KENORMALAN BARU, KESALEHAN RITUAL, DAN TANTANGAN BER-AMAL JAMA’I DI MASA PANDEMI

FAIUNIKARTA.AC.ID – Tiga bulan telah berlalu sejak awal kemunculan kasus Covid-19 di Indonesia. Virus ini terdeteksi sejak Maret 2020 ketika dua orang WNI dinyatakan terpapar dari seorang WNA berkebangsaan Jepang. Sejak itu, kurva kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dan belum melandai sebagaimana harapan banyak pihak.

Tercatat sejak Covid-19 telah tersebar di 34 provinsi di Indonesia (per 09/04/2020 dengan Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah paling terpapar) hingga kini kasus Covid-19 telah menyentuh angka 49.009 (per 25/06/2020) dan kemungkinan akan terus bertambah. Kondisi ini memberi pemahaman bahwa daya jangkit (infectious power) virus ini tidak boleh dianggap remeh.

Covid-19 memang bukanlah salah satu penyakit paling mematikan dibanding arteri koroner, stroke, infeksi saluran pernapasan, penyakit paru kronik, dan kanker, tetapi Covid-19 patut menjadi atensi banyak kalangan, termasuk umat beragama yang akan menunaikan ibadah agamanya secara berjemaah.

Wa bilkhusus, masyarakat muslim yang sangat terbatasi ruang geraknya untuk menunaikan ibadah salat berjamaah di masjid-masjid, seperti Sholat Jumat.

Protokol kesehatan menjadi alasan wajib bagi umat dalam beribadah, terutama setelah regulasi mengenai hal itu diterbitkan oleh Kementerian Agama dengan Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi. Beleid ini “memaksa” umat beragama untuk patuh dalam bingkai kesalehan beribadah di masa pandemi.

Covid-19 dan Kenormalan Baru

Istilah Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) diresmikan oleh WHO menganulir penamaan sebelumnya “nCoV” dan “Novel Coronavirus Pneumonia/NCP” dari Komisi Kesehatan Nasional China. Ia merupakan varian penyakit saluran pernapasan yang serupa dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) namun berbeda dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala, sehingga sebelum dikenal dengan Covid-19 WHO pernah menyebutnya sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov2). Lebih tendensius, Covid-19 pernah disebut sebagai “Virus Corona Wuhan” karena awal kemunculan dan penyebarannya berasal dari Kota Wuhan, China.

Lebih dari tiga bulan penyebaran Covid-19 di Indonesia, kini kita mengenal istilah “Kenormalan Baru” atau The New Normal dalam istilah WHO. Kenormalan baru adalah cara masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasaan atau perilaku yang baru dalam menjalankan aktivitas keseharian agar mampu terus produktif dan tetap aman dengan cara menerapkan protokol-protokol pencegahan Covid-19.

Menurut WHO penerapan kenormalan baru harus memperhatikan enam poin berikut:

(1) Terkendalinya transmisi Covid-19,

(2) Tersedianya sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni, termasuk mempunyai rumah sakit untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien Covid-19,

(3) Meminimalisir resiko penularan di wilayah dengan kerentanan tinggi, termasuk di panti jompo, fasilitas kesehatan, dan tempat keramaian,

(4) Protokol kesehatan di tempat kerja harus ditetapkan, seperti physical distancing, tersedianya fasilitas mencuci tangan, etiket batuk dan bersin, dan protokol pencegahan lainnya,

(5) Terpantaunya resiko impor penularan Covid-19 dari dari wilayah lain sehingga perlu diperhatikan secara ketat, dan

(6) Masyarakat harus dilibatkan untuk memberi masukan dan pendapat dalam proses transisi ke masa kenormalan baru. Lalu, bagaimana realitasnya?, apakah masyarakat sudah siap dengan kenormalan baru?.

Kenyataannya, saat ini bermunculan klaster-klaster baru penularan Covid-19. Penularan Covid-19 bukan lagi berasal dari impor wilayah lain, melainkan telah terjadi transmisi lokal di tempat kerja, pasar, dan pusat keramaian lainnya.

Nampaknya, momentum kenormalan baru menjadi titik balik dalam kehidupan masyarakat sebelum berlakunya pembatasan sosial (social distancing) yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan lalu.

Kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat dalam langkah-langkah mengantisipasi penyebaran Covid-19 ini melalui protokol kesehatan tengah dipertaruhkan, seperti memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah, sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik, serta menghindari kerumunan.

Kesalehan Ritual: Ibadah Individu dan Anjuran Ribath

Kesalehan berasal dari kata “saleh” yang berarti “taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah”. Memaknai kesalehan dalam bingkai ini membawa sudut pandang kita kepada hubungan seorang hamba dengan Tuhannya (habl min allah).

Kesalehan semacam ini digambarkan dengan kesungguhan seseorang di dalam melaksanakan salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan seterusnya, yang bermakna kesalehen secara individu.

