia untuk mengukuhkan keberadaan kita, bukan sebagai menara gading yang menjulang sendiri, melainkan sebagai mercusuar yang sinarnya memandu dan membuka jalan menuju masa depan yang (insya Allah) akan jauh lebih gemilang dan penuh makna. Sebuah masa depan di mana nilai-nilai luhur Islam menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan peradaban kita bersama.

Mozaik Tiga Dekade yang Telah Berlalu: Mengimbas Kenangan
Perjalanan kita hingga sampai di titik ini adalah sebuah mozaik yang kaya warna dan cerita. FAI Unikarta, sebagai salah satu denyut nadi di Universitas Kutai Kartanegara, telah dengan bangga melepas generasi-generasi penerus. Mereka kini menjadi individu-individu yang turut memberi warna dan perubahan di berbagai sudut kehidupan masyarakat. Program studi kita, Pendidikan Agama Islam (PAI) telah menjadi tiang kokoh yang menyangga cita-cita, melahirkan SDM yang tak hanya kaya akan ilmu keislaman, tetapi juga tangkas menjawab panggilan zaman.

Merentang tiga dekade FAI Unikarta, dimulai dari rintisan pada tahun 1994, hingga terus berkembang menyongsong tahun 2025. Uraian ini adalah mozaik kisah dari visi, tantangan, adaptasi, dan komitmen terhadap pendidikan tinggi Islam di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dekade Pertama: Perintisan (1994-2004)
Upaya pertama coba dirintis melalui naungan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Ribathul Khail, dengan harapan besar akan binaan langsung dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai. Proposal pun diajukan ke Koordinatoriat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah XI Kalimantan di Banjarmasin. Namun, penantian selama satu semester belum juga membuahkan kabar yang diharapkan. Tak menyerah, sebuah alternatif kemudian dijajaki dengan menggandeng Yayasan Pendidikan Kutai (YPK). Gayung pun bersambut. Proposal yang dilayangkan pada Mei 1995 mendapat respons positif tiga bulan kemudian dari Kopertais. Ada satu catatan penting: jurusan yang dibuka hendaknya tidak serupa dengan yang telah ada di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda. Maka, pilihan jatuh pada Jurusan Syariah dengan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) serta Jurusan Dakwah dengan Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Secara resmi, FAI mulai menapak di bawah YPK pada awal tahun akademik 1994/1995, dikukuhkan melalui keputusan Ketua YPK pada Juni 1994, yang disusul rekomendasi dari Kopertais Wilayah XI Kalimantan pada Juli tahun yang sama.

Langkah penting berikutnya terukir ketika FAI secara resmi menjadi bagian dari Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta). Berdasarkan ketetapan Menteri Agama RI pada April 1996, FAI Unikarta berdiri dengan dua program studi yang telah dirintis: Syariah (PMH) dan Dakwah (KPI). Izin operasional ini pun kemudian diperpanjang pada Juni 2002. Namun, perjalanan di masa-masa awal tak selamanya mulus. Jumlah mahasiswa pada kedua program studi tersebut terasa belum sebanyak yang diharapkan, bahkan cenderung menunjukkan penurunan. Menghadapi tantangan ini, dan atas persetujuan Yayasan Kutai Kartanegara (YKK, sebagai kelanjutan dari YPK) selaku Badan Pengelola serta Kopertais Wilayah XI Kalimantan selaku Pembina, FAI Unikarta mengambil langkah strategis. Pada tahun akademik 2001/2002, dibukalah satu jurusan/program studi baru, yaitu Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Izin penyelenggaraan untuk PAI ini terbit pada Januari 2003. Seiring dengan minat masyarakat yang dirasa kurang terhadap Program Studi PMH dan KPI, sejak tahun akademik 2002/2003, FAI Unikarta memutuskan untuk memusatkan penerimaan mahasiswa baru hanya pada Program Studi PAI. Keputusan ini menandai sebuah fokus baru dalam pengembangan fakultas ke depan.

Dekade Kedua: Peningkatan Kualitas (2005-2014)
Memasuki dekade kedua, FAI Unikarta kian memantapkan fokus seluruh kegiatan pendidikannya pada Program Studi PAI. Berbagai upaya penguatan terus dilakukan, salah satunya adalah memastikan perpanjangan izin penyelenggaraan Program Studi PAI. Hal ini tercermin dari terbitnya persetujuan dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam pada Januari 2008, dan kemudian pembaruan izin pada Februari 2013.

Selain aspek perizinan, FAI Unikarta juga memberikan perhatian yang serius pada penataan program studi guna memperoleh status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Kerja keras ini akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Program Studi PAI untuk pertama kalinya berhasil terakreditasi pada tahun 2011, melalui keputusan BAN-PT pada Februari tahun itu. Pencapaian ini menjadi sebuah momentum penting, pengakuan dari pihak eksternal terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan di FAI Unikarta.

Dekade Ketiga: Pengembangan Berkelanjutan (2015-2025)
Dekade ketiga menjadi saksi dari upaya yang tak pernah surut untuk terus meningkatkan kualitas dan relevansi Program Studi PAI. Komitmen terhadap akreditasi terus dijaga dengan baik. Ini terbukti dengan diperolehnya reakreditasi untuk Program Studi PAI pada tahun 2016, melalui keputusan BAN-PT pada Juni. Upaya untuk menjaga standar mutu ini kembali ditegaskan dengan perolehan akreditasi berikutnya pada tahun 2021, juga melalui keputusan BAN-PT pada bulan Juni. Serangkaian pencapaian akreditasi ini menunjukkan dedikasi FAI Unikarta dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada tahun akademik 2023/2024, FAI Unikarta memperoleh izin pembukaan Program Studi S1 Ekonomi Syariah dari Kementerian Agama RI. Dulu, kami membayangkan kehadiran Program Studi S1 Ekonomi Syariah ini akan menjadi jembatan bagi anak-anak muda yang memimpikan karir di sektor perekonomian namun dibekali pemahaman agama Islam. FAI Unikarta, sebagai rumah baru bagi prodi ini, bertekad sepenuh hati untuk melayani dan memberikan yang terbaik. Ingatan akan diskusi-diskusi alot demi merumuskan langkah strategis untuk meningkatkan mutu Prodi Ekonomi Syariah pun masih segar. Salah satunya, niat tulus untuk membangun jejaring kerja sama dengan berbagai instansi, demi membukakan jalan bagi para Sarjana Ekonomi Syariah kelak, agar mereka tak hanya berilmu, tapi juga siap mengabdikan diri di dunia kerja.

Namun, sejak awal pula, kami sadar akan ada riak-riak tantangan. Yang paling terasa adalah bagaimana meyakinkan masyarakat luas akan arti penting kehadiran lulusan dari prodi ini. Pekerjaan rumah untuk mengedukasi masyarakat itu seolah menjadi bayangan yang terus mengikuti. Oleh karenanya, upaya sosialisasi yang tak kenal lelah, yang menyentuh hati dan pikiran, menjadi sebuah ikhtiar yang tak terelakkan sejak dua tahun lalu. Kami tahu, tak cukup hanya dengan spanduk dan brosur. Perlu ada bisikan-bisikan dari hati ke hati, penjelasan yang gamblang kepada calon mahasiswa, orang tua mereka, hingga para tokoh di dunia usaha dan pemerintahan. Kami membayangkan setiap dosen, setiap pengelola, bahkan mahasiswa angkatan pertama nanti, akan menjadi duta-duta kecil yang dengan bangga menceritakan indahnya Ekonomi Syariah bagi Kutai Kartanegara, dan bagaimana prinsip ini bisa menjadi jawaban atas kerumitan ekonomi zaman ini. Mengedukasi pasar kerja tentang keunikan dan keunggulan lulusan kami, itu pun menjadi agenda yang tak pernah luput dari benak.

Bahkan, dari hari-hari pertama itu, kami sudah merenungkan bagaimana Prodi Ekonomi Syariah Unikarta ini harus memiliki warna tersendiri, berbeda dan memberi nilai lebih. Pikiran untuk meramu kurikulum yang tak hanya kokoh dalam teori ekonomi Islam, tetapi juga sarat dengan contoh nyata, kasus-kasus lokal yang relevan, dan tentu saja, bekal soft skills yang mumpuni, sudah menjadi diskusi hangat. Kami bermimpi untuk sering mengundang para praktisi, menjalin kemitraan erat dengan lembaga keuangan syariah, agar mahasiswa kami bisa merasakan langsung denyut nadi dunia profesional. Semua itu kami angankan, agar kelak, lulusan kami bukan hanya sekadar pencari kerja, melainkan menjadi pelopor, penggerak ekonomi syariah yang berintegritas, yang dengan gagah berani membuktikan baktinya bagi umat dan negeri ini. Kenangan akan semangat awal itulah yang kini terus menyalakan api perjuangan kami.

