KENORMALAN BARU, KESALEHAN RITUAL, DAN TANTANGAN BER-AMAL JAMA’I DI MASA PANDEMI

FAIUNIKARTA.AC.ID – Tiga bulan telah berlalu sejak awal kemunculan kasus Covid-19 di Indonesia. Virus ini terdeteksi sejak Maret 2020 ketika dua orang WNI dinyatakan terpapar dari seorang WNA berkebangsaan Jepang. Sejak itu, kurva kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dan belum melandai sebagaimana harapan banyak pihak.

Tercatat sejak Covid-19 telah tersebar di 34 provinsi di Indonesia (per 09/04/2020 dengan Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah paling terpapar) hingga kini kasus Covid-19 telah menyentuh angka 49.009 (per 25/06/2020) dan kemungkinan akan terus bertambah. Kondisi ini memberi pemahaman bahwa daya jangkit (infectious power) virus ini tidak boleh dianggap remeh.

Covid-19 memang bukanlah salah satu penyakit paling mematikan dibanding arteri koroner, stroke, infeksi saluran pernapasan, penyakit paru kronik, dan kanker, tetapi Covid-19 patut menjadi atensi banyak kalangan, termasuk umat beragama yang akan menunaikan ibadah agamanya secara berjemaah.

Wa bilkhusus, masyarakat muslim yang sangat terbatasi ruang geraknya untuk menunaikan ibadah salat berjamaah di masjid-masjid, seperti Sholat Jumat.

Protokol kesehatan menjadi alasan wajib bagi umat dalam beribadah, terutama setelah regulasi mengenai hal itu diterbitkan oleh Kementerian Agama dengan Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi. Beleid ini “memaksa” umat beragama untuk patuh dalam bingkai kesalehan beribadah di masa pandemi.

Covid-19 dan Kenormalan Baru

Istilah Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) diresmikan oleh WHO menganulir penamaan sebelumnya “nCoV” dan “Novel Coronavirus Pneumonia/NCP” dari Komisi Kesehatan Nasional China. Ia merupakan varian penyakit saluran pernapasan yang serupa dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) namun berbeda dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala, sehingga sebelum dikenal dengan Covid-19 WHO pernah menyebutnya sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov2). Lebih tendensius, Covid-19 pernah disebut sebagai “Virus Corona Wuhan” karena awal kemunculan dan penyebarannya berasal dari Kota Wuhan, China.

Lebih dari tiga bulan penyebaran Covid-19 di Indonesia, kini kita mengenal istilah “Kenormalan Baru” atau The New Normal dalam istilah WHO. Kenormalan baru adalah cara masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasaan atau perilaku yang baru dalam menjalankan aktivitas keseharian agar mampu terus produktif dan tetap aman dengan cara menerapkan protokol-protokol pencegahan Covid-19.

Menurut WHO penerapan kenormalan baru harus memperhatikan enam poin berikut:

(1) Terkendalinya transmisi Covid-19,

(2) Tersedianya sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni, termasuk mempunyai rumah sakit untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien Covid-19,

(3) Meminimalisir resiko penularan di wilayah dengan kerentanan tinggi, termasuk di panti jompo, fasilitas kesehatan, dan tempat keramaian,

(4) Protokol kesehatan di tempat kerja harus ditetapkan, seperti physical distancing, tersedianya fasilitas mencuci tangan, etiket batuk dan bersin, dan protokol pencegahan lainnya,

(5) Terpantaunya resiko impor penularan Covid-19 dari dari wilayah lain sehingga perlu diperhatikan secara ketat, dan

(6) Masyarakat harus dilibatkan untuk memberi masukan dan pendapat dalam proses transisi ke masa kenormalan baru. Lalu, bagaimana realitasnya?, apakah masyarakat sudah siap dengan kenormalan baru?.

Kenyataannya, saat ini bermunculan klaster-klaster baru penularan Covid-19. Penularan Covid-19 bukan lagi berasal dari impor wilayah lain, melainkan telah terjadi transmisi lokal di tempat kerja, pasar, dan pusat keramaian lainnya.

Nampaknya, momentum kenormalan baru menjadi titik balik dalam kehidupan masyarakat sebelum berlakunya pembatasan sosial (social distancing) yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan lalu.

Kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat dalam langkah-langkah mengantisipasi penyebaran Covid-19 ini melalui protokol kesehatan tengah dipertaruhkan, seperti memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah, sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik, serta menghindari kerumunan.

Kesalehan Ritual: Ibadah Individu dan Anjuran Ribath

Kesalehan berasal dari kata “saleh” yang berarti “taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah”. Memaknai kesalehan dalam bingkai ini membawa sudut pandang kita kepada hubungan seorang hamba dengan Tuhannya (habl min allah).

Kesalehan semacam ini digambarkan dengan kesungguhan seseorang di dalam melaksanakan salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan seterusnya, yang bermakna kesalehen secara individu.

Mengerjakan amal saleh dalam bingkai ritual ini menjadi perbuatan yang dijamin Allah SWT dengan ganjaran surga. Ini tertuang di dalam Alquran Surat Al Baqarah [2]:82, yaitu:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Surat lainnya di dalam Alquran juga menegaskan hal itu sebagaimana disebutkan dalam Al Hajj [22]: 23:

إِنَّ ٱللَّهَ يُدْخِلُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.”

Mengerjakan amal saleh dan senantiasa berjaga-jaga untuk menjalankannya dikategorikan sebagai perbuatan ribath. Imam an-Nawawi RA menjelaskan makna ribath sebagai “menahan atas sesuatu” karena asal makna ribath adalah “al-habsu” yang artinya menahan, seperti seseorang yang menahan nafsu dirinya untuk tetap berada di dalam ketaatan: salat, puasa, dan lain-lain.

Abu Hurairah RA menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW yang berbunyi:

وعن أبي هريرة – رضي الله عنه – : أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( ألا أدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا ، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ )) قَالُوا : بَلَى يا رَسُول اللهِ ؟ قَالَ : (( إسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إلَى المَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ))

“Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?.” Mereka menjawab “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudlu pada sesuatu yang dibenci -seperti keadaan yang sangat dingin, pent-, banyak berjalan ke masjid, dan menunggu salat berikutnya setelah salat. Maka itulah ribath” (Sahih Muslim, Hadis No. 251).

Imam an-Nawawi RA mengatakan bahwa hadis ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk salat merupakan salah satu jenis dari ribath.

Secara historis istilah ribath sesungguhnya lebih dekat dengan kesiagaan seorang muslim untuk berjaga-jaga di perbatasan (di masa perang).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ بَهْرَامٍ الدَّارِمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ السِّمْطِ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ السِّمْطِ عَنْ سَلْمَانَ الْخَيْرِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَى حَدِيثِ اللَّيْثِ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى

Diriwayatkan dari Salman RA dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda”: “Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya dan terbebas dari fitnah” (Sahih Muslim, Hadis No. 3537).