Mengerjakan amal saleh dalam bingkai ritual ini menjadi perbuatan yang dijamin Allah SWT dengan ganjaran surga. Ini tertuang di dalam Alquran Surat Al Baqarah [2]:82, yaitu:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Surat lainnya di dalam Alquran juga menegaskan hal itu sebagaimana disebutkan dalam Al Hajj [22]: 23:

إِنَّ ٱللَّهَ يُدْخِلُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.”

Mengerjakan amal saleh dan senantiasa berjaga-jaga untuk menjalankannya dikategorikan sebagai perbuatan ribath. Imam an-Nawawi RA menjelaskan makna ribath sebagai “menahan atas sesuatu” karena asal makna ribath adalah “al-habsu” yang artinya menahan, seperti seseorang yang menahan nafsu dirinya untuk tetap berada di dalam ketaatan: salat, puasa, dan lain-lain.

Abu Hurairah RA menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW yang berbunyi:

وعن أبي هريرة – رضي الله عنه – : أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( ألا أدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا ، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ )) قَالُوا : بَلَى يا رَسُول اللهِ ؟ قَالَ : (( إسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إلَى المَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ))

“Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?.” Mereka menjawab “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudlu pada sesuatu yang dibenci -seperti keadaan yang sangat dingin, pent-, banyak berjalan ke masjid, dan menunggu salat berikutnya setelah salat. Maka itulah ribath” (Sahih Muslim, Hadis No. 251).

Imam an-Nawawi RA mengatakan bahwa hadis ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk salat merupakan salah satu jenis dari ribath.

Secara historis istilah ribath sesungguhnya lebih dekat dengan kesiagaan seorang muslim untuk berjaga-jaga di perbatasan (di masa perang).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ بَهْرَامٍ الدَّارِمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ السِّمْطِ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ السِّمْطِ عَنْ سَلْمَانَ الْخَيْرِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَى حَدِيثِ اللَّيْثِ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى

Diriwayatkan dari Salman RA dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda”: “Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya dan terbebas dari fitnah” (Sahih Muslim, Hadis No. 3537).

Kesiagaan umat Islam menjadi penting (di masa perang, dulunya) agar tidak lengah dari keganasan musuh. Tetapi, dalam konteks kehidupan umat Islam saat ini kesiagaan umat Islam harus diaktualisasikan ke dalam medan dakwah, berjaga-jaga agar tidak lengah dari propaganda musuh yang tidak kelihatan di depan mata, serta meningkatkan kepekaan akan keganasan musuh yang akan merampas keyakinan umat Islam dengan kenikmatan jasmani yang melalaikan, yang menjauhkan umat dari ketaatan.

Dengan demikian, ribath dengan pengertian siaga di jalan ketaatan kepada Allah SWT senantiasa diharuskan, kapanpun, di manapun, serta dalam situasi apapun. Melakukan ribath sebagai manifestasi kesalehan ritual penting bagi umat Islam agar tidak berada dalam kelemahan karena malas untuk berjaga jaga, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan mampu bertahan di jalan istiqamah yang penuh dengan tantangan di seluruh lininya.

Tantangan Ber-‘Amal Jama’i di Masa Pandemi

Istilah “’Amal Jama’i” secara sempit dapat diartikan sebagai “amalan yang dilakukan secara berjamaah atau yang diatur dalam sebuah kelembagaan.” Di dalam Alquran terdapat ayat yang “memerintahkan” untuk ber-‘amal jama’i atau melakukan kegiatan secara kolektif (bersama) dan bersinergi sehingga terbentuk tim yang tangguh untuk mencapai tujuan bersama. Ayat tersebut berbunyi:

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِهِۦ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَٰنٌ مَّرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Q.S. As-shaff [61]: 4).

Namun, di masa pandemi ini ber-‘amal jama’i dirasakan sangat terbatasi; dalam skala yang sempit, misalnya salat berjamaah di dalam musala, atapun mesjid.

Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 membuat ketentuan yang mengatur kegiatan keagamaan inti dan kegiatan keagamaan sosial di rumah ibadah, berdasarkan situasi riil terhadap pandemi Covid-19 di lingkungan rumah ibadah tersebut, bukan hanya berdasarkan status Zona yang berlaku di daerah.

Meskipun daerah berstatus Zona Kuning, namun bila di lingkungan rumah ibadah tersebut terdapat kasus penularan Covid-19, maka rumah ibadah dimaksud tidak dibenarkan menyelenggarakan ibadah berjamaah/kolektif.