Menatap hingga usia ke-31 tahun ini, FAI Unikarta terus berbenah dan beradaptasi dengan dinamika pendidikan tinggi serta kebutuhan masyarakat. Perjalanan tiga dekade ini telah membentuk FAI Unikarta menjadi institusi yang matang, dengan fokus yang jelas pada pengembangan pendidikan. Dengan semangat yang terus menyala, FAI Unikarta diharapkan akan terus menyumbangkan lulusan-lulusan yang kompeten dan berintegritas, serta berkontribusi aktif dalam pembangunan sumber daya manusia di Kutai Kartanegara dan sekitarnya. Perjalanan kepemimpinan yang telah silih berganti sebanyak delapan kali sejak berdirinya menunjukkan dinamika organisasi yang terus bergerak maju.

Namun, di tengah simfoni capaian itu, kita juga tak luput dari dialektika tantangan. Persaingan antar perguruan tinggi terasa semakin ketat, menuntut kita untuk melahirkan lulusan yang tak hanya cerdas di atas kertas, tetapi juga mampu beradaptasi dengan cepatnya laju teknologi dan pasar kerja yang kian dinamis. Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) adalah panggilan luhur yang terus mengingatkan kita untuk tak pernah berhenti meningkatkan kualitas. Bagaimana menjaga kurikulum agar tetap relevan dengan kebutuhan, serta bagaimana menjawab ekspektasi masyarakat, menjadi bahan refleksi yang tak pernah selesai untuk dilakukan.

Menenun Cita, Meneguhkan Citra: FAI Unikarta Mengarungi Masa Depan
Di tengah pergulatan antara capaian dan tantangan, harapan tumbuh semakin subur. FAI Unikarta di usia yang ke-31, memimpikan dirinya sebagai pusat pengembangan studi keislaman yang progresif dan inspiratif. Ada kerinduan besar di hati kami para pengelola untuk melahirkan lulusan yang tak hanya cemerlang secara akademik, tetapi juga memiliki keagungan akhlak dan semangat kebangsaan yang berkobar. Bersama Bapak Rektor Unikarta, Prof. Dr. Ir. Ince Raden, MP, kami tak henti-hentinya menyuarakan betapa pentingnya peningkatan wawasan, pengalaman, dan kemampuan lulusan kita dalam menerapkan nilai-nilai luhur pendidikan Islam di era digital yang penuh gejolak ini.

Kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah di depan mata, kita lihat bukan semata sebagai perubahan geografis. IKN adalah kanvas raksasa bagi peradaban baru. FAI Unikarta bertekad untuk tak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi kontributor aktif. Kita ingin menyumbangkan gagasan-gagasan strategis, mempersiapkan putra-putri terbaik yang tidak hanya siap mengisi ruang-ruang di IKN, tetapi juga mampu mewarnainya dengan nilai-nilai Islam yang menyejukkan, yang rahmatan lil ‘alamin. Harapan besar inilah yang menjadi kompas moral dan intelektual kita.

Untuk mewujudkan mimpi besar itu, FAI Unikarta berkomitmen penuh pada perbaikan internal yang tiada henti. Memperkuat tata kelola fakultas itu ibarat membangun fondasi rumah yang kokoh. Meningkatkan kualifikasi dan kompetensi para dosen adalah investasi kita pada sumber daya manusia, jantungnya sebuah institusi. Mengembangkan kurikulum yang responsif terhadap zaman adalah cara kita menjaga agar ilmu yang diajarkan tetap relevan dan membumi. Memperluas jejaring kerjasama adalah cara kita membuka diri dan merangkul dunia.

Inovasi, bagi kami, bukan lagi sekadar pilihan, tetapi sudah harus menjadi bagian dari denyut nadi, dari DNA kita. Berbagai penghargaan atas inovasi pengajaran adalah langkah awal yang membuktikan komitmen ini. Ke depan, kita akan terus berani mencoba hal-hal baru, mendorong batas-batas kemungkinan dalam metode belajar-mengajar, penelitian, dan pengabdian.

Tengah Malam, Di Jantung Peradaban Kutai Kartanegara

*) Penulis adalah Dekan Fakultas Agama Islam Periode 2016-2018/2022-2026