Kesiagaan umat Islam menjadi penting (di masa perang, dulunya) agar tidak lengah dari keganasan musuh. Tetapi, dalam konteks kehidupan umat Islam saat ini kesiagaan umat Islam harus diaktualisasikan ke dalam medan dakwah, berjaga-jaga agar tidak lengah dari propaganda musuh yang tidak kelihatan di depan mata, serta meningkatkan kepekaan akan keganasan musuh yang akan merampas keyakinan umat Islam dengan kenikmatan jasmani yang melalaikan, yang menjauhkan umat dari ketaatan.

Dengan demikian, ribath dengan pengertian siaga di jalan ketaatan kepada Allah SWT senantiasa diharuskan, kapanpun, di manapun, serta dalam situasi apapun. Melakukan ribath sebagai manifestasi kesalehan ritual penting bagi umat Islam agar tidak berada dalam kelemahan karena malas untuk berjaga jaga, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan mampu bertahan di jalan istiqamah yang penuh dengan tantangan di seluruh lininya.

Tantangan Ber-‘Amal Jama’i di Masa Pandemi

Istilah “’Amal Jama’i” secara sempit dapat diartikan sebagai “amalan yang dilakukan secara berjamaah atau yang diatur dalam sebuah kelembagaan.” Di dalam Alquran terdapat ayat yang “memerintahkan” untuk ber-‘amal jama’i atau melakukan kegiatan secara kolektif (bersama) dan bersinergi sehingga terbentuk tim yang tangguh untuk mencapai tujuan bersama. Ayat tersebut berbunyi:

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِهِۦ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَٰنٌ مَّرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Q.S. As-shaff [61]: 4).

Namun, di masa pandemi ini ber-‘amal jama’i dirasakan sangat terbatasi; dalam skala yang sempit, misalnya salat berjamaah di dalam musala, atapun mesjid.

Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 membuat ketentuan yang mengatur kegiatan keagamaan inti dan kegiatan keagamaan sosial di rumah ibadah, berdasarkan situasi riil terhadap pandemi Covid-19 di lingkungan rumah ibadah tersebut, bukan hanya berdasarkan status Zona yang berlaku di daerah.

Meskipun daerah berstatus Zona Kuning, namun bila di lingkungan rumah ibadah tersebut terdapat kasus penularan Covid-19, maka rumah ibadah dimaksud tidak dibenarkan menyelenggarakan ibadah berjamaah/kolektif.

Lebih lengkap, beberapa hal sangat penting diperhatikan dari Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020 jika rumah ibadah akan melaksanakan kegiatan ibadah berjamaah/ kolektif maka harus memenuhi standar:

(1) Memiliki  Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman Covid-19 dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/ Kabupaten/ Kota/ Kecamatan sesuai tingkatan rumah ibadah dimaksud, setelah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat bersama Majelis-majelis Agama dan instansi terkait di daerah masing-masing;

(2) Rumah ibadah berkapasitas daya tampung besar, jika mayoritas penggunanya berasal dari luar kawasan/ lingkungannya maka mengajukan surat keterangan aman Covid-19 langsung kepada pimpinan daerah sesuai tingkatan;

(3) Kewajiban pengurus atau penanggungiawab rumah ibadah:

(a) Menyiapkan petugas untuk melakukan dan mengawasi penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah;

(b) Melakukan pembersihan dan desinfeksi secara berkala di area rumah ibadah;

(c) Membatasi jumlah pintu/jalur keluar masuk rumah ibadah guna memudahkan penerapan dan pengawasan protokol kesehatan;

(d) Menyediakan fasilitas cuci tangan/ sabun, hand sanitizer di pintu masuk dan pintu keluar rumah ibadah;

(e) Menyediakan alat pengecekan suhu di pintu masuk bagi seluruh pengguna rumah ibadah. Jika ditemukan pengguna rumah ibadah dengan suhu > 37,5 oC (2 kali pemeriksaan dengan jarak 5 menit), tidak diperkenankan memasuki area rumah ibadah;

(f) Menerapkan pembatasan jarak dengan memberikan tanda khusus di lantai/kursi, minimal jarak l meter;

(g) Melakukan pengaturan jumlah jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan, untuk memudahkan pembatasan jaga jarak;

(h) Mempersingkat waktu pelaksanaan ibadah tanpa mengurangi ketentuan kesempurnaan beribadah; (i) Memasang imbauan penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah pada tempat-tempat yang mudah terlihat;

(j) Membuat surat pernyataan kesiapan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan; dan

(k) Memberlakukan penerapan protokol kesehatan secara khusus bagi jemaah tamu yang datang dari luar lingkungan rumah ibadah;

(4) Kewajiban masyarakat yang akan melaksanakan ibadah di rumah ibadah:

(a) Jemaah dalam kondisi sehat;

(b) Meyakini bahwa rumah ibadah yang digunakan telah memiliki Surat Keterangan aman Covid-19 dari pihak yang berwenang;

(c) Menggunakan masker/ masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah; (d) Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer; (e) Menghindari kontak fisik, seperti bersalaman atau berpelukan;

(f) Menjaga jarak antar jemaah minimal 1 (satu) meter;

(g) Menghindari berdiam lama di rumah ibadah atau berkumpul di area rumah ibadah, selain untuk kepentingan ibadah yang wajib;

(h) Melarang beribadah di rumah ibadah bagi anak-anak dan warga lanjut usia yang rentan tertular penyakit, serta orang dengan sakit bawaan yang berisiko tinggi terhadap Covid-19;

(i) Ikut peduli terhadap penerapan pelaksanaan protokol kesehatan di rumah ibadah sesuai dengan ketentuan.

Menyinggung keutamaan salat berjamaah, Alquran menegaskan:

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At Taubah (9):18).

Abu Hurairah pun pernah menyebutkan hadis dari Rasulullah SAW tentang ancaman bagi mereka yang lalai berjamaah di masjid. Rasulullah bersabda:

“Sungguh aku berkeinginan menyuruh para pemuda supaya mempersiapkan kayu bakar, kemudian aku menyuruh seseorang untuk mengimami orang-orang, lalu rumah-rumah sekaligus para penghuninya (yang tidak menghadiri salat jamaah) supaya dibakar.” (Sahih Muslim, Hadis No. 1042).

Ancaman Rasulullah ini memberi makna betapa pentingnya melakukan salat berjamaah. Namun, dalam konteks aturan negara di atas (Surat Edaran Menteri Agama No. 15/2020), ketentuan Nash nampaknya “terbatasi” oleh situasi pandemi. Padahal, kaidah fiqh jelas-jelas menegaskan: “Al Nash Muqaddam ‘ala al Zhahir” artinya “Petunjuk Nash lebih didahulukan daripada petunjuk zahir.”

