ZEN ISTIARSONO (WAKIL REKTOR III UNIKARTA) PUJI KEMERIAHAN MILAD KE-28 TAHUN FAI UNIKARTA

Wakil Rektor III Zen Istiarsono

FAIUNIKARTA.AC.ID Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) mengadakan Fun Futsal di Gedung Veledroom Komplek Stadion Aji Imbut Tenggarong Seberang, Minggu 26/6/2022 pagi.

Kegiatan yang dibuka oleh WR3 Unikarta Bagian Kemahasiswaan Dr. Zen Istiarsono tersebut diikuti tujuh tim yang berasal dari perwakilan mahasiswa dan alumni FAI Unikarta.

Dalam sambutannya, Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak berharap kegiatan tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Sebagai rangkaian Milad FAI Unikarta yang ke-28 tahun, yang puncaknya pada 1 Juli mendatang, kegiatan tersebut juga diharapkan bisa mempererat silaturahmi antar mahasiswa, alumni, dan para dosen.

“Silakan bertanding secara sportif. Jangan sampai cedera. Mudahan ini menjadi cara yang baik untuk merekatkan keakraban antar alumni dan mahasiswa,” harap Mubarak.

Sebagai pimpinan di FAI Unikarta, ia juga berterima kasih kepada para sponsor yang telah membantu kegiatan tersebut.

“Terima kasih kepada Dispora, Bank BPD, Perusda PDAM, Berita AlterantifSintesa News sebagai partner, mudahan amal baik ini mendapat pahala di sisi Allah,” pungkasnya.

Sementara itu, WR 3 Unikarta Dr. Zen Istiarsono mengapresiasi jajaran FAI serta Ketua BEM dan panitia yang melaksanakan kegiatan Milad FAI Unikarta.

Zen menilai bahwa FAI Unikarta adalah fakultas yang miladnya begitu meriah. Diketahui, milad FAI tahun ini dirangkai dengan pertandingan bulu tangkis, futsal, video, dan lomba tumpeng.

“Mudahan menjadi contoh fakultas lain, sebab selain silaturahmi antar alumni, ini juga bagian dari promosi Unikarta,” ucap Zen dalam sambutannya.

Dia menyebutkan, kegiatan-kegiatan selanjutnya bisa dilaksanakan di kampus. Ia membeberkan, pihaknya sedang mencari sponsor untuk membangun fasilitas olahraga di Unikarta.

“Sudah ada perusahaan yang siap membantu bulan Juli ini,” ungkapnya.

Hal itu merupakan usaha universitas dalam menjembatani minat mahasiswa, sebab prestasi akademik dan non-akademik skala nasional sangat mendukung akreditasi.

“Mudahan ide dan gagasan ini bisa terwujud,” tutup Zen. (*)

Link : Beritaalternatif.com

PULUHAN PESERTA IKUTI PERTANDINGAN BULU TANGKIS FAI UNIKARTA

FAIUNIKARTA.AC.ID – Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) Haji Mubarak membuka kegiatan pertandingan bulu tangkis antar pelajar, mahasiswa, dan alumni FAI Unikarta di Gedung PBSI Kukar pada Minggu (19/6/2022) pagi.

Pertandingan yang merupakan bagian dari peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) FAI Unikarta ke-28 tahun tersebut diikuti oleh puluhan peserta yang berasal dari pelajar, mahasiswa, dan alumni FAI Unikarta.

Dalam kesempatan tersebut, Mubarak mengatakan, salah satu tujuan kegiatan tersebut adalah menyambung dan membangun silaturahmi antara mahasiswa dan alumni FAI Unikarta.

“Harapannya kegiatan ini bisa menjadi semacam ajang silaturahmi dan kumpul antara kita,” ucapnya.

Dia juga berharap kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, sehingga FAI Unikarta tidak semata mengembangkan aktivitas pengajaran dan pengabdian.

Harapannya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan FAI Unikarta juga bisa mendorong serta membangun silaturahmi dan tali persaudaraan antar mahasiswa, alumni, dan jajaran fakultas.

Jika selama ini mahasiswa dan alumni FAI Unikarta belum terbentuk ikatan yang kuat, pertandingan bulu tangkis ini diharapkan dapat merekatkan dan memperkuatnya.

“Ini bisa menjadi ajang komunikasi dan silaturahmi,” sebutnya.

Kata Mubarak, banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang tersedia di Unikarta. Selain badminton, mahasiswa juga bisa mengembangkan olahraga futsal, sepakbola, dan basket.

“Ini bisa menarik minat calon mahasiswa untuk masuk di Unikarta,” katanya.

Berbagai kegiatan dalam perayaan milad tersebut, lanjut dia, bisa menjadi ajang sosialisasi bagi FAI serta Unikarta.

“Artinya, kita persilakan para pelajar yang ikut kegiatan FAI ini masuk di FAI atau fakultas lain di Unikarta. Yang pasti di Unikarta itu ada yang bisa menopang minat mereka di bidang olahraga,” ujarnya.

Dia menyebutkan, berbagai kegiatan dalam perayaan HUT FAI ke-28 tahun ini menandakan bahwa komunikasi antara mahasiswa, alumni, dan jajaran FAI Unikarta masih terpelihara dengan baik.

Hal ini juga sebagai bagian dari momentum pembentukan sinergitas antara berbagai pihak, sehingga FAI Unikarta bisa terus berkembang di masa depan.

“Harapannya, di milad yang akan datang itu bisa menjadi ajang kumpul bagi kita semua. Jadi, ini sebagai langkah awal untuk membangun silaturahmi yang lebih luas. Sinergi itu yang kita perlukan ke depan,” pungkasnya.

Diketahui, dalam kegiatan milad yang juga menggandeng Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FAI Unikarta ini ada berbagai kegiatan yang diselenggarakan, di antaranya pertandingan bulu tangkis, futsal, serta lomba tumpeng dan kompetisi video. (*)

Sumber: Beritaalternatif.com

FAI UNIKARTA AKAN ADAKAN PERTANDINGAN FUTSAL DAN LOMBA TUMPENG

FAIUNIKARTA.AC.IDFakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) akan mengadakan pertandingan futsal pada 25-26 Juni 2022.

Pendaftaran tim dalam pertandingan yang merupakan bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) FAI Unikarta ke-28 tahun tersebut akan berakhir pada 24 Juni mendatang. Pendaftaran dapat dilakukan melalui tautan berikut: bit.ly/futsalfai28.

Adapun syarat dan ketentuan dalam pertandingan ini meliputi tim berisi maksimal 10 orang yang merupakan mahasiswa atau alumni FAI Unikarta; setiap peserta/pemain menggunakan seragam tim, dan setiap peserta/pemain menggunakan sepatu dan deker.

Selain itu, setiap tim melakukan pendaftaran melalui tautan yang tersedia; setiap tim membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 250 ribu; technical meeting wajib dihadiri oleh perwakilan setiap tim, dan saat technical meeting pada 24 Juni, perwakilan tim membawa fotokopi KTM/KTP (semua peserta/pemain).

Dalam perayaan HUT kali ini, FAI Unikarta juga mengadakan lomba tumpeng pada 30 Juni 2022. Adapun syarat dan ketentuannya yakni peserta per tim (terdiri atas minimal 3 orang dan maksimal 5 orang); peserta merupakan mahasiswa atau alumni FAI Unikarta, dan bahan tumpeng disiapkan oleh peserta dari rumah.

Kemudian, proses menghias tumpeng dilaksanakan di area lomba; waktu menghias maksimal 30 menit; ukuran dan isian tumpeng bebas atau sesuai kreasi peserta; kriteria penilaian: rasa, kreasi dan keunikan, serta tema tumpeng; peserta melakukan pendaftaran melalui tautan yang tersedia.

Tim Pengarah Panitia HUT ke-28 FAI Unikarta, Habib Zainuri menyebutkan, semua kegiatan yang diselenggarakan dalam perayaan milad tersebut bertujuan memanfaatkan momentum HUT ke-28 FAI Unikarta sebagai ajang silaturahmi antar mahasiswa dan alumni, serta pelajar di Kukar.

Milad FAI Unikarta tahun ini, lanjut dia, bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru di Unikarta, sehingga berbagai lomba dalam perayaan milad tersebut dapat menjadi ajang untuk menjaring calon mahasiswa baru FAI Unikarta.

Ia pun berharap perayaan milad tahun ini bisa menjadi jembatan untuk mempererat silaturahmi antar alumni FAI Unikarta.

Output-nya nanti kami bisa membentuk Ikatan Alumni Fakultas Agama Islam,” ujarnya. (*)

Link : Beritaalternatif.com

MENGEMBALIKAN MARWAH PESANTREN, BEBERAPA CATATAN TENTANG NILAI-NILAI ADILUHUNG

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

Oleh: H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Cukup layak kiranya jika topik ini saya angkat di tengah maraknya pemberitaan negatif tentang pesantren. Entah karena kasus-kasus asusila yang terjadi oleh oknum di pesantren maupun disebabkan khalayak yang cenderung spekulatif tentang pendidikan pesantren, yang “konon katanya” tidak seideal harapan mereka tentang lembaga pendidikan Islam kultural yang mumpuni mencetak kader-kader ulama dengan semangat “tafaqquh fi al-Din”. Di Kota Tenggarong, misalnya, dalam sepekan terakhir di bulan Maret 2022, penahanan seorang pimpinan pesantren karena “merudapaksa” hingga menikahi santriwatinya di luar persetujuan orang tuanya seakan menjadi amunisi baru bagi kemunculan dugaan-dugaan ‘liar’ di masyarakat terhadap pendidikan di pesantren yang dinilai tidak ideal. Masyarakat menjadi khawatir, overthinking, hingga takut menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke pesantren.

Sementara itu, lembaga-lembaga keagamaan Islam belum banyak yang bersuara untuk melakukan “counter issue” guna menutup celah mispersepsi di masyarakat yang mungkin lambat laun akan menggerus keagungan nilai-nilai kepesantrenan, yang selama ini dirawat oleh para “khadim al-Ma’had” yang berjiwa tulus, mengayomi, hingga amanah dalam memberikan pendidikan Islam terbaik di pesantren-pesantren yang mereka kelola.

Tulisan singkat tentang pesantren ini mencoba mengurai keagungan nilai-nilai pesantren sebagai bahan rujukan bagi masyarakat luas. Bukan hanya bermaksud untuk melakukan “counter issue” atas kasus-kasus asusila yang terjadi dan dilakukan oleh oknum-oknum di pesantren yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga mencoba menyuarakan secara lantang dan tegas bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang pendidikan di pesantren, ataupun cara hidup ala pesantren yang mengikat hubungan keilmuan antara kiai dan santri, serta yang terpenting adalah dinamika perjuangan santri selama ‘mondok’ di pesantren, yang bagi para ‘mantan’ santri menjadi kenangan indah yang tidak akan terlupakan.

Watak Kehidupan Pesantren

Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan dalam tulisannya yang bertajuk “Pesantren sebagai Subkultur” bahwa pesantren memiliki pola kehidupan yang unik, yang mampu bertahan selama berabad-abad lamanya dan mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dalam jangka panjang, keberadaan pesantren di dalam kedudukan kultural dianggap lebih kuat pengaruhnya daripada masyarakat di sekitarnya. Maksud pernyataan Gus Dur ini, secara tidak langsung mengatakan bahwa pesantren adalah institusi sosial yang memiliki sejumlah unsur khas, yang membedakannya dengan masyarakat atau institusi sosial lainnya. Pada pengamatan Gus Dur, pesantren memiliki pola kehidupan yang unik dengan nilai-nilai hidupnya, yang bertahan dalam jangka panjang keberadaannya di dalam kedudukan kultural bersama masyarakat, bahkan dianggap lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.

Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan adanya potensi untuk melakukan transformasi di masyarakat, meski di saat bersamaan pesantren kerap dihadapkan dengan serangan kultural yang datang silih berganti. Namun demikian, pesantren tetap mampu mempertahankan diri guna mengadakan inovasi pada waktunya. Inilah alasan mengapa pesantren oleh Gus Dur dianggap sebagai “subkultur” karena memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek: (1) cara hidup yang dianut (life pattern), (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti (mores), dan (3) hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya (internal authority).

Watak kehidupan pesantren yang dianggap “subkultur” dapat ditemukan dalam beberapa dimensi, antara lain: (1) eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan yang berbeda dari pola kehidupan umum; (2) sejumlah unsur penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; (3) keberlangsungan proses pembentukan tata nilai tersendiri dalam kehidupan pesantren bersama simbol-simbolnya; (4) pesantren memiliki daya tarik ke luar, sehingga masyarakat menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang terdapat di masyarakat, serta (5) terjadi proses saling mempengaruhi antara pesantren dan masyarakat di luarnya yang berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru, yang secara universal diterima kedua belah pihak

Unsur-Unsur Kehidupan Pesantren

Pesantren adalah suatu kompleks yang terpisah dari lingkungan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dalam kompleks pesantren ini ditemukan unsur-unsur, seperti bangunan fisik, manusia sebagai penunjang kehidupannya, hierarki kekuasaan intern, serta dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren.

Pertama, bangunan fisik pesantren adalah penunjang lingkungannya, seperti rumah kediaman pengasuh pesantren, surau atau masjid sebagai tempat keberlangsungan ibadah dan kegiatan pendidikan lainnya, serta asrama tempat tinggal santri.

Kedua, manusia yang menjadi penunjang kehidupan pesantren disebut sebagai warga pesantren, yakni suatu kelompok dalam lingkungan pesantren, yang terdiri atas kiai (Jawa) sebutan lainnya ialah ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syaikh/buya (Sumatera), anregurutta (Sulawesi), tuan guru (NTB, Kalimantan) sebagai pengasuh, para guru (ustaz, bentuk jamaknya: asâtidz), dan para santri.

Ketiga, hierarki kekuasaan yang bersifat absolut terdapat di dalam lingkungan pesantren, yakni kekuasaan kiai dan para pembantunya atas diri para santri. Hierarki kekuasaan ini ditegakkan di atas kewibawaan moral kiai sebagai penyelamat para santri dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan. Hierarki intern ini tidak berbagi tempat dengan kekuasaan di luar meski dalam aspek-aspek yang sederhana. Bagi seorang santri, kiai menjadi sumber inspirasi dan penunjang moral pribadinya, sehingga untuk seumur hidupnya ia senantiasa akan terikat dengan kiainya.

Keempat, dimensi kehidupan yang melingkupi pesantren memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya, yang berputar menurut siklus waktu sembahyang/salat, sehingga kegiatan di pesantren berotasi pada pembagian periode menurut pergiliran lima waktu salat wajib. Dimensi waktu yang unik ini tercipta disebabkan kegiatan pokok pesantren yang berpusat pada pengajian buku-buku teks (al-kutub al-muqarrarah) pada tiap-tiap selepas salat wajib. Semua kegiatan lain harus menyesuaikan dengan pembagian waktu pengajian, serta lama waktu pengajian yang digunakan sehari-hari, di mana waktu pelajaran tengah hari dan malam lebih panjang daripada waktu subuh dan petang.

Peranan Kiai, Ustaz dan Santri di Lingkungan Pesantren

Menyorot pesantren, sesungguhnya terdapat tiga peranan yang dimainkan oleh kiai, ustaz, dan santri. Kiai adalah pimpinan pesantren yang dalam hierarki sederhana menempatkan dirinya sebagai pemegang otoritas dalam segala hal di pesantren. Meski demikian, adakalanya kepemimpinan kiai di pesantren diwakilkan kepada seorang ustaz senior selaku “lurah pesantren”. Di dalam pesantren yang telah mengenal struktur organisasi yang lebih kompleks, pengelolaan pesantren digantikan oleh susunan pengurus yang lengkap dengan pembagian tugas masing-masing, meskipun kekuasaan mutlak tetap dimiliki oleh kiai dan keluarganya. Dalam hal ini kedudukan kiai bukan sebagai primus interpares (kepemimpinan yang dipilih berdasarkan musyawarah), melainkan pemilik tunggal di pesantren.

Sementara ustaz dalam kedudukannya memiliki dua fungsi pokok, yakni sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai untuk mendidik para santri. Pada fungsi pertama menempatkannya dalam peranan sebagai asimilator antara tata nilai yang telah ada dan radiasi kultural yang baru, sedangkan pada fungsi yang kedua mengharuskannya mematangkan penguasaan atas literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren.

Kedua fungsi ini adalah tugas berat yang harus diemban oleh seorang ustaz karena ia di bawah pengawasan kiai yang perfeksionis dalam kedua hal tersebut, sehingga tidak heran bila sangat sedikit asâtidz yang dinyatakan berhasil dan di kemudian hari mampu memimpin pesantrennya sendiri.

Adapun santri adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri sebagai persyaratan mutlak baginya untuk menjadi anak didik kiai sepenuhnya. Ia harus memperoleh kerelaan kiai dengan mengikuti segala kehendak kiai dan melayani segenap kepentingannya. Pelayan dimaksud adalah tugas kehormatan sebagai ukuran penyerahan diri. Kerelaan kiai itu dinamakan “barâkah” sebagai alasan berpijak bagi santri dalam menuntut ilmu.

Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Pesantren

Jika dilihat secara seksama maka sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren sesungguhnya menerapkan sistem yang lentur (luwes). Unsur-unsur pendidikan dan pengajaran di pesantren terdiri atas kurikulum, metode pengajaran, materi pelajaran, serta masa tempuh pendidikan di pesantren.

Pertama, kurikulum. Kurikulum pendidikan di pesantren ialah pembacaan kitab-kitab. Corak kurikulum ini berupa pengulangan pelajaran yang bertingkat dan berjenjang tanpa berkesudahan, dari yang kecil hingga yang sedang.

Kedua, metode pengajaran. Kegiatan pengajaran di pesantren dilakukan dalam suatu pengajian yang berbentuk semacam kuliah terbuka. Pengajian ini dikenal dengan istilah weton atau bandongan, di mana seorang kiai memberikan pengajian di serambi mesjid atau surau dengan kurikulum yang dipilih sepenuhnya oleh para santri. Sang kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan di dalam teks kitab yang dipelajari, kemudian santri membaca ulang teks itu, entah di hadapan sang kiai atau sekembalinya ke bilik asrama masing-masing dalam bentuk pengajian ulang antar sesama teman sepengajian (yang disebut: mudârasahmuthâla’ah, jam’iyyah, dan sebagainya).

Ketiga, materi pelajaran. Kiai memberikan materi pelajaran semuanya bersifat aplikatif, yakni harus diterjemahkan para santri ke dalam perbuatan dan amalan sehari-hari. Hal ini menjadi pokok perhatian kiai. Semua bidang kehidupan santri tersentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan kiai ini, dari cara menyucikan diri, ibadah ritual, hingga tata perniagaan yang diperbolehkan dalam agama Islam. Ini sama artinya kiai memberikan panduan lengkap kepada para santrinya untuk berproses dalam suatu tata nilai dan orientasi serangkaian perbuatan sehari-hari sebagai “cara kehidupan santri”.

Keempat, masa tempuh pendidikan di pesantren. Untuk hal ini tidak ditentukan ukurannya. Selama santri masih memerlukan bimbingan pengajian dari kiainya, maka tidak ada keharusan untuk menyelesaikan masa pendidikannya di pesantren, terkecuali berkaitan dengan keterbatasan biaya ataupun panggilan dari orang tua untuk menikah/berumah tangga. Kiai hanya bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk berbagai tingkatannya, pilihan bagi santri hanyalah menentukan manakah yang ingin ditempuhnya. Terkadang, diperlukan masa bertahun-tahun untuk menyerap berbagai tingkatan pengajaran yang dilakukan oleh kiai di pesantren. Akan tetapi, hal ini bukanlah ukuran keberhasilan seorang santri yang mengikuti pelajaran di pesantren. Ketundukan kepada kiai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang kiailah yang menentukan keberhasilan santri itu, sehingga berpotensi menjadi kiai di masa depan atau menjadi orang yang berpengaruh di masyarakat. Inilah yang menjadi tolak ukur keberhasilan santri.

Tata Nilai Kehidupan Pesantren

Pesantren memiliki peranan berganda, yakni di satu sisi sebagai pilihan ideal dari kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, dan di saat bersamaan berdiri sebagai unit budaya yang menjadi bagian dari masyarakat. Dalam menjalankan peranan ganda inilah pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Peniruan adalah usaha sadar yang dilakukan secara terus-menerus untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi SAW dan para ulama salaf di zamannya ke dalam praktik kehidupan pesantren, sedangkan pengekangan adalah perwujudan disiplin sosial yang ketat di pesantren, di mana kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini. Contoh keduanya dalam kehidupan pesantren ialah dalam bentuk ketaatan beribadah secara maksimal, penerimaan atas kondisi material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi.

Berupaya mengurutkan tata nilai kehidupan yang berkembang di pesantren, maka dapat dinyatakan bahwa nilai kehidupan pesantren yang terpenting ialah nilai keikhlasan. Nilai ini berangkat dari visi kesediaan kalangan pesantren untuk menerima kadar materiil apa pun yang diberikan dalam kehidupan ini. Walaupun terkesan fatalistik, tetapi segi positifnya nilai ini memberikan peluang bagi santri untuk menciptakan penerimaan dengan mudah terhadap perubahan-perubahan status dalam kehidupannya kelak, serta fleksibilitasnya dalam menempuh karier masing-masing.

Nilai berikutnya ialah orientasi kehidupan ukhrawî. Nilai kehidupan ini berangkat dari visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kemudian, sehingga kehidupan di pesantren menekankan pada pengerjaan perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin sebagai landasan dasarnya.

Nilai-lainnya ialah asketisme (kezuhudan) yang dikombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh barâkah-nya, yang tentunya hal ini memberikan bekas mendalam pada diri seorang santri. Barâkah kiai menjadi alasan penting bagi santri untuk setia dengan kezuhudannya. Nilai asketisme yang dikombinasikan dengan sikap patuh terhadap perintah kiai inilah yang menjadi daya tarik pesantren, sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putra-putri mereka untuk belajar di pesantren.

Nilai kehidupan berdasarkan preskripsi hukum fikih yang diikuti dengan adat kebiasaan kaum sufi menjadi tata nilai berikutnya yang berkembang di pesantren. Kehidupan yang bertentangan dengan hukum fikih di pesantren tidak mendapatkan tempat, bahkan dalam hal terkecil seputar najis (kotoran) menjadi sangat penting karena bersinggungan langsung dengan kesahan dalam beribadah. Penerimaan terhadap preskripsi fikih ini kemudian disempurnakan dengan pelaksanaan amalan-amalan utama (fadhâ’il al-a’mâl) sebagai bentuk ketundukan kepada mursyîd (predikat bagi seorang pembimbing dalam gerakan sufi). Perpaduan kedua unsur ini merupakan kulminasi tertinggi dalam tata nilai yang berkembang di pesantren.

Tidak kalah penting, di kalangan pesantren terdapat nilai transmisi tradisi yang berkembang. Mekanismenya ditemukan dalam sistem transmisi riwayat secara berantai (isnâd) yang semula digunakan dalam kodifikasi corpus hadis, serta dalam penulisan sejarah Islam maupun sastra Arab. Nilai transmisi tradisi ini kebanyakan dikembalikan kepada perintah wali songo maupun imprimaturnya sebagai jaminan keaslian nilai-nilai yang diwariskan secara berantai itu. Kepatuhan mengikuti nilai-nilai itu dinyatakan sebagai perbuatan yang menghargai, sedangkan keengganan dalam mengikutinya akan diancam dengan kemungkinan memperoleh balasan fisik yang tidak dikehendaki (kualat karena melakukan hal yang tabu/pamali).

Nilai lainnya ialah pewarisan ilmu. Pesantren mengembangkan sistem pewarisan ilmu sebagai suatu tradisi dalam struktur pengajaran tradisionalnya, yakni menularkan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya (transmisi keilmuan) dengan sistem bimbingan individual berupa sistem ijazah lisan. Dalam hal ini kiai berkenan mengajarkan sebuah teks kepada santrinya setelah penguasaan suatu pengetahuan oleh santri secara penuh. Sistem ini membuat santri secara spiritual terikat kuat dengan kiainya sebagai pembimbing seumur hidup (life-long tutor).

Interaksi Sosial di Pesantren dan Masyarakat

Interaksi sosial menjadi penopang dalam dinamika kehidupan pesantren serta hubungannya dengan masyarakat. Hubungan kiai dan santri di dalam pesantren merupakan wujud interaksi sosial dalam hubungan interpersonal, sementara itu pesantren dapat mengaktualisasikan pengaruhnya ke dalam dimensi kehidupan masyarakat luas.

Hubungan interpersonal antara kiai dan santri tergambar dalam upaya santri memperoleh kerelaan kiai dengan penekanan kepada kebutuhan memperoleh barakah-nya hingga bersedia melakukan segenap perintahnya. Di sinilah diciptakan mekanisme konsensus untuk pembentukan tata nilai di pesantren, di mana santri berfungsi sebagai medium guna menciptakan ketundukan kepada tata nilai yang berlaku di pesantren tersebut. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan yang memberi bekas mendalam pada diri seorang santri, yang pada gilirannya akan membentuk sikap hidupnya sendiri.

Sementara itu, pengaruh utama pesantren atas masyarakat luar terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh perbedaan di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas: (1) mengatur bimbingan spiritual dari pihak pesantren kepada masyarakat dalam masalah ritual ibadat ataupun soal-soal perdata agama Islam (perkawinan, waris, dan lain-lain), serta (2) masalah pemeliharaan material-finansial dari masyarakat kepada pesantren (dalam bentuk pengumpulan dana dan lain-lain).

Selanjutnya, kehidupan pesantren bagi masyarakat luar adalah gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisasikan dalam kehidupan mereka, tetapi pada saat-saat tertentu pesantren menjadi tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual bagi mereka. Pesantren juga menjadi pusat gerakan tasawuf karena terdapat daya tarik dalam kedudukannya sebagai pusat gerakan, bahkan tidak jarang faktor karismatik seorang kiai merupakan daya tarik yang kuat pula bagi pesantren.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, tampak nyata sesungguhnya pesantren memiliki marwah berupa nilai-nilai adiluhung yang patut diungkapkan ke tengah publik. Berbagai kasus asusila yang belakangan terjadi di pesantren oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tentu tidak boleh digeneralisasi. Masih banyak pesantren yang dengan amanah dan bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan pendidikannya dengan kekhasan, tradisi serta kurikulum masing-masing guna membentuk santri yang unggul dalam menghadapi perkembangan zaman.

Terlebih, setelah penerbitan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang mengikat penguatan fungsi pesantren dalam aktivitas pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam fungsi dakwahnya, pesantren dituntut untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dengan upaya mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran, mengajarkan pemahaman dan keteladanan dalam pengamalan nilai-nilai keislaman yang rendah hati, toleran, berkesinambungan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dengan tetap memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat, menjaga kerukunan hidup umat beragama, serta praktik keberagamaan yang moderat. Adapun berkaitan fungsi pemberdayaan masyarakat, orientasi pesantren ialah meningkatkan kesejahteraan pesantren dan masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan pendidikannya dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Selanjutnya, patut juga dicatat bahwa eksistensi pesantren (baik tradisional maupun modern) harus mampu menghubungkan antara budayanya dengan masyarakat, serta perkembangan zaman dan modernitasnya. Hal ini tidak lain karena dalam lingkungan kultural pesantren telah mengakar pemahaman untuk menjaga tradisi yang telah baik dan melakukan inovasi yang bermanfaat (al-Muhâfadhah ‘alâ al-Qodîm al-Ashlah wa al-Akhdz min Jadîd al-Nâfi’).

Oleh karenanya, pesantren harus mengadakan perubahan kualitatif karena terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamannya secara masif sebagai akibat dari perubahan zaman. Wallâhu a’lam bi al-shawâb(*Dosen dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

(Tulisan diintasi dari karya: Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan. Cet. 5. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995.)

HAJI MUBARAK URAI MAKNA KEWAJIBAN BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Haji Mubarak menyampaikan Kuliah Tujuh Menit (Kultum) pada hari pertama bulan suci Ramadan 1443 Hijriah. Temanya, Marhaban Ya Ramadan.

Ia mengingatkan umat Islam bahwa Allah Swt memberikan kewajiban berpuasa di bulan Ramadan bersamaan dengan penurunan surah Al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Mubarak menyebutkan, dalam sejarah, ayat ini turun pada tahun kedua Hijriah. Ayat tersebut menegaskan kewajiban berpuasa bagi umat Islam yang telah akil baligh dan sehat jasmani serta rohani.

Jika seorang muslim mengingkari kewajiban berpuasa, berarti ia menolak perintah Allah Swt sehingga dia wajib bertaubat.

Ramadan ini bulan yang penuh dengan kemuliaan sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw, “Apabila Ramadan datang, maka pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu”.

Ia menerangkan, hadis ini mengabarkan kepada umat Islam bahwa pada saat bulan Ramadan, pintu-pintu langit dibuka seluas-luasnya untuk menerima untaian doa dan pengharapan hamba-hamba Allah. “Allah Swt akan mengijabah doa hamba yang meminta kepada-Nya,” terang dia.

Hadis ini menegaskan kebenaran pintu-pintu jahanam ditutup serta setan-setan dibelenggu. Namun, jika seorang muslim masih melakukan perbuatan keji dan tercela selama bulan Ramadan, hal itu disebabkan oleh hawa nafsu manusia sendiri.

“Sebab hawa nafsu itu berpotensi untuk manusia melakukan perbuatan jahat maupun kebaikan,” jelasnya.

Pada bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini, Allah Swt menjanjikan balasan secara langsung kepada setiap hamba-Nya.

Pada riwayat dari Sunan Ad Darimi, sebuah hadis yang datang dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘puasa itu adalah untukku dan aku yang akan memberinya pahala’. Ia memiliki dua kebahagiaan, yaitu ketika ia berbuka dan ketika ia bertemu dengan Rab-nya. Rasul berkata: demi jiwaku yang berada ditangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi”.

Jika hadis ini difahami secara seksama, maka akan ditemukan beberapa titik singgung. Pertama, puasa adalah hak Allah atas segala makhluk-Nya dan hanya Allah yang pantas memberikan pahala atas ketaatan makhluk kepada Tuhannya.

Kedua, kebahagiaan seseorang yang menjalani ibadah puasa terbayar pada dua waktu, yaitu kebahagiaan saat berbuka puasa dan ketika pahala puasa yang dibentangkan kepadanya saat dia bertemu dengan Tuhannya.

Ketiga, jaminan Rasulullah Saw kepada seseorang yang berpuasa adalah bau mulutnya lebih disukai di sisi Allah sehingga disebutkan lebih harum dari minyak harum kesturi. Hal ini berarti Allah sangat menyukai orang-orang beriman yang berpuasa.

“Semoga kita semua tergolong hamba-hamba Allah yang taat untuk menjalankan puasa di bulan Ramadan dan semua itu kita lakukan semata mengharap ridho Allah sebagai bentuk ketundukan kita ke hadapan-Nya,” tutup Mubarak. (*)

Link : Beritaalternatif.com

PENDIDIKAN ISLAM DI ABAD TEKNOLOGI DIGITAL

Wakil Dekan I FAI Unikarta Sofian Efendi

Oleh: Sofian Efendi*

FAIUNIKARTA.AC.ID – Pendidikan Islam sering diposisikan sebagai faktor yang paling bertanggung jawab atas kompleksitas problem kehidupan, tidak hanya problem pribadi, tapi juga problem sosial bahkan problem umat. Pandangan demikian berangkat dari asumsi bahwa potret dan karakter masyarakat sangat tergantung dan ditentukan oleh pendidikannya. Itulah sebabnya persoalan baik buruk individu dan masyarakat sering dikembalikan pada kualitas pendidikannya.

Memang banyak fakta yang mendukung pandangan seperti ini. Namun juga harus diakui bahwa pandangan seperti ini sering membuat pandangan kita menjadi tidak jernih dalam melihat persoalan yang melilit dunia pendidikan. Memang pendidikan harus memiliki peran sosial, tetapi bukan berarti persoalan-persoalan sosial dapat terselesaikan dengan pendidikan saja. Artinya, meletakkan problem sosial apalagi problem global ke “pundak” pendidikan adalah sikap tidak adil terhadap dunia pendidikan.  Jika harus dipaksakan, tidak saja akan gagal dalam menyelesaikan problem sosial itu, tetapi sudah dapat dipastikan, dunia pendidikan akan terseret arus persoalan masyarakat yang sangat boleh jadi mengancam dunia pendidikan itu sendiri.

Kerangka berfikir ini tidak berarti menolak mentah-mentah pandangan umum yang misalnya mengatakan, jika pendidikan baik pasti masyarakatnya juga baik. Di sini hanya diingatkan bahwa pandangan sebaliknya juga jangan dilupakan: jika masyarakatnya baik, pasti pendidikannya juga baik. Pendidikan bukanlah dunia yang netral yang ada dengan sendirinya. Yang pelu disadari dengan sebenarnya adalah bahwa pendidikan merupakan produk sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Bahkan produk struktur kesadaran manusia itu sendiri. Di sini pendidikan menjadi sangat tergantung dengan latar belakang sejarahnya, tergantung dengan kondisi sosial dan budayanya, tergantung dengan situasi sosial-ekonominya, juga sangat tergantung dengan situasi dan kebijakan politik yang ada, termasuk tergantung dengan pandangan-pandangan, anggapan-anggapan dan harapan-harapan seseorang terhadap dunia pendidikan, bahkan mungkin juga dengan situasi kemajuan dunia teknologi informasi.

Beberapa aspek eksternal inilah yang pada kenyataannya sangat menentukan corak dan kualitas dunia pendidikan, setidaknya jika dibandingkan dengan aspek internalnya yang konon ada tujuh aspek, yakni tujuan, guru, murid, materi, metode, sarana, dan evaluasi. Di era dunia teknologi digital ini, kesadaran demikian tampaknya diperlukan untuk melihat secara lebih jernih problem pendidikan sesungguhnya.

Situasi yang Tak Bisa Terelakkan

Liberalisme pers ditambah dengan kecanggihan teknologi digital telah membuat dunia ini menjadi seperti kampung yang kecil. Manusia abad ini dengan mudah mangakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perkembangan peristiwa di belahan dunia dapat segera bisa diikuti oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Budaya yang berkembang pada berbagai suku, bangsa dan negara dapat saling berinteraksi, sehingga nilai sosial dan budaya dapat saling tiru dan saling terpengaruh. Inilah sebagian dari tanda suatu zaman yang disebut dengan era dunia teknologi informasi.

Ketika kita membayangkan dunia teknologi digital lalu membayangkan tentang “perputaran” dunia yang serba cepat. Antara satu negara dengan negara yang lain terasa lebih dekat. Bumi ini terasa semakin sempit seperti bola yang dapat dengan mudah kita cermati bagian-bagian sisinya dengan cepat dan mudah. Memang tidak sulit memahami arti dunia teknologi digital, karena kita ini memang sedang merasakan hidup di tengah-tengah kemajuan dunia teknologi digital sebagaimana dicirikan oleh istilah tersebut.

Teknologi digital sebenarnya merupakan sebutan untuk “dunia yang serba menggunakan/memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menghadapi berbagai tantangan hidup di era dunia yang jauh dari perkiraan dan tak terprediksikan. Inilah dunia yang telah lepas kendali (run away world). Teknologi digital sebagai buah dari kemajuan ilmu pengetahuan, memang tidak pernah diciptakan/dibuat Tuhan, tetapi terjadi sebagai akibat dari ulah perbuatan manusia. Maka konsekuensi dari ulah perbuatan tangan-tangan manusia akan dihadapi oleh manusia itu sendiri baik kebaikan maupun keburukannya.

Negara-negara Barat sebagai sumber pembentuk terjadinya kamajuan dunia teknologi informasi, merasa “kapok” atas kemajuan dunia teknologi informasi  dan segala akibatnya, apalagi bangsa kita yang hanya sekedar “ketularan” atau “ketibanan” tentu akan lebih kerepotan lagi menghadapinya.

Dalam sejarah kemajuan teknologi digital bisa dilacak akar-akarnya pada dunia Barat sekita abad 16-an yang lalu, yakni di saat impian-impian orang Barat untuk mengubah “nasib” dari yang tidak pasti menuju kepastian, terus dan terus diupayakan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Impian-impian itu antara lain: Pertama, andaikan urusan agama dan urusan pemerintahan (keduniaan pada umumnya) dapat dipisahkan, tentu akan lebih leluasa mengatur pemerintahan dan dunia ini. Impian ini terus mereka upayakan dengan suatu proses yang disebut “sekularisasi”, dan negara kita pun sempat ketularan diera 80-an di mana pemerintah memisahkan pendidikan agama dan umum, yang berimbas perhatian lebih hanya pada lembaga-lembaga pendidikan umum sedang lembaga pendidikan agama semakin termarginalkan.

Kedua, andaikan tradisi dan kehidupan yang irrasional ini bisa diubah menjadi rasional maka akan mereka ubah, di sinilah kita kenal istilah modernisasi, yaitu proses penghapusan tradisi yang tidak rasional selanjutnya diupayakan menjadi rasional termasuk menghilangkan tradisi-tradisi baik dalam masyarakat Islam. Apa saja bisa mereka lakukan.

Ketiga, andaikan pembacaan terhadap realitas ini bisa diilmiahkan maka upaya yang dilakukan adalah proses saintifikasi. Keempat, andaikan alam ini bisa direkayasa maka impian ini akan diwujudkan dengan suatu proses yang disebut “teknologisasi” atau “industrialisasi”. Kelima, andaikan dunia Timur (termasuk Islam) itu bisa seperti negara Barat yang maju maka akan diupayakan yang dikenal dengan istilah “kolonialisasi” dan “westernisasi”.

Apakah akibatnya? Seperti yang dapat kita saksikan bersama (1) antara urusan pemerintah (dan urusan keduniaan pada umumnya) harus terpisah dengan urusan agama, bahkan agama itu telah kuno dan perlu dipinggirkan. (2) segala tradisi, budaya dan norma agama yang dianggap tidak rasional harus ditolak, dan hanya mau menerima yang rasional saja. (3) berkembangnya pola fikir saintisme, yaitu pola fikir: jika…maka… yang kaku dan tak kenal ampun. Di sini peran akal tidak hanya maksimal, tetapi sudah dianggap segala-galanya. (4) intervensi manusia terhadap alam, membuat alam sendiri tidak bersahabat. Demikian juga penggunaan teknologi secara besar-besaran, lalu dengan sengaja membuat manusia  merasa ketergantungan dengan teknologi, bahkan hampir di segala aspek kehidupan. Selanjutnya adalah adalah “banjir” produk dengan berbagai iklannya dengan segala keunggulan dan kelebihannya, juga persaingan bisnis produk-produk teknologi tak dapat dihindari. Dan (5) proses pembaratan dan penjajahan terus berlangsung sampai hari ini, baik sektor politik, ekonomi, pemikiran, budaya, maupun produk-produk Barat lainnya.

Semua kemajuan ini telah membuat “dunia lepas kendali” dan teknologi dan informasi menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan. Dalam beberapa hal, kemajuan di Barat jelas membawa aspek positif bagi mereka, seperti beberapa kemudahan-kemudahan dengan pemanfaatan teknologi (dalam bidang  ilmu pengetahuan), namun pemanfaatan teknologi informasi jelas akan memunculkan dampak negatif tepatnya “resiko buatan” (manufactured risk) dalam arti, resiko sebagai akibat kesalahan cara pandang dan pengetahuan kita atas dunia, berupa ketidakpastian baru yang melampaui kemampuan antisipasi kita.

Perubahan dahsyat itu merombak tradisi dan budaya dengan segala kekayaannya, mulai yang paling sederhana, seperti model pakaian, gaya hidup (life style), pola-pola hubungan masyarakat, hingga yang terkait  dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, termasuk nilai-nilai agama. Tidak hanya itu, teknologi informasi juga mengubah gaya berkeluarga: mulai dari tujuan berkeluarga, pola hubungan dalam rumah tangga: suami dengan istri, orang tua dengan anak. Semua itu seolah  menjadi pola robotik. Mungkin inilah yang disebut proses dehumanisasi, yaitu hilangnya unsur-unsur kemanusiaan dalam diri manusia, maka sandiwara sudah terjadi di hampir semua kehidupan ini.

Perubahan-perubahan itu semakin mencapai puncaknya, di saat teknologi informasi dan telekomunikasi sudah sedemikian canggih, diperparah dengan liberalisasi di bidang pers. Akibatnya pertukaran nilai budaya dapat dengan mudah terjadi, bahkan sudah terjadi. Kondisi ini, di satu sisi dapat mempercepat proses modernisasi (pembaharuan) dari budaya tradisional, namun pada sisi lain dapat terjadi pula pengikisan atau penghilangan budaya luhur dan digantikan dengan budaya asing yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita bahkan nilai-nilai agama kita.

Media informasi elektronik seperti televisi sebagai salah satu produk kamajuan teknologi  juga memunculkan problematika tersendiri. Di satu sisi sebagai media informasi dan penyebaran nilai-nilai budaya, namun pada sisi yang lain juga dapat menjadi sarana “perusak” terhadap nilai budaya ketimuran kita yang selama ini sudah berkembang dengan baik.

Dalam banyak hal, tayangan televisi menyuguhkan apa yang oleh para sosiolog disebut dengan hiper-realitas (hypperreality), yakni realitas semu yang sebenarnya tidak terjadi pada kenyataan, namun dibuat agar menarik perhatian dan segera akan ditiru oleh masyarakat sehingga akhirnya menjadi kenyataan juga. Ketika sudah menjadi kenyataan televisi akan menampilkan hyperreality yang baru, lalu diikuti dan menjadi kenyataan yang baru lagi, bagitu seterusnya. Singkat kata, semakin “gila” tayangan televisi maka akan semakin menarik. Ketika penonton sudah menjadi “gila”, televisi akan menayangkan suguhan yang lebih “gila” lagi, jika tidak tentu tidak akan lagi menjadi menarik.

Di sinilah sadar atau tidak, karakter kita dan generasi bangsa ini akan terbentuk. Maka yang membentuk kepribadian manusia abad ini ternyata bukan lagi orang tua, bukan pula guru atau para pemimpin, tetapi oleh media massa, yang merupakan imbas kemajuan teknologi informasi. Masa depan generasi kita hampir sepenuhnya sangat ditentukan oleh tayangan/tontonan media massa dan unggahan media sosial hari ini.

Absurditas Manusia Modern

Hal lain yang menjadi keprihatinan bersama saat ini adalah terkait budaya pragmatisme dan hedonisme yang membentuk karakter manusia modern yang materialistic oriented. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasilkan dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikamatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kanikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastika bahwa akan terjadi penggerusan terhadap beberapa sisi dari kemanusiaan itu sendiri, terutama persoalan moralitas dan etika.

Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itu hanya sebagian dari beberapa anomali yang include dalam permasalahan modernitas itu sendiri, di mana kesemuanya ternyata sangat potensial  untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.

Pengaruh pragmatisme, materialisme, dan hedonisme sangat luar biasa dahsyatnya pada segala segi kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan. Tidak semua orang belajar semata-mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan yang justru diutamakan adalah agar mendapat selembar ijazah. Tanda bukti lulus digunakan untuk mendapatkan kesempatan memasuki posisi-posisi penting yang banyak menghasilkan uang.

