BENCANA, HAKIKAT, DAN PENYEBABNYA

FAIUNIKARTA.AC.ID – Sahabat yang dirahmati Allah,…

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai bencana datang silih berganti, menimpa negeri ini. Bencana itu tidak saja bersumber dari alam ciptaan Allah yang nampak kokoh perkasa seperti laut, yang membawa gelombang tsunami, gunung berapi yang menumpahkan lahar panas, bumi yang ketika gempa dan longsor telah menghanyutkan dan mengubur apa saja yang ada di atasnya, serta air yang membawa material dan gelombang banjir besar, namum juga yang bersumber dari makhluk Allah yang sangat kecil, yang tidak terlihat oleh mata telanjang, seperti virus Corona, yang membawa wabah penyakit mematikan.

Bencana yang terjadi di negeri ini secara bertubi-tubi dan datang tiba-tiba tentu membuat kita bertanya-tanya apakah yang menyebabkan semuanya itu terjadi? Jika kita perhatikan, ada dua cara pandang manusia terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas bumi ini.

Pertama, cara pandang orang yang tidak percaya kepada Allah atau kepada agama. Atau cara pandang orang sekuler, yang memisahkan segala hal yang terjadi dalam kehidupan dunia dengan urusan agama (dimensi vertikal spiritual). Menurut paham kelompok ini, bencana alam merupakan sebuah proses dari fenomena alam, tanpa ada hubungan dengan perbuatan manusia atau takdir Tuhan.

Bencana itu terjadi karena memang yang harus terjadi menurut hukum keharusan alam. Ini merupakan pendapat dan pemahaman bencana alam dari pandangan sekular atau pemahaman orang yang tidak percaya dengan kewujudan dan kekuasaan Tuhan (paham Atheis ) yang banyak diikuti oleh masyarakat pada dewasa ini.

Kedua, cara pandang orang yang beriman kepada Allah atau kepada agama. Kelompok ini memandang bahwa, apa saja yang terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk peristiwa alam dan bencana, tidak bisa dilepaskan dari “urusan agama”. Dalam arti ada korelasinya dengan perilaku manusia yang bersinggungan dengan ketentuan-ketentuan agama dan akhlak (etika).

Di luar kedua paham di atas (paham atheis-sekuler dan paham penganut agama), ada paham ketiga, yang berpendapat bahwa bencana alam itu sebagai tanda marahnya alam terhadap manusia, sehingga untuk memadamkan kemarahan alam tersebut, diperlukan sesajen (sajian khas untuk alam)  dan memberikan sesuatu sebagai persembahan kepada alam, seperti memberikan kepala sapi, kepada laut atau gunung, dan lain sebagainya. Ini adalah pandangan orang yang masih terpengaruh dengan ajaran aninisme atau dinamisme dan merupakan perbuatan syirik.

Sahabat yang dirahmati Allah,…

Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap masalah bencana tersebut? Sebelum lebih lanjut menguraikan hal ini, penting kami sampaikan bahwa secara garis besar, jenis bencana dibagi menjadi dua bagian yaitu bencana alam dan bencana non alam. Bencana alam terjadi karena faktor alama seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung, kekeringan dan lain-lain.

Sedangkan bencana non alam adalah bencana yang disebabkan karena manusia, seperti kecelakaan, aksi teror, bom, konflik sosial, dan lain-lain. Selain itu ada juga bencana yang disebabkan karena faktor alam tetapi dipengaruhi perbuatan manusia, seperti tanah longsor karena penebangan hutan secara liar atau banjir yang terjadi karena sumbatan sampah di permukaan sungai.

Ketika terjadi bencana alam, paling tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya bencana tersebut. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan. Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. Ketiga, Sunnatullah dalam arti gejala alam atau hukum alam yang biasa terjadi. Untuk kasus Indonesia ketiga analisa tersebut semuanya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya.

Jika bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini bisa saja benar, sebab kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan, orang-orang miskin diterlantarkan. Maka ingatlah firman Allah:

“Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (Q.S. Al-Isra’: 16).

Apabila dikaitkan dengan ujian, bisa jadi sebagai ujian kepada bangsa ini, khususnya kaum Muslimin agar semakin kuat dan teguh keimanannya dan berani untuk menampakkan identitasnya. Sebagaimana firman Allah:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diujilagi?”(Q.S. Al-Ankabut:2).