Lalu, bagaimana argumentasinya?. Sesungguhnya MUI sebagai lembaga fatwa telah menuntaskan hal ini dalam Fatwa MUI No. 14/2020 tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Diktum kedua angka 3, 4, 5, dan 6 dalam fatwa itu menegaskan bahwa orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(a) Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya;

(b)  Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun;

(4) Dalam kondisi penyebaran Covid -19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid -19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim;

(5). Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19; dan

(6) Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.

Meskipun polemik ber-‘amal jama’i nampaknya telah dituntaskan dengan fatwa MUI di atas, tetapi pertanyaan berikutnya boleh untuk direnungkan, ataupun dicari jawaban pamungkasnya kemudian muncul: Sudah siapkah umat Islam ber-‘amal jama’i menampilkan kembali kesalehan ritual (sebagai pondasi kesalehan sosial), sembari beradaptasi dalam suasana kenormalan baru?.

Oleh : H. Mubarak, S.Pd.I,. M.Pd.I

Dosen

BIJAK DALAM MENYIKAPI HIDUP

Wakil Rektor II/Dosen FAI Unikarta

Oleh Misran, S.Ag.,M.Pd.I
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kehidupan kerap kali memberikan kejutan dalam perjalanannya. Terkadang kita menemukan kebahagiaan dalam satu waktu, namun bisa juga seketika hal itu berubah menjadi satu hal menyedihkan. Tentu sebagai manusia kita tidak bisa memperediksi kapan hal tersebut akan terjadi. Tetapi mungkin kita bisa mengantisipasi dengan lebih bijak dalam membuat keputusan.
Mengambil sebuah keputusan dalam hidup, tentu perlu dipertimbangkan secara matang. Kalau kita terlalu gegabah, bisa jadi malah membawa kita ke arah yang salah.
Panorama kehidupan beragam wacana dan dinamika…Akan sangat mudah kita melihat kecederungan manusia yang merespon dinamika itu dengan berbagai sudut pandang…
Ada yang melihat dengan disiplin keilmuan, ada pula yang melihat dengan pengalamannya, bahkan ada yang mencoba dengan pendekatan filosofis…
Tetapi sesungguhnya adalah hal yang naif ketika kita mengkesampingkan nilai spiritual dalam menganalisa berbagai problematika.
Oleh karena itu perlu adanya motivasi dalam mengambil keputusan yang bijak sehingga akal fikiran penting digunakan untuk menelaah pesan spiritual dalam meluruskan pandangn dalam menjalani realita kehidupan, sehingga isu dan wacana tidak berpengaruh dalam segala tindakan kita.
Tetaplah pada aturan universal sang sutradara pengatur sekenario kehidupan, hanya yang dibutuhkan adalah seberapa yakin kita terhadap pemahaman spiritual yang kita miliki?…
Firman Allah yang artinya :
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad:36).
Bila manusia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan nilai2 spiritual dalam kehidupan…biarpun new normal tak diterapkan, yakinlah kehidupan akan tetap baik2 saja.
Sisihkan gelombang-gelombang kerisauan dengan kekuatan kesabaran dan keyakinan(Ali bin Abi Thalib).
Wallahualam bissawab.

HIKMAH IBADAH PUASA

Setiap ibadah pasti mempunyai hikmah dan tujuan ibadah shalat misalnya, dia menjadikan pelakunya menjadi orang yang senantiasa dekat kepada Allah dan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.

Demikian pula ibadah puasa di bulan suci Ramadan, di dalamnya mengandung hikmah yang bermacam-macam, berbagai manfaat yang sangat beragam, untuk dapat kita jadikan pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Marilah kita coba mengungkap sedikit di antara sekian banyak hikmah ibadah shaum/ puasa pada bulan suci Ramadhan dengan harapan agar kualitas ibadah shaum/puasa kita semakin baik dan akhirnya memperoleh hikmah-hikmah yang terkandung dalam keutamaan bulan suci Ramadhan tersebut.

Hikmah yang pertama puasa dapat melatih jiwa dan watak kita untuk selalu memelihara amanah, sebab puasa adalah amanah Allah yang wajib kita kerjakan dan laksanakan, yang kelak akan diminta pertanggungjawaban.

Puasa juga sebagai tanda syukur kita kepada Allah karena hakekatnya semua ibadah mengandung arti berterima kasih atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita.

Hikmah yang kedua puasa juga menempa jiwa kita agar mempunyai kekuatan dan daya tahan yang tangguh, dalam menghadapi berbagai penderitaan karena di saat puasa kita pun dapat merasakan betapa sakit dan pedihnya perut yang kosong keroncongan, disitulah kita dapat mengukur bagaimana susahnya seorang fakir miskin sepanjang masa, yang merasakan ngilunya perut akibat kelaparan dan kekurangan makanan, dan secara tidak langsung mendidik perasaan belas kasih kita terhadap fakir miskin.

Yang ketiga hikmah puasa juga mengurangi sifat rakus dan tamak terhadap makanan dan minuman di mana sifat tersebut termasuk dalam sifat-sifat bahimiah atau sifat hewan yang selalu ingin menang sendiri dan dengan berpuasa dapat menimbulkan sifat-sifat insaniah atau sifat kemanusiaan yang senantiasa tulus untuk berbagi terhadap sesama.

Hikmah lainnya ibadah puasa juga dapat mengekang hawa nafsu keduniaan kita sehingga dapatlah selalu mendekatkan diri kepada yang maha Rahman, dan pada akhirnya kita termasuk golongan orang-orang yang muqorrobin dekat kepada Tuhan.

Hikmah yang terakhir adalah dengan menjalankan ibadah puasa akan meningkatkan kesadaran, bahwa kita manusia adalah makhluk lemah yang selalu berhajat kepada kepentingan yang bermacam-macam, juga dapat membiasakan kita bersikap sabar baik dalam pengendalian diri maupun dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kita sebagai ‘abdi.

Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al-Jaili dalam kitab beliau ” insan Kamil fi ma’rifati awakhir wal awa il” mengemukakan bahwa hakikat puasa adalah isyarat untuk mencegah diri dari kepentingan-kepentingan Basyariah ( kemanusiaan) berikut mensosialisasikan sifat-sifat Shamdaniah (ketuhanan) dimana Tuhan adalah tumpuan segala-galanya, semakin jauh orang mampu menahan diri dari kepentingan kepentingan kemanusiaan dirinya semakin jelas pengaruh Tuhan padanya semakin eksis dia mengekang keliaran nafsu pada dirinya, semakin tampak tajalli Tuhan dalam dirinya puasa yang dilakukan sebulan penuh merupakan isyarat Al faqr (rasa butuh) akan hajat hidup selama hayat dikandung badan, dan durasi waktu puasa satu bulan penuh merupakan metafor bahwa selama manusia hidup di alam dunia selama itu pula dia merasa butuh akan hidup dan kehidupan kepada-Nya yang Maha menggenggam segala urusan, esensi durasi waktu puasa menunjukkan masa ketergantungan manusia kepada Tuhannya sehingga tidak logis seorang manusia mengatakan aku tidak butuh kepada Tuhan sebab nilai-nilai kemanusiaan yang nihil dari nilai-nilai ketuhanan adalah hampa, dan sipengklaimnya adalah penipu, tidak saja menipu dirinya tapi juga menipu Tuhannya.

Semoga kita dapat melaksanakan rangkaian ibadah puasa tahun ini lengkap dengan qiyamullail pada malam harinya mengisi waktu senggangnya dengan membaca Alquran sehingga ibadah kita menjadi sempurna.

Amiin

SOFIAN EFENDI, S.Ag., M.Pd

Dosen

BENCANA, HAKIKAT, DAN PENYEBABNYA

FAIUNIKARTA.AC.ID – Sahabat yang dirahmati Allah,…

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai bencana datang silih berganti, menimpa negeri ini. Bencana itu tidak saja bersumber dari alam ciptaan Allah yang nampak kokoh perkasa seperti laut, yang membawa gelombang tsunami, gunung berapi yang menumpahkan lahar panas, bumi yang ketika gempa dan longsor telah menghanyutkan dan mengubur apa saja yang ada di atasnya, serta air yang membawa material dan gelombang banjir besar, namum juga yang bersumber dari makhluk Allah yang sangat kecil, yang tidak terlihat oleh mata telanjang, seperti virus Corona, yang membawa wabah penyakit mematikan.

Bencana yang terjadi di negeri ini secara bertubi-tubi dan datang tiba-tiba tentu membuat kita bertanya-tanya apakah yang menyebabkan semuanya itu terjadi? Jika kita perhatikan, ada dua cara pandang manusia terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas bumi ini.

Pertama, cara pandang orang yang tidak percaya kepada Allah atau kepada agama. Atau cara pandang orang sekuler, yang memisahkan segala hal yang terjadi dalam kehidupan dunia dengan urusan agama (dimensi vertikal spiritual). Menurut paham kelompok ini, bencana alam merupakan sebuah proses dari fenomena alam, tanpa ada hubungan dengan perbuatan manusia atau takdir Tuhan.

Bencana itu terjadi karena memang yang harus terjadi menurut hukum keharusan alam. Ini merupakan pendapat dan pemahaman bencana alam dari pandangan sekular atau pemahaman orang yang tidak percaya dengan kewujudan dan kekuasaan Tuhan (paham Atheis ) yang banyak diikuti oleh masyarakat pada dewasa ini.

Kedua, cara pandang orang yang beriman kepada Allah atau kepada agama. Kelompok ini memandang bahwa, apa saja yang terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk peristiwa alam dan bencana, tidak bisa dilepaskan dari “urusan agama”. Dalam arti ada korelasinya dengan perilaku manusia yang bersinggungan dengan ketentuan-ketentuan agama dan akhlak (etika).

Di luar kedua paham di atas (paham atheis-sekuler dan paham penganut agama), ada paham ketiga, yang berpendapat bahwa bencana alam itu sebagai tanda marahnya alam terhadap manusia, sehingga untuk memadamkan kemarahan alam tersebut, diperlukan sesajen (sajian khas untuk alam)  dan memberikan sesuatu sebagai persembahan kepada alam, seperti memberikan kepala sapi, kepada laut atau gunung, dan lain sebagainya. Ini adalah pandangan orang yang masih terpengaruh dengan ajaran aninisme atau dinamisme dan merupakan perbuatan syirik.

Sahabat yang dirahmati Allah,…

Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap masalah bencana tersebut? Sebelum lebih lanjut menguraikan hal ini, penting kami sampaikan bahwa secara garis besar, jenis bencana dibagi menjadi dua bagian yaitu bencana alam dan bencana non alam. Bencana alam terjadi karena faktor alama seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung, kekeringan dan lain-lain.

Sedangkan bencana non alam adalah bencana yang disebabkan karena manusia, seperti kecelakaan, aksi teror, bom, konflik sosial, dan lain-lain. Selain itu ada juga bencana yang disebabkan karena faktor alam tetapi dipengaruhi perbuatan manusia, seperti tanah longsor karena penebangan hutan secara liar atau banjir yang terjadi karena sumbatan sampah di permukaan sungai.

Ketika terjadi bencana alam, paling tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya bencana tersebut. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan. Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. Ketiga, Sunnatullah dalam arti gejala alam atau hukum alam yang biasa terjadi. Untuk kasus Indonesia ketiga analisa tersebut semuanya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya.

Jika bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini bisa saja benar, sebab kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan, orang-orang miskin diterlantarkan. Maka ingatlah firman Allah:

“Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (Q.S. Al-Isra’: 16).

Apabila dikaitkan dengan ujian, bisa jadi sebagai ujian kepada bangsa ini, khususnya kaum Muslimin agar semakin kuat dan teguh keimanannya dan berani untuk menampakkan identitasnya. Sebagaimana firman Allah:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diujilagi?”(Q.S. Al-Ankabut:2).

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan gejala alam pun besar kemungkinannya juga ada, karena bumi Nusantara memang berada di bagian  bumi yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung.

Bahkan, secara keseluruhan bumi yang ditempati manusia ini rawan akan terjadinya bencana, sebab hukum alam yang telah ditetapkan Allah SwT atas bumi ini dengan berbagai hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti pergerakan gunung dengan  berbagai konsekuensinya.

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.( QS. Al-Naml: 88).

Di samping harus tetap bersikap optimis dan berupaya mengenali hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan atas alam ini, adalah bijak untuk terus melakukan introspeksi terhadap keseriusan kita dalam menaati perintah-perintah Allah SwT dan menghitung-hitung kedurhakaan kita kepada-Nya.

Sabda Rasulullah saw yang diriwayat kan Imam Tirmidzi berikut ini patut menjadi renungan bagi bangsa ini atas berbagai bencana yang menimpa secara bertubi-tubi. Dari Abu Hurairah ra berkata; bersabda Rasulullah saw:

“Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) di masjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi’in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).”(HR. Tirmidzi).

Sahabat yang dirahmati Allah,..

Jika kita cermati hampir semua penyebab bencana yang disebut Rasulullah saw dalam Hadits tersebut tengah melanda bangsa ini. Pertama, masalah kepemimpinan, amanah dan penguasa. Jika suatu bangsa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, baik (shalih), cakap/cerdas dan kompeten (qawiy) dan amanah (amin), maka kebangkrutan dan kehancuran sebuah  bangsa tinggal menunggu waktu saja. Sebab, pemimpin seperti itu menganggap kekuasaan bukan sebagai amanah untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagirakyatnya, tetapi sebagai sarana dan kesempatan untuk memperkaya diri dan  bersenang-senang.

Akibatnya, perilaku korupsi merajalela, penindasan dan pemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah, dan kebangkrutan moral menjadi hal yang sangat sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, memilih pemimpin atau pejabat harus hatihati dan selektif, sebab mereka akan memanggul amanah yang sangat berat. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat)”. ( H.R. Al-Bukhari).

Kedua, orang kaya tidak menunaikan kewajibannya. Zakat adalah kewajiban minimal bagi orang kaya untuk peduli kepada orang miskin. Jika kewajiban minimal ini tidak ditunaikan, maka kegoncangan social tdak bisa ditawar-tawar lagi, karena tindakan orang miskin yang terampas haknya tidak bisa dipersalahkan. Sehingga adzab Allah menjadi keharusan (Al-Isra’: 16). Demikian intisari istinbath Amirul Mu’minin Umar bin Khathab ra yang didukung Ibnu Hazm rahimallahu ta’ala.

Ketiga, hilangnya ketulusan dan kebijakan para ulama dan cendekiawan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa dan pengusaha (orang kaya) itu akan menjadi-jadi jika ulama/ cendekiawan sebagai pilar penting suatu bangsa yang bertugas untuk memberi peringatan dan beroposisi secara loyal terseret ke dalam kepentingan pragmatis para penguasa dan pengusaha tersebut.

Aktualisasinya bisa berwujud pada terbitnya fatwa-fatwa pesanan yang tidak memihak orang-orang lemah dan tertindas serta opini yang menyesatkan dan membingungkan umat sebagai akibat terialu banyak menerima pemberian yang tidak jelas dan sering mengemis pada musuh-musuh Islam dan bangsa pada umumnya.

Karena ketulusan telah hilang, para ulama pun menjadi orang yang membuat gaduh di masjid dengan perdebatan dan berbantahan mengenai hal yang sudah diputuskan dengan jelas oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, bukan hanya perintah Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperhatikan dan disia-siakan. Akan tetapi para sahabat Rasul dan generasi mereka sesudahnya (ulama dari kalangan tabi’in dantabi’tabi’in) sebagai generasiterbaik umat Muhammad saw menjadi bahan olok-olok dan ejekan dalam perbincangan mereka dengan merendahkan dan mencampakkan kezuhudan dan hasil ijtihad mereka yang cemerlang.

Sahabat yang dirahmati Allah,…

Jika ketiga pilar bangsa penguasa, pengusaha dan ulama atau cendekiawan sudah tidak menjalankan fungsi yang semestinya, maka kebangkrutan moral yang lain seperti durhaka pada orang tua, suami yang manut pada hawa nafsu istrinya, mewabahnya khamr (narkoba) dan kesenangan pada hiburan yang memancing keliaran syahwat menjadi pemandangan yang biasa.

Pada saat itu ”kemarahan” Tuhan dipastikan tidak bisa dihalang-halangi untuk menghancurkan bangsa yang durhaka. (Disarikan dari berbagai sumber, bersambung…)

Oleh : Amin Nasrullah, S.Ag,. M.Ag

Dosen

BERSIAPLAH MENYAMBUT RAMADHAN 1441 H

Tidak terasa, sebentar lagi kita akan bertemu dengan bulan mulia yaitu bulan Ramadhan, bulan yang membawa segudang peluang dan kesempatan emas bagi kita, karena di dalam bulan Ramadhan terkandung kemuliaan dan keistimewaan yang amat besar, yang tak bisa dijumpai pada bulan-bulan lainnya.

Nilai ibadah dilipatgandakan, do’a-do’a dikabulkan, dosa diampuni, pintu surga dibuka, sementara pintu neraka ditutup. Ramadhan, tak ubahnya tamu agung yang selalu dinanti-nanti kedatangannya, merugilah bagi mereka yang menjumpai bulan Ramadhan, namun tidak mengambil sesuatu darinya.

Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah, sehingga kita dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk beribadah mendekatkatkan diri kepada Allah swt.

Dengan demikian, apa yang menjadi Tujuan Akhir dari puasa ramadhan, yakni derajat “Ketaqwaan” dapat kita raih. Untuk itulah, Rasulullah SAW tak lupa berpesan kepada umatnya ketika bulan Ramadhan datang – sebagaimana hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ

Sungguh telah datang pada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, yang mana pada bulan tersebut Allah SWT mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka, sementara pintu-pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. (HR. An-Nasa’i).

Selain itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita sebuah do’a yang dipanjatkan menjelang datangnya Ramadhan, yakni: 

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

(ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami pada Ramadhan) (HR. Ahmad dan Bazzar).

Oleh karena itu, marilah kita sambut kedatangan bulan Ramadhan 1441 H, dengan penuh suka cita “Marhaban Ya Ramadhan (selamat datang bulan Ramadhan), kami sambut kedatanganmu dengan penuh suka cita.” 

Berikut ini adalah beberapa sikap terpuji yang dilakukan para ulama sholeh terdahulu dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang pantas diteladani:

Pertama, kita harus menyambut Ramadhan dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan bahwa orang-orang salaf terdahulu selalu mengucapkan doa:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadhan, selamatkan Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan”.

Bertemu dengan Ramadhan suatu kebahagian yang luar biasa, karena kita dapat menikmati begitu besar karunia dan rahmat yang diberikan pada bulan suci Ramdhan. Sehingga wajarlah apabila ummat muslim diseluruh dunia sangat menanti-nantikan kedatangan, karena pada bulan inilah kesempatan itu diberikan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang bersungguh-sungguh untuk memperoleh kualitas dan kuantitas ibadahnya. 

Kedua, bekali diri dengan Ilmu Pengetahuan. Ibadah puasa mempunyai ketentuan dan aturan yang harus dipenuhi agar sah dan sempurna. Sesuatu yang menjadi prasyarat suatu ibadah wajib, maka wajib memenuhinya dan wajib mempelajarinya.

Salah satu yang perlu untuk dipelajari yaitu tentang fikih puasa, hal ini perlu dipelajari untuk mengetahui, minimal tentang hal-hal yang menjadi sah dan tidaknya puasa. Persepsi dan pengetahuan yang utuh tentang bulan Ramadhan akan menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang bisa merusak ibadah Ramadhan disebabkan oleh ketidaktahuan kita. Persepsi yang utuh tentang keutamaan Ramadhan akan mendorong tumbuhnya motivasi dari dalam diri untuk menjalani ibadah dengan sebaik-baiknya.

Kenapa diperlukan ilmu dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, karena banyak orang yang berpuasa, tapi tidak menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Hal ini disebabkan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup.

Seorang yang beramal tanpa ilmu hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Dan Rasulullah shallallahu alahi wasallam jauh-jauh hari sudah memperingatkan umatnya agar jangan sampai puasa mereka sia-sia. Rasulullah bersabda: 

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (H.R. al-Hakim dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani).

Ketiga, berdoa. Bulan Ramadhan selain merupakan bulan karunia dan kenikmatan beribadah, juga merupakan bulan tantangan. Tantangan menahan nafsu untuk perbuatan jahat, tantangan untuk menggapai kemuliaan malam lailatul qadar dan tantangan-tantangan lainnya.

Keterbatasan manusia mengharuskannya untuk selalu berdo’a agar optimis melalui bulan Ramadhan, karena do’a adalah senjatanya orang mukmin. Allah SWT Berfirman dalam al-Quran Surah Al-baqarah:186; 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Keempat, dengan tekad dan planning yang matang untuk mengisi Ramadhan. Niat dan azam adalah bahasa lain dari planning atau perencanaan. Orang-orang soleh terdahulu selalu merencanakan pengisian bulan Ramadhan dengan cermat dan optimis. 

Berapa kali dia akan mengkhatamkan membaca al-Quran, berapa kali sholat malam, berapa banyak akan bersedekah dan membari makan orang berpuasa, berapa kali kita menghadiri pengajian dan membaca buku agama. Itulah sebagian planning yang bisa mengisi Ramadhan, bukan hanya sekedar memplaning atau merencanakan menu makan dan pakaian kita untuk Ramadhan, tapi lebih diarahkan ke perencanaan yang matang untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan Ramadhan, terutama memperbanyak mebaca dan mempelajari al-Quran. Firman Allah SWT;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ

اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”(Q.S. al-Baqarah: 185).

Kelima, Tidak menyia-nyiakan kesempatan Ramadhan sedikitpun. Rasulullah dan para sahabat memperbanyak puasa dan bersedekah pada bulan Sya’ban sebagai latihan sekaligus tanda kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan. Anas bin Malik r.a. berkata, “ketika kaum muslimin memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk membaca Alquran dan mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.” 

Dengan mengkondisikan diri pada bulan Sya’ban untuk berpuasa, bersedekah dan memperbanyak ibadah, kondisi ruhiyah akan meningkat, dan tubuh akan terlatih berpuasa. Di sisi lain, tidak akan terjadi lagi gejolak fisik dan proses penyesuaian yang kadang-kadang dirasakan oleh orang-orang yang pertama kali berpuasa, seperti lemas, demam dan sebagainya. Rasulullah SAW senantiasa melakukan puasa sunnah bulan Sya’ban, bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan beliau kadang melakukan puasa dengan kuantitas yang lebih banyak. Dalam sebuah hadits disebutkan: Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Katanya: “Ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan yang lain sebanyak puasa di bulan Sya’ban ini? Beliau saw menjawab: “Itulah bulan yang dilupakan orang, antara Rajab dan Ramadhan, bulan ditingkatkannya amal perbuatan kepada Allah swt Rabbul ‘Alamin. Dan aku ingin amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasa-i). 

Keenam, Persiapan Materi. Kemudian yang harus kita perhatikan menyongsong bulan Ramadhan adalah persiapan finansial atau materi. Persiapan materi di sini tidak dimaksudkan untuk membeli kebutuhan berbuka dan sahur yang mewah dan mahal bahkan kadang terkesan berlebihan. Tapi finansial/materi yang diperuntukkan untuk menopang ibadah sedekah dan infak kita. 

Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun sekedar sebiji kurma dan seteguk air. Kedermawanan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan sangat besar. 

Digambarkan dalam beberapa riwayat bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rasulullah saw kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. 

Demikianlah sekilah persiapan menyambut bulan suci Ramadhan, semoga kiranya kita memperoleh rahmat, hidayat serta kekuatan untuk dapat melaksanakan persiapan yang telah direncanakan secara maksimal, mari kita menyongsong datangnya bulan Ramadhan dengan Penuh suka cita dengan harapan kita akan menjadi Hamba-hamba yang Muttaqin, aamain,aamiin, aamiin ya Robbal ‘alamiin…..

Akhmad Riadi, S.Pd.I., M.Pd.I

Dosen

PERLUNYA TEAM WORK DALAM MENCAPAI TUJUAN

FAIUNIKARTA.AC.ID – Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dan sangat banyak kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi di masyarakat, oleh itu, manusia harus bekerja sama dengan orang lain di masyarakat. Kehidupan manusia tergantung dari keterlibatannya dalam kehidupan kemasyarakatannya dengan orang lain.

Asas agama Islam adalah hidup bersama dan hubungan seseorang dengan masyarakat karena seorang individu memiliki keterbatasan. Oleh itu, manfaat-manfaat yang diperoleh dari masyarakat, tidak pernah sebanding manfaat-manfaat yang diperoleh dari individu karena keterbatasannya.

Oleh itu, agama Islam memerintahkan kepada pengikutnya dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik selalu bekerja sama dengan orang lain dan ketika individu-individu bekerja sama dan memiliki hubungan kemasyarakatan, spirit persatuan yang berhembus dalam anatomi mereka akan menjaga mereka dari perpecahan, sehingga Islam sangat memandang penting keikutsertaan dalam masyarakat.

Allah Swt dalam al-Quran berfirman:

وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى‏ وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوان

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”  (Qs Al-Maidah [5]: 2)

Tak diragukan lagi bahwa di dalam setiap masyarakat, terdapat orang-orang yang fakir dan miskin, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan bekerja dan pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan memperhatikan bahwa menurut sudut pandang agama Islam, semua manusia adalah makhluk Allah Swt dan semua kekayaan pada dasarnya kepunyaan-Nya, maka kita harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu-individu ini dalam batasan yang memungkinkan dan dapat diterima. Masalah ini membuktikan betapa pentingnya menjalin kerja sama dengan sesama individu dalam masyarakat.

Jelaslah bahwa apabila diantara manusia dalam sebuah masyarakat memiliki semangat kerjasama yang besar, maka hal itu menjadi modal dalam kemajuan materi dan spiritual masyarakat karena kerjasama dan saling tolong menolong adalah sarana yang tepat untuk kemajuan dan perkembangan semua sisi dimasyarakat.

Oleh itu, Islam lebih mengedepankan pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dari pada yang dilakukan secara individu karena pekerjaan yang dilakukan bersama-sama memiliki kepastian dan kekuatan lebih dan karena kekuatan individu terkumpul maka akan tercipta kekuatan besar sehingga pekerjaan-pekerjaan yang susah akan menjadi mudah. Imam Shadiq As terkait dengan hal ini bersabda: “Siapa yang tidak mengupayakan kemajuan  pekerjaan kaum muslimin, maka ia bukanlah seorang Muslim.”