Budaya materialisme dan hedonisme juga dibarengi oleh budaya mental instan dan serba mencukupkan formalitas. Itulah akibatnya, orang belajar bukanlah untuk mengejar ilmu melainkan sekedar mengejar aspek yang bersifat simbolik untuk menerabas agar cepat berhasil meningkatkan pendapatan. Budaya ini sangat mengganggu proses pendidikan. Segala sesuatu selalu diukur dengan uang. Mengajar, menguji, dan membimbing selalu dikaitkan dengan besarnya imbalan yang akan diterima. Mendatangi kegiatan yang menjanjikan uang akan dikedepankan dari pekerjaan rutin membimbing mahasiswa yang sesungguhnya lebih bersifat urgen. Apa yang dilakukan oleh staf perguruan tinggi itu memang tidak terlalu mudah untuk disalahkan, karena tuntutan keluarga, sosial, dan kehidupan sudah semakin menghimpit mereka.

Fenomena mengedepankan besarnya dana yang akan diperoleh tidak saja terjadi di tataran individu melainkan juga pada lembaga secara keseluruhan. Akhirnya yang terjadi di dunia pendidikan pun layaknya dalam dunia bisnis pada umumnya. Yaitu ada uang maka ada pelayanan dan semakin tinggi harga yang dibayar, maka di sanalah pelayanan terbaik akan didapatkan. Muncullah semboyan “ada uang, maka ada barang”, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Pada gilirannya di kampus-kampus dikenal dengan berbagai jenis pelayanan pada mahasiswa. Yaitu kelas biasa dengan harga rendah, ada kelas khusus dengan biaya khusus, dan ada pula kelas eksekutif dengan biaya eksekutif pula.

Lalu apalagi yang kita fikirkan di tengah-tengah budaya materialisme dan hedonisme seperti saat ini, tatkala berbicara peningkatan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran seperti apa yang sesungguhnya akan kita tingkatkan. Sebab semua aspek kehidupan ini sudah mendasarkan pada tarif. Kualitas apa saja, termasuk kualitas pendidikan selalu tergantung pada besaran tarifnya. Tanpa terkecuali kualitas pelayanan pendidikan, sebagimana hukum alam sudah selalu disejajarkan dengan besarnya biaya yang harus dibayarkan.

Rupanya dunia materialistik dan hedonistik ini semakin berkonsekuensi pada munculnya budaya transaksional di seluruh lapangan kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Peningkatan kualitas selalu disejajarkan dengan jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan.

Krisis Sains Modern

Di antara kepihatinan para intelektual saat ini adalah soal perkembangan sains modern yang bisa dikatakan sebagai pilar utama peradaban Barat modern. Maka tema seputar model sains alternatif  menjadi trend gerakan intelektualisme saat ini. Terkait dengan persoalan ini, Armahedi Mahzar mengidentifikasi empat dampak sains modern, yaitu dampak militer, ekologis, sosiologis, dan psikologis. Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan militer-militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi.

Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia.

Kebanyakan ilmuwan tidak tahu menahu soal dampak negatif penerapan sains dan teknologi itu, karena dianggap bukan urusan mereka. Umumnya mereka merasa tugas utamanya hanyalah mencari kebenaran ilmiah yang bersifat netral. Sementara para teknolog juga melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa teknologi itu bagaikan pisau bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau negatif. Bergantung pemakainya.

Persoalan pokok dari pemanfaatan teknologi sebanarnya bukan hanya soal dampak, tetapi  lebih terkait problem paradigmatik atau problem episteme yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Menurut Budi Hardiman, problem epistemis itu terkait empat elemen pokok, yaitu rasionalitas lebih dari wahyu, kritik lebih dari sekedar sikap naif yang tidak terbebas dari tradisi dan sejarah, progresif lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.

Keempat elemen itu bersifat normatif sehingga berlaku universal: kebenaran wahyu diuji di hadapan rasionalitas, otoritas tradisi dan sejarah dipersoalkan dengan kritik, keluhuran tradisi dipertanyakan atas dasar harapan akan masa depan. Seiring dengan universalisasi norma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai  grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Faucault.

Demikian juga lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah jelas bukan tanpa sejarah. Refleksi sejarah Auguste Comte yang hanya mempercayai fakta positif dan digali dengan metodologi ilmiah, lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.

Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaiman sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarialisme in the newfashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni tradisi, dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni. Sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city yang dipopulerkan Harvey Cox. Sejarah mencatat upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati.

Maka dari sinilah sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya. Problem dualisme sistem pendidikan,  yang menjadi keprihatinan pengamat pendidikan selama ini juga berawal dari pandangan dikotomis itu. Kemungkinan besar dari sini pula akar sejarahnya mengapa selama ini sistem pendidikan agama, seperti pesantren dan madrasah diperlakukan sebagai pendidikan kelas dua.

Antara Proteksi  dan Proyeksi

Dampak terberat dari kemajuan teknologi digital adalah bahwa hidup ini telah menjadi sedemikian gersang. Manusia sudah meninggalkan unsur terdalam dari kemanusiaannya, yakni perasaan (emosi) dan hati nurani (spiritualitas). Nilai-nilai luhur dalam masyarakat, bahkan nilai dan ajaran agama telah digusur dan tidak lagi menjadi landasan dalam hidup ini. Hidup yang demikian inilah yang sering dikatakan dengan “matinya makna”.

Para pemikir kelas dunia sebenarnya juga mulai menyadari dampak kemajuan teknologi digital ini. Mereka menawarkan “obat” yang disebut dengan “demokrasi sejati” (demokcratising democracy). Yang menurut mereka: euforia kemajuan teknologi digital dapat reda atau minimal dampaknya dapat diminimalisir, jika negara-negara diberi hak untuk hidup dan mengurus negaranya sendiri, tidak ada saling intervensi. Bahkan jika masing-masing individu dapat dengan mandiri menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tentu ini bukan tugas kita, meskipun kita juga dapat membayangkan bahwa tawaran ini sulit terwujud. Maka yang dapat kita lakukan adalah membangun kesadaran baru dengan kembali mengisi hidup kita dan generasi kita dengan makna. Aktivitas 24 jam sehari semalam akan bermakna ibadah jika aktivitas itu diterangi agama. Pola hubungan dengan orang lain akan bernilai silaturrahim jika tulus dan tidak ada kebencian dan persaingan, dan seterusnya. Dengan begitu kita telah dapat kembali menyatukan antara urusan agama dengan urusan dunia.

Hidup bermasyarakat dan berkeluarga akan jauh lebih bermakna jika tidak sekedar hubungan fisik dan jasmani, tetapi hubungan emosional yang menggunakan perasaan dan fikiran. Di era teknologi digital ini menempatkan emosional (EQ) dalam kehidupan sosial terbukti dapat mendatangkan kesuksesan. Maka pertimbangan geografi (kedaerahan) dan demografi (keprofesian) dalam hidup bersosial, mestinya ditambah pertimbangan satu lagi, yaitu psikografi (ke-citarasa-an). Jika demikian, berarti kita telah ikut mengembalikan unsur kemanusiaan kepada kehidupan manusia sendiri.

Tidak dapat diragukan, akal dan fikiran memiliki peran cukup penting dalam hidup ini, namun akal bukanlah segala-galanya. Akal memang harus dimaksimalkan, namun tetap dengan kesadaran bahwa akal ada batasnya. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah mengembalikan posisi akal pada “baraknya”.

Islam Indonesia dan tradisi Jawa memiliki kekayaan potensi budaya yang menakjubkan, namun belum dikembangkan secara maksimal. Memperkuat dan mengembangkan potensi budaya kita sendiri bisa sedikit meminimalisir masuknya budaya asing, yakni budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dengan sikap seperti ini, berarti kita telah bersikap tepat dalam menghadapi “banjir” westernisasi (penjajahan budaya Barat).

Jika kesadaran baru seperti ini tidak muncul, mustahil dunia pendidikan akan menjadi lebih baik di tengah berbagai krisis akibat kemajuan teknologi informasi itu. Maka yang paling utama adalah adanya perubahan kesadaran dan sikap, lalu perubahan nilai dan budaya. Dengan begitu besar kemungkinan pendidikan akan menjadi lebih baik.

Sejalan dengan pemikiran ini, strategi yang bisa dilakukan pendidikan Islam adalah proteksi sekaligus proyeksi. Proteksi adalah prinsip konservasi nilai yakni strategi untuk membentengi nilai-nilai luhur dari ancaman nilai dan budaya luar yang destruktif. Nilai-nilai apa saja yang harus diproteksi memang masih dapat didiskusikan lebih lanjut, namun jika merujuk pada QS. Al-‘Ashr maka bisa diuraikan minimal ada tiga nilai yang harus diamankan dari pengaruh destruktif, yaitu iman, amal saleh, dan saling menjalin network atau tali silaturahim dengan sesama. Internalisasi tiga nilai ini pada seseorang, Allah jamin tidak akan pernah merugi selama-lamanya. Fenomena boarding school, pondok pesantren, atau fullday school yang banyak diminati saat ini menunjukkan keprihatinan orang tua terhadap nilai budaya destruktif di satu sisi, dan perhatian akan konservasi nilai luhur di sisi yang lain.

Sementara proyeksi adalah prinsip progresivitas dari pendidikan. Strategi ini mengharuskan lembaga pendidikan Islam dan dunia pendidika pada umumnya untuk terus meningkatkan kualitasnya, meletakkan visi misi yang jelas sesuai hasil pembacaannya terhadap masa depan. Insan pendidikan Islam mesti tanggap terhadap tanda-tanda zaman, tanggap terhadap situasi sosial, budaya, ekonomi dan politik, bahkan cerdas dalam memprediksi perkembangan zaman. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan pada suatu zaman yang bukan zamanmu.” demikian sabda Rasul.

Penutup

Di akhir tulisan ini bisa disampaikan bahwa kemajuan teknologi digital dampaknya telah merasuk ke hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan dampak negatifnya pun hampir tidak disadari sebagai sesuatu yang negatif, karena umumnya kita terlena dan larut dalam kehidupan kebersamaan. Maka dengan tidak terlena dan segera sadar atas kehidupan “dunia yang lepas kendali” itu merupakan modal penting untuk dapat mengantisipasi dampak negatifnya. Kesadaran itu biasanya baru dapat tumbuh di saat tersedia waktu untuk ber-muhasabah ( mawas diri). Sementara manusia era teknologi informasi sekarang ini hampir tak ada waktu untuk melakukan hal itu.

Tinggi rendahnya mutu dunia pendidikan kita memang tidak serta-merta karena dunia pendidikan itu sendiri, tetapi sebagian besarnya ditentukan oleh sikap dan perilaku kita terhadap dunia pendidikan. Berbagai krisis yang terjadi di era modern bukan karena pendidikan yang salah, tetapi karena krisis itu telah membuat dunia pendidikan juga mengalami krisis. Perubahan dunia pendidikan menjadi mungkin jika nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berubah.

Jika kemajuan teknologi informasi berawal dari impian bangsa Barat yang terus diwujudkan, maka kita pun bisa mengatasi dampaknya dengan mewujudkan impian ini. Wallahu a’lam bish shawab. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Daftar pustaka

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in 

         Theological Perspective(New York: The Macmillan Company,

1967)

Faucoult, Michel, Diciplin and Punis: The Brith of Prison, Trans.Alan

Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)

——-, The Order OF Think: An Archeology of Human Sciences,(New

york: Vintage Book, 1994)

Hardiman, Bidi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2003)

Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphisics, Terj. The Paul

Carus, Revisi oleh James W.Ellington (IndiNA Polish/Cambridge:

Hackett Publishing Company, 1977)

Lyotard, The Postmodern Condotion, A Report and Knowledge,

          (Manchester: Manchester University Press, 1984)

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami,

          Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)

Marty, Martin E., “Does Secolar Theology  Have a Future” dalam The

           Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopedia Brittannica, Inc.,

1967)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar,

          Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:

Belukar Budaya, 2003)

Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2007)

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Muhammadiyah, 1960)

DUA KABAR GEMBIRA DARI RASULULLAH UNTUK MUKMIN YANG BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Kaprodi FAI Unikarta Mukmin

FAIUNIKARTA.AC.IDEmpat belas abad lampau, Rasulullah Saw telah menyampaikan kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadan.

Hal ini disampaikan Ketua Program Studi (Kaprodi) Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Mukmin, dalam Kuliah Tujuh Menit (Kultum) pada hari kedua bulan suci Ramadan 1443 Hijriah, yang mengangkat tema Kegembiraan Bagi Orang yang Berpuasa.

Kata dia, kabar gembira tersebut meliputi: pertama, orang yang berpuasa akan mendapat kebahagiaan ketika berbuka puasa.

Pasalnya, setiap orang yang berpuasa harus menahan hawa nafsu, menahan lapar, haus dan dahaga selama sekira 13 jam untuk mendapat keridhoan Allah Swt di bulan suci Ramadan.

Jika bukan karena landasan iman, maka orang yang berpuasa tidak akan bisa melaksanakan ibadah puasa sesuai perintah Allah Swt.

Namun, pada akhirnya ketika beduk mulai dibunyikan, adzan sudah berkumandang, pada saat itu, detik itu pula, orang-orang yang berpuasa akan bergembira.

“Hadir keceriaan di dalam dirinya dan ungkapan pertama yang diucapkan adalah syukur alhamdulillah,” jelas Mukmin.

Kedua, Rasulullah Saw telah memberikan informasi bahwa pada bulan ini terdapat kemuliaan di dalamnya, maghfirah, dan malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Rasulullah Saw sangat menekankan kepada umat Islam bahwa pada bulan yang suci ini setiap mukmin diwajibkan beribadah kepada Allah, dianjurkan membaca Alquran, berzikir, dan memperbanyak salawat.

Mukmin menekankan, hidup di dunia ini hanya sementara. Sekejap mata. Setiap orang akan menghadap Ilahi.

Karena itu, pada kesempatan bulan suci Ramadan 1443 Hijriah ini, dia mengajak umat Islam memanfaatkan momentum ini dengan sebaik-baiknya.

“Hingga kelak kita menghadap kepada Allah, kita akan hadir dalam kegembiraan dan keceriaan karena kita sudah mendulang apa yang sudah kita lakukan pada bulan suci Ramadan,” terangnya.

Ia mengatakan, pada bulan suci ini pula, semua amal akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Setiap hembusan nafas dan denyutan nadi pun dihitung sebagai amal ibadah di sisi Allah Swt.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan kepada Allah Swt, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu.

Maka dari itu, sebagai muhasabah, kata Mukmin, bisa jadi Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir, sehingga patut dimanfaatkan sebagai momentum pembuka pintu-pintu keberkahan.

Dia mengajak setiap muslim mengharap keberkahan dan ampunan dari Allah Swt agar selamat di dunia dan akhirat.

Ia pun berpesan kepada umat Islam agar memanfaatkan bulan yang mulia ini tidak berlalu sia-sia sehingga mendapatkan ampunan dari Allah Swt.

“Kami atas nama pribadi dan atas nama lembaga FAI Unikarta Tenggarong mengucapkan selamat menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan. Semoga bermanfaat bagi kita semua,” tutupnya. (*)

 

Link: Beritaalternatif.com

VISI JANGKA PANJANG HAJI MUBARAK DI BALIK KERJA SAMA DENGAN BERITA ALTERNATIF

Dekan FAI Unikarta & Kaprodi FAI Unikarta

FAIUNIKARTA.AC.IDDekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Kutai Kartanegara (Kukar), Haji Mubarak mengatakan, kerja sama penerbitan opini mahasiswa dan dosen bersama Berita Alternatif merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Mubarak berharap penerbitan artikel mahasiswa dan dosen FAI Unikarta di portal beritaalternatif.com dapat dimulai pada Tahun Ajaran 2022-2023. “Itu harapan saya,” ucapnya, Senin (28/3/2022).

Kata dia, artikel para dosen FAI Unikarta yang diterbitkan di media massa daring dapat menjadi poin tersendiri untuk peningkatan karier mereka.

Selain itu, artikel-artikel mahasiswa dan dosen yang diterbitkan di media tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang positif kepada masyarakat Kukar.

Hal ini juga menjadi “ajang promosi” kemampuan mahasiswa dan dosen FAI Unikarta terkait pemahaman keagamaan dan sosial kemasyarakatan. “Itu bisa menjadi bahan pertimbangan ketika pelajar ingin melanjutkan studi di FAI Unikarta,” ujarnya.

Ia mengaku memiliki visi untuk peningkatan literasi keagamaan di FAI Unikarta. Visi tersebut bertujuan membangun literasi dan kompetensi yang unggul berlandaskan sains Islam.

Untuk mencapai visi tersebut, mahasiswa dan dosen mesti memiliki literasi yang baik, salah satunya dapat dibuktikan dengan karya tulis.

Mubarak pun mendorong mereka untuk menulis, menyampaikan opini dan gagasan, sehingga dapat memunculkan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki mahasiswa dan dosen FAI Unikarta.

Kebanggaan juga akan muncul dari orang tua mahasiswa saat melihat anak-anak mereka yang menempuh pendidikan tinggi di FAI Unikarta dapat menghasilkan karya tulis yang bisa mempengaruhi pandangan publik.

Ia berkomitmen menjadikan FAI Unikarta sebagai fakultas yang akan melahirkan para intelektual andal yang bisa mencurahkan gagasan dan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan.

“Mahasiswa kami memang diarahkan menjadi sarjana yang intelek,” terangnya.

Peluang Penerbitan Buku

Mubarak mengatakan, dalam jangka waktu satu tahun, artikel-artikel mahasiswa dan dosen FAI Unikarta yang diterbitkan di beritaalternatif.com akan dikumpulkan menjadi buku.

Jika dalam sebulan mahasiswa dan dosen FAI Unikarta memiliki empat artikel, maka dalam setahun terdapat 48 artikel yang dapat dijadikan sebagai buku.

“Bayangkan saja setahun itu kita bisa menerbitkan buku yang kita kerjasamakan ini. Jadi, nanti muncullah lagi usaha untuk menerbitkan buku,” ucapnya.

“Kenapa tidak ke depan kita menerbitkan sebuah buku? Kalau tidak bisa secara fisik, e-book yang kita siapkan,” terangnya.

Kata Mubarak, saat ini penjualan buku dalam bentuk e-book sudah sangat marak di kampus, yang tujuannya memenuhi kebutuhan referensi mahasiswa dan dosen.

Di FAI Unikarta pun terbuka peluang bagi mahasiswa dan dosen untuk menerbitkan buku yang dapat didistribusikan kepada mahasiswa.

“Satu angkatan kuliah itu misalnya ada 60 rang, dikalikan berapa harga buku misalnya, kan luar biasa ini. Ini satu hal yang kita pikirkan ekonomisnya,” jelas Mubarak.(*)

Link: Beritaalternatif.com

TIGA VISI BESAR HAJI MUBARAK DALAM MEMAJUKAN FAI UNIKARTA

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak

FAIUNIKARTA.AC.ID Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) Haji Mubarak mengungkapkan bahwa fakultas yang dipimpinnya memiliki dosen-dosen yang mempunyai gelar akademik yang beragam.

Dia menyebutkan, ada sejumlah dosen yang memiliki pendidikan yang sesuai dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Ada pula yang merampungkan S2 di bidang Manajemen Pendidikan Islam (MPI).

Lulusan PAI umumnya berstatus sebagai dosen tetap. Sementara dosen yang merampungkan S2 di bidang MPI juga berstatus sebagai dosen tetap. Mereka melengkapi dosen-dosen yang menyelesaikan studi S2 di jurusan PAI.

“Yang berwarna ini, ternyata S1 mereka berbeda-beda. Kenapa beda-beda? Ada yang S1-nya sarjana syariah. Ada yang sarjana dakwah. Ada juga doktor manajemen pendidikan,” ungkap Mubarak kepada beritaalternatif.com saat ditemui di kampus Unikarta pada Jumat (4/6/2022) lalu.

Dia mengungkapkan, selama 12 tahun terakhir, FAI Unikarta memegang akreditasi B. Ke depan pihaknya akan meningkatkan akreditasi fakultas tersebut menjadi Baik Sekali.

“Mudah-mudahan nanti kalau banyak doktornya kita bisa mencapai ke Unggul. Itu harapan kita untuk Prodi PAI. Insyaallah orang itu tidak ragu masuk FAI. Karena kita sudah terstandar,” ucapnya.

Visi Besar Membangun FAI Unikarta

Mubarak mengaku memiliki visi besar untuk membangun FAI Unikarta menjadi lembaga pendidikan yang kredibel di masyarakat.

Mimpi tersebut akan diwujudkannya dalam 3 cara: pertama, menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan Islam.

Melalui visi ini, ia menginginkan lulusan FAI Unikarta memiliki keislaman yang berbobot. “Kalau dia berpendidikan, maka dia mampu menguasai pedagogik Islam. Kalau dia misalnya mengkaji keislaman secara umum, maka dia harus memiliki wawasan saintifik Islam,” jelasnya.

Perubahan kurikulum lewat Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (KMB-KM) membuat penguatan bahan-bahan kajian di FAI Unikarta lebih berwarna, dalam, dan luas, sehingga tidak hanya monoton pada belajar mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan PAI.

“Ini harapan kita untuk mewujudkan visi dalam bidang pengajaran,” katanya.

Lewat visi ini, Mubarak juga mewajibkan dosen-dosen FAI Unikarta untuk menulis artikel, opini, jurnal, ataupun buku.

“Bukan hanya artikel lepas. Kita harapkan mereka juga bisa menulis di jurnal-jurnal yang kredibel. Kalau bisa sampai menembus yang Q1 dan Q2, yang standar jurnal internasional. Atau paling tidak dia bisa mencapai standar jurnal SINTA 2 dan 1. Seminimalnya SINTA 4,” harapnya.

Dalam pengabdian masyarakat, dosen-dosen FAI Unikarta didorong untuk terlibat langsung di masyarakat. Mereka bisa menjadi khatib, muazin, bilal, dan menyelenggarakan fardu kifayah di desa-desa yang ada di Kukar.

“Pengabdian di masyarakat ini yang kita butuhkan,” katanya.

Kedua, standardisasi pengelolaan. Pihaknya sedang merintis perbaikan data online lewat website. Tata kelola sistem online di FAI Unikarta tersebut akan dikelola dengan baik.

“Kita akan menampilkan website yang kredibel dan website yang bisa diakses oleh semua pihak,” ujarnya.

Website itu juga diharapkan dapat merekam jejak artikel dan pengabdian dosen-dosen FAI Unikarta di masyarakat.

“Di berita website kami itu harus mempunyai back link dengan artikel-artikel lepas yang ditulis oleh dosen FAI,” jelasnya.

Ketiga, memunculkan jiwa sociopreneur. Calon-calon guru lulusan FAI Unikarta tidak hanya menjadi guru yang berstatus PNS. Tetapi juga guru yang mampu membuka lembaga pendidikan.

“Kenapa kita tujukan ke sana? Karena dengan menghadirkan lembaga pendidikan, dia menuntaskan dua hal: duta ilmu dan membuka lapangan kerja. Kepekaan sosial seperti itulah yang akan kami bangun ke depan,” ucapnya.

Mubarak mengatakan, banyak alumni FAI Unikarta yang saat ini mengelola pesantren, seperti di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.

Ada pula alumni FAI Unikarta yang mengelola lembaga-lembaga Alquran seperti TPQ dan TPA di Kukar.

Tak sedikit pula dari lulusan fakultas tersebut yang menjadi guru Alquran dari rumah ke rumah. “Jadi, mereka itu tidak lepas dari pekerjaan yang sifatnya keilmuan dan sosial. Makanya jiwa sociopreneur itu yang kita bentuk,” pungkasnya. (*)

Link: Beritaalternatif.com

ALUMNI FAI UNIKARTA JADI PNS, ULAMA, HINGGA MAHASISWA PASCASARJANA DI PTN

Dekan FAI Unikarta Haji Mubarak & Berita Alternatif

FAIUNIKARTA.AC.IDFakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (FAI Unikarta) berdiri pada 1 Juni 1994. Selama 28 tahun berkiprah, salah satu fakultas di Kampus Ungu tersebut telah menelurkan ratusan alumni yang kini berkhidmat di berbagai bidang.

Dekan FAI Unikarta, Haji Mubarak mengungkapkan, sejauh ini sudah lebih dari 500 alumni yang memegang gelar sarjana dari fakultas tersebut.

“Kalau sampai 1.000 orang alumni mungkin belum. Tapi di antara angka 500 orang ke atas,” ungkap Mubarak saat ditemui di Unikarta pada Jumat (3/6/2022).

Kata dia, alumni-alumni FAI Unikarta tersebar di berbagai kecamatan di Kukar.

Pada tahun pertama Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah didirikan, lanjut dia, banyak guru dari kecamatan-kecamatan di Kukar yang melanjutkan studi di fakultas tersebut.

“Kalau enggak salah di tahun 2002 itu sampai 300 orang yang dilahirkan sebagai alumni FAI,” bebernya.

Lulusan Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) serta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) FAI Unikarta tak sedikit yang mengabdi sebagai pegawai di Pengadilan Agama. Ada pula yang jadi ulama dan tokoh masyarakat.

Lulusan tahun pertama Program Studi PAI FAI Unikarta saat ini banyak pula yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Mubarak menyebutkan, pada tahun 2020, tak sedikit lulusan FAI Unikarta yang menjadi PNS, khususnya yang berprofesi sebagai guru agama Islam.

“Yang jadi kebanggaan kami, sampai hari banyak alumni kami itu yang menembus perguruan tinggi negeri untuk S2,” sebutnya.

Pihaknya tengah membangun citra bahwa lulusan FAI Unikarta, selain menjadi PNS ataupun swasta, mereka juga dapat berperan sebagai guru pembimbing Alquran.

“Strategi branding kami itu adalah dengan cara memasukkan mata kuliah baca tulis Alquran di semester 1 dan di semester akhir. Mereka wajib mengantongi sertifikat nasional dalam metode tilawati. Itu terstandar oleh pengurus pusat tilawati di Surabaya,” terangnya.

Ke depan, lanjut Mubarak, lulusan FAI Unikarta diharapkan bisa menjadi ulama di bidang fikih. Pihaknya pun memasukkan kegiatan kurikuler dalam kegiatan kampus agar mahasiswa FAI memiliki kemampuan membaca kitab klasik.

“Insyaallah mereka ke depan jadi calon-calon kiai, nyai, yang selain bisa membaca Alquran, juga sebagai orang yang bisa baca kitab-kitab itu. Itu branding kita ke depan. Insyaallah itu bisa kita wujudkan,” ucapnya. (*)

Link: Beritaalternatif.com