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan gejala alam pun besar kemungkinannya juga ada, karena bumi Nusantara memang berada di bagian  bumi yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung.

Bahkan, secara keseluruhan bumi yang ditempati manusia ini rawan akan terjadinya bencana, sebab hukum alam yang telah ditetapkan Allah SwT atas bumi ini dengan berbagai hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti pergerakan gunung dengan  berbagai konsekuensinya.

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.( QS. Al-Naml: 88).

Di samping harus tetap bersikap optimis dan berupaya mengenali hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan atas alam ini, adalah bijak untuk terus melakukan introspeksi terhadap keseriusan kita dalam menaati perintah-perintah Allah SwT dan menghitung-hitung kedurhakaan kita kepada-Nya.

Sabda Rasulullah saw yang diriwayat kan Imam Tirmidzi berikut ini patut menjadi renungan bagi bangsa ini atas berbagai bencana yang menimpa secara bertubi-tubi. Dari Abu Hurairah ra berkata; bersabda Rasulullah saw:

“Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) di masjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi’in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).”(HR. Tirmidzi).

Sahabat yang dirahmati Allah,..

Jika kita cermati hampir semua penyebab bencana yang disebut Rasulullah saw dalam Hadits tersebut tengah melanda bangsa ini. Pertama, masalah kepemimpinan, amanah dan penguasa. Jika suatu bangsa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, baik (shalih), cakap/cerdas dan kompeten (qawiy) dan amanah (amin), maka kebangkrutan dan kehancuran sebuah  bangsa tinggal menunggu waktu saja. Sebab, pemimpin seperti itu menganggap kekuasaan bukan sebagai amanah untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagirakyatnya, tetapi sebagai sarana dan kesempatan untuk memperkaya diri dan  bersenang-senang.

Akibatnya, perilaku korupsi merajalela, penindasan dan pemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah, dan kebangkrutan moral menjadi hal yang sangat sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, memilih pemimpin atau pejabat harus hatihati dan selektif, sebab mereka akan memanggul amanah yang sangat berat. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat)”. ( H.R. Al-Bukhari).

Kedua, orang kaya tidak menunaikan kewajibannya. Zakat adalah kewajiban minimal bagi orang kaya untuk peduli kepada orang miskin. Jika kewajiban minimal ini tidak ditunaikan, maka kegoncangan social tdak bisa ditawar-tawar lagi, karena tindakan orang miskin yang terampas haknya tidak bisa dipersalahkan. Sehingga adzab Allah menjadi keharusan (Al-Isra’: 16). Demikian intisari istinbath Amirul Mu’minin Umar bin Khathab ra yang didukung Ibnu Hazm rahimallahu ta’ala.

Ketiga, hilangnya ketulusan dan kebijakan para ulama dan cendekiawan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa dan pengusaha (orang kaya) itu akan menjadi-jadi jika ulama/ cendekiawan sebagai pilar penting suatu bangsa yang bertugas untuk memberi peringatan dan beroposisi secara loyal terseret ke dalam kepentingan pragmatis para penguasa dan pengusaha tersebut.

Aktualisasinya bisa berwujud pada terbitnya fatwa-fatwa pesanan yang tidak memihak orang-orang lemah dan tertindas serta opini yang menyesatkan dan membingungkan umat sebagai akibat terialu banyak menerima pemberian yang tidak jelas dan sering mengemis pada musuh-musuh Islam dan bangsa pada umumnya.

Karena ketulusan telah hilang, para ulama pun menjadi orang yang membuat gaduh di masjid dengan perdebatan dan berbantahan mengenai hal yang sudah diputuskan dengan jelas oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, bukan hanya perintah Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperhatikan dan disia-siakan. Akan tetapi para sahabat Rasul dan generasi mereka sesudahnya (ulama dari kalangan tabi’in dantabi’tabi’in) sebagai generasiterbaik umat Muhammad saw menjadi bahan olok-olok dan ejekan dalam perbincangan mereka dengan merendahkan dan mencampakkan kezuhudan dan hasil ijtihad mereka yang cemerlang.

Sahabat yang dirahmati Allah,…

Jika ketiga pilar bangsa penguasa, pengusaha dan ulama atau cendekiawan sudah tidak menjalankan fungsi yang semestinya, maka kebangkrutan moral yang lain seperti durhaka pada orang tua, suami yang manut pada hawa nafsu istrinya, mewabahnya khamr (narkoba) dan kesenangan pada hiburan yang memancing keliaran syahwat menjadi pemandangan yang biasa.

Pada saat itu ”kemarahan” Tuhan dipastikan tidak bisa dihalang-halangi untuk menghancurkan bangsa yang durhaka. (Disarikan dari berbagai sumber, bersambung…)

Oleh : Amin Nasrullah, S.Ag,. M.Ag

Dosen

BERSIAPLAH MENYAMBUT RAMADHAN 1441 H

Tidak terasa, sebentar lagi kita akan bertemu dengan bulan mulia yaitu bulan Ramadhan, bulan yang membawa segudang peluang dan kesempatan emas bagi kita, karena di dalam bulan Ramadhan terkandung kemuliaan dan keistimewaan yang amat besar, yang tak bisa dijumpai pada bulan-bulan lainnya.

Nilai ibadah dilipatgandakan, do’a-do’a dikabulkan, dosa diampuni, pintu surga dibuka, sementara pintu neraka ditutup. Ramadhan, tak ubahnya tamu agung yang selalu dinanti-nanti kedatangannya, merugilah bagi mereka yang menjumpai bulan Ramadhan, namun tidak mengambil sesuatu darinya.

Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah, sehingga kita dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk beribadah mendekatkatkan diri kepada Allah swt.

Dengan demikian, apa yang menjadi Tujuan Akhir dari puasa ramadhan, yakni derajat “Ketaqwaan” dapat kita raih. Untuk itulah, Rasulullah SAW tak lupa berpesan kepada umatnya ketika bulan Ramadhan datang – sebagaimana hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ

Sungguh telah datang pada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, yang mana pada bulan tersebut Allah SWT mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka, sementara pintu-pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. (HR. An-Nasa’i).

Selain itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita sebuah do’a yang dipanjatkan menjelang datangnya Ramadhan, yakni: 

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

(ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami pada Ramadhan) (HR. Ahmad dan Bazzar).

Oleh karena itu, marilah kita sambut kedatangan bulan Ramadhan 1441 H, dengan penuh suka cita “Marhaban Ya Ramadhan (selamat datang bulan Ramadhan), kami sambut kedatanganmu dengan penuh suka cita.” 

Berikut ini adalah beberapa sikap terpuji yang dilakukan para ulama sholeh terdahulu dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang pantas diteladani:

Pertama, kita harus menyambut Ramadhan dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan bahwa orang-orang salaf terdahulu selalu mengucapkan doa:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadhan, selamatkan Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan”.

Bertemu dengan Ramadhan suatu kebahagian yang luar biasa, karena kita dapat menikmati begitu besar karunia dan rahmat yang diberikan pada bulan suci Ramdhan. Sehingga wajarlah apabila ummat muslim diseluruh dunia sangat menanti-nantikan kedatangan, karena pada bulan inilah kesempatan itu diberikan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang bersungguh-sungguh untuk memperoleh kualitas dan kuantitas ibadahnya. 

Kedua, bekali diri dengan Ilmu Pengetahuan. Ibadah puasa mempunyai ketentuan dan aturan yang harus dipenuhi agar sah dan sempurna. Sesuatu yang menjadi prasyarat suatu ibadah wajib, maka wajib memenuhinya dan wajib mempelajarinya.

Salah satu yang perlu untuk dipelajari yaitu tentang fikih puasa, hal ini perlu dipelajari untuk mengetahui, minimal tentang hal-hal yang menjadi sah dan tidaknya puasa. Persepsi dan pengetahuan yang utuh tentang bulan Ramadhan akan menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang bisa merusak ibadah Ramadhan disebabkan oleh ketidaktahuan kita. Persepsi yang utuh tentang keutamaan Ramadhan akan mendorong tumbuhnya motivasi dari dalam diri untuk menjalani ibadah dengan sebaik-baiknya.

Kenapa diperlukan ilmu dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, karena banyak orang yang berpuasa, tapi tidak menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Hal ini disebabkan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup.

Seorang yang beramal tanpa ilmu hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Dan Rasulullah shallallahu alahi wasallam jauh-jauh hari sudah memperingatkan umatnya agar jangan sampai puasa mereka sia-sia. Rasulullah bersabda: 

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (H.R. al-Hakim dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani).

Ketiga, berdoa. Bulan Ramadhan selain merupakan bulan karunia dan kenikmatan beribadah, juga merupakan bulan tantangan. Tantangan menahan nafsu untuk perbuatan jahat, tantangan untuk menggapai kemuliaan malam lailatul qadar dan tantangan-tantangan lainnya.

Keterbatasan manusia mengharuskannya untuk selalu berdo’a agar optimis melalui bulan Ramadhan, karena do’a adalah senjatanya orang mukmin. Allah SWT Berfirman dalam al-Quran Surah Al-baqarah:186; 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Keempat, dengan tekad dan planning yang matang untuk mengisi Ramadhan. Niat dan azam adalah bahasa lain dari planning atau perencanaan. Orang-orang soleh terdahulu selalu merencanakan pengisian bulan Ramadhan dengan cermat dan optimis. 

Berapa kali dia akan mengkhatamkan membaca al-Quran, berapa kali sholat malam, berapa banyak akan bersedekah dan membari makan orang berpuasa, berapa kali kita menghadiri pengajian dan membaca buku agama. Itulah sebagian planning yang bisa mengisi Ramadhan, bukan hanya sekedar memplaning atau merencanakan menu makan dan pakaian kita untuk Ramadhan, tapi lebih diarahkan ke perencanaan yang matang untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan Ramadhan, terutama memperbanyak mebaca dan mempelajari al-Quran. Firman Allah SWT;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ

اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”(Q.S. al-Baqarah: 185).

Kelima, Tidak menyia-nyiakan kesempatan Ramadhan sedikitpun. Rasulullah dan para sahabat memperbanyak puasa dan bersedekah pada bulan Sya’ban sebagai latihan sekaligus tanda kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan. Anas bin Malik r.a. berkata, “ketika kaum muslimin memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk membaca Alquran dan mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.” 

Dengan mengkondisikan diri pada bulan Sya’ban untuk berpuasa, bersedekah dan memperbanyak ibadah, kondisi ruhiyah akan meningkat, dan tubuh akan terlatih berpuasa. Di sisi lain, tidak akan terjadi lagi gejolak fisik dan proses penyesuaian yang kadang-kadang dirasakan oleh orang-orang yang pertama kali berpuasa, seperti lemas, demam dan sebagainya. Rasulullah SAW senantiasa melakukan puasa sunnah bulan Sya’ban, bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan beliau kadang melakukan puasa dengan kuantitas yang lebih banyak. Dalam sebuah hadits disebutkan: Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Katanya: “Ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan yang lain sebanyak puasa di bulan Sya’ban ini? Beliau saw menjawab: “Itulah bulan yang dilupakan orang, antara Rajab dan Ramadhan, bulan ditingkatkannya amal perbuatan kepada Allah swt Rabbul ‘Alamin. Dan aku ingin amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasa-i). 

Keenam, Persiapan Materi. Kemudian yang harus kita perhatikan menyongsong bulan Ramadhan adalah persiapan finansial atau materi. Persiapan materi di sini tidak dimaksudkan untuk membeli kebutuhan berbuka dan sahur yang mewah dan mahal bahkan kadang terkesan berlebihan. Tapi finansial/materi yang diperuntukkan untuk menopang ibadah sedekah dan infak kita. 

Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun sekedar sebiji kurma dan seteguk air. Kedermawanan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan sangat besar. 

Digambarkan dalam beberapa riwayat bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rasulullah saw kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. 

Demikianlah sekilah persiapan menyambut bulan suci Ramadhan, semoga kiranya kita memperoleh rahmat, hidayat serta kekuatan untuk dapat melaksanakan persiapan yang telah direncanakan secara maksimal, mari kita menyongsong datangnya bulan Ramadhan dengan Penuh suka cita dengan harapan kita akan menjadi Hamba-hamba yang Muttaqin, aamain,aamiin, aamiin ya Robbal ‘alamiin…..

Akhmad Riadi, S.Pd.I., M.Pd.I

Dosen