Bantuan dan partisipasi aktif dan tulus dalam pekerjaan baik dan memiliki kegunaan dalam masyarakat wajib bagi setiap Mukmin dan seseorang yang tidak peka terhadap kemajuan kaum Muslimin, walaupun hanya seorang Muslim saja, dan hanya memikirkan dirinya sendiri saja, maka sejatinya ia tidak mengindahkan maksud ayat yang menekankan adanya tolong menolong antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Tentu saja, maksud ayat yang dimaksud adalah seperti hadis yang telah disebutkan dan bukan berarti bahwa seseorang dengan penilaiannya sendiri turut campur tangan dalam urusan kaum Muslimin karena urusan kaum Muslimin berada di tangan hakim Islami.

Apabila setap orang memaksakan akidahnya sendiri dan setiap mereka berfikir kemaslahatan dan ingin memaksakan kehendaknya, maka akan terjadi kekacauan.

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksudkan Islam adalah adanya kerja sama dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik dan berguna bagi masyarakat sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan tersebarnya kerusakan dan kebatilan dan dosa, bukan hanya tidak baik bekerja sama dalam hal itu, namun hal itu juga dilarang. Ayat al-Quran juga melarang bentuk kerja sama dalam berbuat dosa dan permusuhan.

«وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوان».

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”  (Qs Al-Maidah [5]: 2) [2]

Perlu diperhatikan bahwa kerja sama dan saling tolong menolong dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian uang dan sedekah kepada para fakis dan miskin, namun merupakan suatu ajaran asli yang bersifat global dan sangat luas, mencakup persoalan kemasyarakatan, hak-hak, akhlak dan lainnya.

Sebagai contoh bekerja sama dengan lembaga-lembaga tertentu untuk menyiapkan pernikahan dan pembentukan keluarga bagi para pemuda dan pemudi merupakan salah satu contoh nyata dalam kerja sama kemasyarakatan.

Oleh : Habib Zainuri, S.Pd.I,. M.Pd

Dosen

PENTINGNYA SILATURRAHIM

FAIUNIKARTA.AC.ID – Pembaca yang Budiman… adakah kita sadari perubahan yang terjadi pada diri kita sekalian, setelah masuknya WhatsApp Facebook dan Instagram.

Betapa hati kita keras bagaikan batu karena mungkin seringnya kita mendapatkan video-video kekerasan dan tayangan-tayangan menakutkan yang di-share oleh teman dapat merubah hati kita menjadi begitu keras bagaikan batu.

Kenapa kita mudah terpecah belah dan begitu gampangnya memutuskan tali silaturahim? Ternyata itu semua tidak lepas dari pengaruh media sosial yang katanya mempermudah segala hal sehingga silaturahim zaman sekarang cukup dengan saling mengucapkan salam sapa di jejaring sosial, cukup menggerakkan 2 (dua) jari kita saja…seakan sudah bertemu setiap hari.

Tidak lagi mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Baginda Rasulullah SAW, yakni saling mengucapkan salam, berjabat tangan ataupun saling mengunjungi satu dengan lainnya sebagai teman ataupun kerabat yang lama tidak berjumpa, artinya kita perlu bertemu atau silaturahim secara fisik saling mengingatkan, saling menasehati dan juga saling mendoakan.

Tanpa kita sadari kita sering mengghibah meskipun kita tidak duduk atau berbicara dengan seorangpun… karena berita-berita hoax yang belum tentu kebenarannya kita terima mentah- mentah untuk diteruskan tanpa kita fikirkan terlebih dahulu langsung kita share dan kita bagi dengan teman-teman kita yang lain.

Tanpa kita sadari pula banyak melakukan dosa termasuk mengghibah saudara-saudara kita lainnya, disadari atau tidak saat ini kita sudah menjadi pencandu media sosial, saat makan…saat berkumpul dengan keluarga…di saat menyetir…bahkan disaat kita sedang buang hajat terkadang tangan kita tidak pernah terlepas dari handphone yang kita miliki untuk tujuan update status dan melihat berita-berita kekinian.

Akibatnya anak-anak kita pun kehilangan haknya untuk mendapatkan perhatian… teman kita ngumpul kehilangan haknya untuk mendapatkan komunikasi yang baik… keluarga kita, orang tua kita, mereka terkadang kita abaikan di saat kita asyik dengan gadget canggih yang ada di tangan, sesaat saja HP tertinggal kita merasa begitu kehilangan, sangat jauh berbeda sekali kalau seandainya kita tertinggal qiroatul Quran atau ketinggalan sembahyang.

Inilah mungkin yang disebut Al imam Su’ud Al Haramain “Ghazwul Fikr” yakni perang pemikiran, di mana fikiran kita dirusak oleh berbagai macam sistem yang dapat mencuci otak kita yang merusak akal cerdas kita sehingga kita tidak lagi ingat kepada Allah untuk beribadah justru kita mengingat sesuatu yang dapat melupakan Allah SWT.

Manusia dalam Al-Quran disebutkan bermacam-macam adakalanya disebut “al-Insaan” dilihat dari segi kecerdasannya karena tidak bisa dipungkiri makhluk yang bernama manusia memiliki kecerdasan yang lebih dibanding makhluk-makhluk lainnya, dia bisa bermetamorfosa menjadi lebih baik dibanding makhluk makhluk lainnya.sebaliknya makhluk selain manusia dia jauh ketinggalan dari segi perkembangan.

Kemudian di lain sisi manusia juga disebut dengan “al-Basyar” dari sisi makhluk biologis yang memiliki kecenderungan hidup berpasang-pasangan seperti laki-laki menyukai pasangannya seorang perempuan demikian pula sebaliknya, di lain tempat manusia juga disebut “Abdun” dilihat dari posisinya sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang mengabdi maka hamba dalam pengertian disini adalah yang berada di bawah, artinya ketika kita memposisikan diri sebagai hamba maka kita di bawah dan ada yang mengatasi kita di atas.

Kemudian di lain waktu Allah menyebut manusia dengan sebutan an-Naas, artinya makhluk sosial yang saling memerlukan antara satu dengan lainnya, makhluk tersebut tentunya tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dan pertolongan dari orang lain maka dia disebut an-Naas dari sisi saling ketergantungan dengan manusia lainnya.

Hamba Allah yang beriman… berbicara tentang makhluk manusia dari sisi sosial (memerlukan bantuan dari manusia atau makhluk lainnya) di sinilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam satu ketika bersabda :

من احب ان يبسط له في رزقه وان ينساله في اثره فليصل رحمه

artinya: barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya oleh Allah juga dipanjangkan umurnya maka sambungkanlah tali silaturahim atau tali persaudaraan (Muttafaq ‘Alaih)

Hadis rasul tersebut sangatlah berkaitan erat dengan pengertian manusia yang disebut an-Naas dalam Alquran karena saling ketergantungan dengan manusia lainnya maka dari itulah Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan nasehat bahwasanya kalau kita ingin diluaskan rezeki dan ingin dipanjangkan umur maka rajin rajinlah kita bersilaturahim.

Dengan banyak bersilaturahim maka akan banyak menambah teman demikian pula dengan banyaknya jalinan pertemanan maka peluang usaha dan pintu-pintu rizqi akan terbuka, karena di antara sekian banyak kawan yang kita selalu bersilaturahim kepadanya, pasti ada saja celah atau jalan untuk kita melakukan bisnis ataupun usaha.

Namun sebaliknya seseorang yang memutus silaturahim atau tidak suka saling mengunjungi satu dengan lainnya maka yakinlah dan buktikan sendiri dia dipastikan tidak memiliki teman relasi dan hubungan kerja yang baik, maka peluang dan pintu-pintu usaha tidak akan dia dapatkan karena menutup diri atau tidak mau menyambung silaturahim.

Dalam hadits lain Rasulullah mengancam dengan keras terhadap mereka yang tidak mau bahkan memutuskan silaturrahim sebagaimana dalam sabdanya :

لن يدخل الجنه قاطع الرحيم

Tidak akan pernah masuk surga seseorang yang memutuskan tali silaturahim atau persaudaraan (Muttafaq ‘Alaih)

Semoga dengan kita sering bersilaturahim maka apa yang dikatakan oleh baginda Rasul baik itu Rizki kita atau umur kita Rizki akan diluaskan Allah ta’ala kemudian umur akan diberikan nikmat panjang umur sehingga bisa tetap beribadah kepada Allah dengan tenang dan kemudian ketika berakhir menghadap Allah juga dalam keadaan tenang.

wallahu A’lam

Oleh : Sofian Efendi, S.Ag,. M.Pd

Dosen

 

RENUNGAN PENGHUJUNG TAHUN

Tanpa terasa beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru 2020, detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari terus berganti minggu, minggu berganti bulan, pelan namun pasti bulan demi bulan berjalan selanjutnya berganti tahun.

Disatu sisi banyak saudara kita yang mereduksi dengan bergantinya tahun umur semakin bertambah, pada hakikatnya justru usia kita semakin berkurang, sebagaimana dalam QS al-Jumu’ah: 8

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Berdasarkan firman Allah tersebut maka, dengan semakin bertambah usia sesungguhnya umur kita justru semakin berkurang, selanjutnya dalam menyikapi kehidupan sebagai makhluk sosial tentunya kita akan menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan termasuk konflik

Sesungguhnya dengan adanya konflik, kita dapat mengetahui sifat dan karakter seseorang yang mungkin selama ini tertutupi. Konflik juga mendidik kita untuk belajar memahami orang lain, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari yang berbhineka/ beranekaragam.

Firman Allah;

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟…

“Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah- belah” (QS. Al Imran: 103).

Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), Islam berlaku umum atau universal sehingga manfaat dan kehadirannya harus dinikmati oleh seluruh umat manusia di dunia, baik umat Muslim maupun umat yang bukan Muslim. Firman Allah :

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan utk (menjadi) rahmat bagi semesta alam, baik manusia maupun alam lainnya”. (QS Al-Anbiya: 107 ).

عَنْ أبْنِ عُمَرَ رَضِى الله عَنْه قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ لا يَضْلِمُهُ ولايخذله وَلا يُسْلِمُهُ

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzdalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya. (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim)

SOFIAN EFENDI, S.Ag., M.Pd

Dosen

MENCONTOH PRILAKU RASUL

Oleh : H. Sofian Efendi
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Bulan ini adalah bulan Rabi’ul Awwal yang menurut Jumhur ‘Ulama merupakan bulan kelahiran Rasul SAW, sebagaimana dalam syair Maulid
ولد المشرف في ربع الاول
“Telah lahir Rasul yang mulia pada bulan Rabi’ul Awwal”
Menjadi dasar sebagian ulama berpendapat lahirnya Rasul dibulan ini.
Esensi memperingati adalah bagaimana ummat Islam mensyukuri kelahiran ustazdul ‘Alam( pembimbing alam) dalam kapasitasnya sebagai rahmat Allah yang dihadiahkan untuk ummatnya sebagaimana dalam sebuah haditsnya
يا ايها الناس،انما انا رحمة مهدى
“wahai sekalian manusia sesungguhnya aku adalah rahmat Allah yang dihadiahkan”.
Alhafidh Ibnu Hajar mengatakan “memperingati maulid Nabi merupakan wujud kebersyukuran atas nikmat yang luar biasa dari Allah ta’ala”
Karena bagaimana mungkin kita menanamkan kecintaan yang mendalam kepada baginda Nabi, kalau tidak mengetahui sosok pribadi beliau yang penuh dengan keteladanan yang agung, bahkan oleh Allah diabadikan dalam Qur’an
و انك لعلى خلق عظيم
“sungguh pada dirimu (Muhammad) terdapat akhlak/budi pekerti yang mulia”
Dengan memperingati kelahirannya berikut pembacaan sejarah/ kisah kehidupannya maka akan semakin menumbuhkan rasa cinta kita kepada beliau.
Mencontoh perilaku Rasul tidak hanya dalam hal mu’amalah (keserasian hubungan dengan sesama makhluk) namun juga meliputi keharmonisan hubungan dengan sang Khaliq (Allah yang maha mencipta), dengan menjadikan-Nya satu-satunya tempat meminta, berharap, dan menggantungkan harapan.
Juga mengikuti ajaran sunnahnya yang sangat berharga untuk keselamatan kehidupan dunia lebih-lebih diakhirat.
Setidaknya ada 3(tiga) investasi berharga yang paling utama yang apabila kita tanamkan dalam kehidupan dunia maka akan memetik hasilnya kelak diakhirat, sebagaimana pesannya :
ليتخذ احدكم قلبا شاكرا و لسانا ذاكرا وزوجة مؤمنة تعين احدكم على امر الاخرة
“Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil simpanan paling berharga berupa hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, dan istri/ pendamping beriman, yang menolong kalian dalam urusan akhirat”.(HR.Ibnu Majah)
Memang jika hati kita selalu bersyukur maka akan ridha dengan semua ketetapan dan pemberian-Nya, sehingga hati dan kehidupan kita tenang jauh dari permusuhan
الا بذكر الله تطمئن القلوب
” Ketahuilah dengan banyak berdzikir kepada Allah hatimu menjadi lebih tenang”(QS Ar-Ra’du:28).
Yang kedua lisan yang selalu berdzikir/ingat kepada Allah juga akan membuat kita lebih diingat-Nya sebagaimana dalam firman Allah :
فاذكروني اذكركم واشكر ولي ولا تكفرون
“maka ingatlah kamu kepada ku niscaya aku akan ingat pula padamu, bersyukur lah dan jangan kamu mengingkari nikmat ku (QS.Al-Baqarah:152)
Yang ketiga istri/pendamping yang beriman tentunya juga akan menuntun kita kesyurganya Allah SWT, karena hakikatnya orang yang beriman itu dia tidak hanya mencari keselamatan untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya, Wallahu A’lam.