Lebih lengkap, beberapa hal sangat penting diperhatikan dari Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 jika rumah ibadah akan melaksanakan kegiatan ibadah berjamaah/ kolektif maka harus memenuhi standar:

(1) Memiliki  Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman Covid-19 dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/ Kabupaten/ Kota/ Kecamatan sesuai tingkatan rumah ibadah dimaksud, setelah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat bersama Majelis-majelis Agama dan instansi terkait di daerah masing-masing;

(2) Rumah ibadah berkapasitas daya tampung besar, jika mayoritas penggunanya berasal dari luar kawasan/ lingkungannya maka mengajukan surat keterangan aman Covid-19 langsung kepada pimpinan daerah sesuai tingkatan;

(3) Kewajiban pengurus atau penanggungiawab rumah ibadah:

(a) Menyiapkan petugas untuk melakukan dan mengawasi penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah;

(b) Melakukan pembersihan dan desinfeksi secara berkala di area rumah ibadah;

(c) Membatasi jumlah pintu/jalur keluar masuk rumah ibadah guna memudahkan penerapan dan pengawasan protokol kesehatan;

(d) Menyediakan fasilitas cuci tangan/ sabun, hand sanitizer di pintu masuk dan pintu keluar rumah ibadah;

(e) Menyediakan alat pengecekan suhu di pintu masuk bagi seluruh pengguna rumah ibadah. Jika ditemukan pengguna rumah ibadah dengan suhu > 37,5 oC (2 kali pemeriksaan dengan jarak 5 menit), tidak diperkenankan memasuki area rumah ibadah;

(f) Menerapkan pembatasan jarak dengan memberikan tanda khusus di lantai/kursi, minimal jarak l meter;

(g) Melakukan pengaturan jumlah jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan, untuk memudahkan pembatasan jaga jarak;

(h) Mempersingkat waktu pelaksanaan ibadah tanpa mengurangi ketentuan kesempurnaan beribadah; (i) Memasang imbauan penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah pada tempat-tempat yang mudah terlihat;

(j) Membuat surat pernyataan kesiapan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan; dan

(k) Memberlakukan penerapan protokol kesehatan secara khusus bagi jemaah tamu yang datang dari luar lingkungan rumah ibadah;

(4) Kewajiban masyarakat yang akan melaksanakan ibadah di rumah ibadah:

(a) Jemaah dalam kondisi sehat;

(b) Meyakini bahwa rumah ibadah yang digunakan telah memiliki Surat Keterangan aman Covid-19 dari pihak yang berwenang;

(c) Menggunakan masker/ masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah; (d) Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer; (e) Menghindari kontak fisik, seperti bersalaman atau berpelukan;

(f) Menjaga jarak antar jemaah minimal 1 (satu) meter;

(g) Menghindari berdiam lama di rumah ibadah atau berkumpul di area rumah ibadah, selain untuk kepentingan ibadah yang wajib;

(h) Melarang beribadah di rumah ibadah bagi anak-anak dan warga lanjut usia yang rentan tertular penyakit, serta orang dengan sakit bawaan yang berisiko tinggi terhadap Covid-19;

(i) Ikut peduli terhadap penerapan pelaksanaan protokol kesehatan di rumah ibadah sesuai dengan ketentuan.

Menyinggung keutamaan salat berjamaah, Alquran menegaskan:

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At Taubah (9):18).

Abu Hurairah pun pernah menyebutkan hadis dari Rasulullah SAW tentang ancaman bagi mereka yang lalai berjamaah di masjid. Rasulullah bersabda:

“Sungguh aku berkeinginan menyuruh para pemuda supaya mempersiapkan kayu bakar, kemudian aku menyuruh seseorang untuk mengimami orang-orang, lalu rumah-rumah sekaligus para penghuninya (yang tidak menghadiri salat jamaah) supaya dibakar.” (Sahih Muslim, Hadis No. 1042).

Ancaman Rasulullah ini memberi makna betapa pentingnya melakukan salat berjamaah. Namun, dalam konteks aturan negara di atas (Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020), ketentuan Nash nampaknya “terbatasi” oleh situasi pandemi. Padahal, kaidah fiqh jelas-jelas menegaskan: “Al Nash Muqaddam ‘ala al Zhahir” artinya “Petunjuk Nash lebih didahulukan daripada petunjuk zahir.”

Lalu, bagaimana argumentasinya?. Sesungguhnya MUI sebagai lembaga fatwa telah menuntaskan hal ini dalam Fatwa MUI No. 14/2020 tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Diktum kedua angka 3, 4, 5, dan 6 dalam fatwa itu menegaskan bahwa orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(a) Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya;

(b)  Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun;

(4) Dalam kondisi penyebaran Covid -19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid -19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim;

(5). Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19; dan

(6) Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.

Meskipun polemik ber-‘amal jama’i nampaknya telah dituntaskan dengan fatwa MUI di atas, tetapi pertanyaan berikutnya boleh untuk direnungkan, ataupun dicari jawaban pamungkasnya kemudian muncul: Sudah siapkah umat Islam ber-‘amal jama’i menampilkan kembali kesalehan ritual (sebagai pondasi kesalehan sosial), sembari beradaptasi dalam suasana kenormalan baru?.

Oleh : H. Mubarak, S.Pd.I,. M.Pd.I

Dosen

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *